
Ekonomi China Tiarap Kok RI Bisa Untung? Begini Penjelasannya

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden China Xi Jinping jelas sedang pusing. Ekonomi negaranya terpukul akibat Covid-19 yang terus merajalela.
Kebijakan Zero-Covid yang diambil pemerintah Xi Jinping membuat aktivitas ekonomi China yang sedang bergeliat pulih, kembali lesu. Manufaktur di sejumlah wilayah harus mengerem produksi. Masyarakat pun kembali tinggal di rumah.
Kondisi ini membuat lembaga moneter internasional IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk China pada tahun ini. Negeri Tirai Bambu ini diperkirakan hanya tumbuh 4,4% pada 2022.
Tidak hanya sampai di sini, 'kiamat kecil' menghampiri China pada pertengahan tahun ini. Sejak Juli, bencana gelombang panas atau heatwave menghantui China. Bahkan fenomena alam itu diyakini akan berdampak serius ke ekonominya.
"Gelombang panas adalah situasi yang cukup mengerikan... Itu mungkin bisa berlangsung selama dua hingga tiga bulan ke depan," kata Kepala Ekonom Hang Seng Bank China, Dan Wang dalam program Squawk Box Asia CNBC International, dikutip Kamis (8/9/2022).
Gelombang panas diyakini berimplikasi ke industri setempat karena bencana ini telah memicu krisis listrik yang berujung pemadaman di wilayah Sungai Yangtze pun terjadi, termasuk di sejumlah pusat manufaktur China, seperti Guangdong, Zhejiang dan Jiangsu.
"Ini akan mempengaruhi industri-industri besar yang padat energi dan akan memiliki efek knock-on di seluruh ekonomi dan bahkan ke rantai pasokan global," kata Wang.
Dia menilai PDB China pun bisa terganggu. Tahun lalu, akibat kekurangan listrik PDB China memang menyusut.
"Tahun lalu, seperti yang kami perkirakan, periode kekurangan listrik telah menyebabkan pertumbuhan PDB China sekitar 0,6%. Tahun ini kami pikir angka ini akan jauh lebih tinggi... Saya akan mengatakan 1,5% poin lebih rendah," tambah Wang.
"Saat ini, kami memberikan 4% dari pertumbuhan PDB untuk setahun penuh. Jika situasi saat ini berlanjut, maka saya harus mengatakan tingkat pertumbuhan mungkin di bawah (3%)," tambahnya.
Di tengah beban yang ditanggung China, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memiliki hubungan baik dengan pemimpin Tiongkok Xi Jinping, justru tengah semringah.
Mantan walikota Solo ini optimistis RI akan membukukan surplus dengan China pada 2022.
"Tahun ini saya pastikan (neraca dagang) sudah surplus dengan China, saya pastikan itu karena raw material yang tidak di ekspor mentahan," tutur Jokowi dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Rabu (7/9/2022).
Hal ini disampaikan Presiden dalam sambutannya di Sarasehan 100 Ekonom "Normalisasi Kebijakan Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia" yang disiarkan oleh CNBC Indonesia, Kamis (7/9/2022).
Dia berargumen, neraca perdagangan Indonesia surplus dengan China ini dipicu oleh kesuksesan hilirisasi yang didorong pemerintah. Namun, data BPS menunjukkan hal berbeda.
Defisit dagang Indonesia dengan China sudah menembus US$ 4,14 miliar pada periode Januari-Juli 2022. BPS pun mencatat defisit melonjak 27% dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu yang tercatat US$ 3,44 miliar.
Membesarnya defisit terjadi karena nilai impor melonjak 27,2% menjadi US$ 38,26 miliar hingga Juli 2022.
Namun jika dilihat secara tren dalam lima tahun terakhir, defisit neraca perdagangan Indonesia dan China memang menyusut.
Pada 2018, defisit mencapai US$ 18,40 miliar. Nilai ini turun menjadi US$ 16,96 miliar pada 2019. Secara drastis, defisit anjlok menjadi US$ 7,85 miliar pada 2020 dan kembali turun menjadi US$ 2,46 miliar. Sementara itu, defisit tahun kalender hingga Juli 2022 sudah tembus melebihi angka defisit akhir tahun lalu.
Di sisi lain, perdagangan China melemah pada Agustus karena harga energi yang tinggi, inflasi dan langkah-langkah anti-virus membebani permintaan konsumen global.
Dikutip dari SFGate, ekspor China naik 7% dari tahun lalu menjadi US$ 314,9 miliar. Angka ini melambat dari ekspansi Juli sebesar 18%.
Lebih lanjut, data bea cukai China menunjukkan Impor turun 0,2% menjadi US$235,5 miliar, dibandingkan dengan pertumbuhan 2,3% bulan sebelumnya yang sudah lemah.
PMI Manufaktur Umum Caixin China mengonfirmasi pelemahan kegiatan manufaktur yang berkaitan dengan ekspor dan impor China. Indeks ini turun menjadi 49,5 pada Agustus 2022 dari Juli 50,4. Angka ini meleset dari perkiraan pasar 50,2, dan menunjukkan kontraksi pertama di sektor ini sejak Mei.
Menurut Trading Economics, pencapaian PMI China ini mencerminkan dampak lockdown Covid yang meluas dan menimbulkan kekurangan listrik. Output tumbuh pada kecepatan terlemah dalam tiga bulan, baik pesanan baru dan tingkat pembelian turun untuk pertama kalinya sejak Mei, sementara lapangan kerja turun selama lima bulan berturut-turut.
Sudah jelas, ekonomi China tengah dalam tekanan sulit. Besar kemungkinan hal ini yang berpotensi melatarbelakangi surplus neraca dagang Indonesia dan China, jika ramalan Presiden benar.
Dengan kuatnya ekspor, bukan tidak mungkin ekonomi Indonesia akan tumbuh 5% pada tahun ini.
Indonesia jelas memiliki modal untuk mencapai angka tersebut karena pertumbuhan yang membaik pada kuartal I dan kuartal II-2022, sebesar 5,01% dan 5,44%.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pernah mengungkapkan bahwa kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk tertinggi di antara negara G20 dan ASEAN.
"Tahun 2021, PDB riil Indonesia telah melampaui 1,6% di atas level praprandemi. Di semester pertama tahun 2022 bahkan jauh lebih tinggi lagi, yaitu 7,1%. Ini merupakan posisi tertinggi ketiga di antara negara G20 dan ASEAN-6," tulis Sri Mulyani dalam Instagram resminya @smindrawati, dikutip Jumat (2/9/2022).
"Capaian ini menunjukkan momentum pemulihan ekonomi Indonesia masih cukup kuat," tegasnya.
Indeks penjualan riil Indonesia pun kembali tumbuh 8,7% pada Juli 2022. Tidak hanya itu, purchasing managers' index (PMI) kembali menguat di 51,7% pada bulan Agustus 2022. Sementara konsumsi listrik turut melonjak, khusus sektor bisnis tumbuh 25,9%, untuk industri tumbuh 16,2%.
"Artinya, kegiatan ekonomi dari sisi produksi terus tumbuh," tulis Sri Mulyani dalam postingannya.
(haa/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sah! Ekonomi China Tumbuh Terlemah, 5,2% di 2023