Internasional

Ancaman 'Malapetaka' Tak Hanya di Eropa, China & AS Juga

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
02 September 2022 15:00
Pemandangan waduk air tawar Ruzin karena air di dalamnya telah benar-benar hilang akibat kekeringan parah menurut Perusahaan Pengelola Air Slovakia di Jaklovce, Slovakia. (Anadolu Agency via Getty Images)
Foto: Pemandangan waduk air tawar Ruzin karena air di dalamnya telah benar-benar hilang akibat kekeringan parah menurut Perusahaan Pengelola Air Slovakia di Jaklovce, Slovakia. (Anadolu Agency via Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang panas disertai kekeringan terjadi di sejumlah negara. Perubahan iklim diperkirakan menjadi biang kerok yang membuat suhu semakin tinggi dan kekeringan intens.

Joint Research Center Komisi Eropa melaporkan sebanyak 47% dari wilayah Benua Biru berpotensi mengalami kekeringan. Ini pun terjadi pula di China hingga Amerika Serikat (AS).

Ini akhirnya menimbulkan "malapetaka" baru. Apalagi saat ini kemerosotan akibat Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina belum juga mereda. 

1. Benua Eropa

Gelombang panas terjadi sejak Mei di Eropa. Ini kemudian disusul kurangnya curah hujan yang parah.

Kedua hal itu membuat sungai-sungai besar di Eropa kering. Hal itu diyakini "secara substansial mengurangi" hasil panen, mempengaruhi panen jagung, kedelai dan bunga matahari hingga 16%, 15% dan 12%.

Bukan hanya itu, menurut perhitungan Eurostat, sungai-sungai dan kanal-kanal di benua itu membawa lebih dari 1 ton barang per tahun untuk setiap penduduk Uni Eropa. Diyakini sumbangannya sekitar US$80 miliar akan menurun signifikan.

Di Jerman misalnya, negara dengan nilai perekonomian terbesar di Eropa yang saat ini tengah berjibaku dengan ancaman krisis energi, kekeringan terlihat di sungai Rhine. Lalu lintas komersial di sungai terpanjang itu bahkan terancam tutup.

Perlu diketahui, sungai sepanjang 1.320 km ini menghubungkan pelabuhan utama Rotterdam di Belanda melalui jantung industri Jerman. Ini pun mengalir lebih jauh ke selatan ke Swiss yang terkurung daratan.

Ini bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negeri itu, yang memang telah tumbuh terbatas atau melambat pada kuartal II-2022. PDB Jerman tumbuh sebesar 1,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan tumbuh sebesar 0,1% (quarter-to-quarter/qtq).

Kekeringan juga terlihat di Prancis. Di Juli, suhu maksimum sempat mencapai 41 derajat Celcius dan memicu dua kebakaran hutan besar menghancurkan lebih dari 20.000 hektar (49.400 hektar) hutan.

"Tanaman buah dan sayuran Prancis telah turun hampir 35% karena kekeringan ekstrem musim panas. Kondisi ini telah mengancam ketahanan pangan Prancis dan mengganggu perekonomiannya" kata Presiden Asosiasi Produsen Sayuran Nasional Prancis, Legumes de France, Jacques Rouchausse, dari Business Standart.

"Kami mengalami kerugian pada hasil. Untuk saat ini, kami memperkirakan kerugian ini antara 25% hingga 35%. Kami harus menekankan bahwa jika kami menginginkan kedaulatan pangan, jika kami ingin ketahanan pangan, kami benar-benar harus mencari cara. untuk terus berproduksi di wilayah kami," kata Rouchausse di Radio Franceinfo.

Kondisi ini juga dipastikan memperparah krisis energi. Suhu panas sungai Prancis dalam beberapa pekan terakhir mengancam produksi nuklir negara itu yang sudah rendah, padahal mayoritas energi Prancis dipasok PLT Nuklir.

Masalah yang dihadapi Jerman dan Prancis, juga terjadi di Italia. Bahkan kondisi darurat telah diumumkan untuk daerah sekitar Sungai Po, wilayah yang menyumbang sekitar sepertiga dari produksi pertanian di negara itu.

Diketahui sektor pertanian Italia penting bagi pertumbuhan ekonomi Italia. Negeri Pizza adalah ekonomi terbesar ketiga di zona euro, dengan PDB diperkirakan US$ 1,9 triliun dan PDB per kapita US$ 31.630, di mana agrikultur menyumbang 2% ke PDB.

Perlu diketahui, Italia mengekspor sebagian besar produk konsumen ke Amerika Serikat. Pada tahun 2020, ekspor pertanian AS ke Italia mencapai US$$1,0 miliar.

Ekspor utama AS ke Italia

Ekspor unggulan Italia ke Amerika Serikat

Kacang: US$ 314,4 juta

Anggur: US$2,1 miliar

Gandum: US$ 216,3 juta

Makanan yang dipanggang, sereal, dan pasta: US$ 754 juta

Kedelai: US$ 148,1 juta

Minyak zaitun: US$ 533,9 juta

Benih Tanaman Pertanian :U$56,6 juta

Minuman non-alkohol: US$ 358,8 juta

Minuman keras sulingan: US$41,2 juta

Bumbu dan saus: US$345,9 juta

Total: US$1,0 miliar

Total: US$ 5,5 miliar

Sumber : International Trade Administration

Halaman 2>>>

 

2. China

Kekeringan juga terjadi di China. Akibat suhu yang terik, beberapa bagian dari Sungai Yangtze yang mengalir melewati 10 provinsi kering.

Sama seperti Eropa kekeringan di sungai terpanjang ke-3 dunia itu, membawa petaka ke pertanian. Mengutip AFP, bencana ini membuat buah-buahan seperti persik dan buah naga gagal dipanen oleh petani dan lebih dari dua juta hektar lahan terdampak.

"Ini benar-benar pertama kalinya dalam hidup saya menghadapi bencana seperti itu. Tahun ini adalah tahun yang sangat menyedihkan," kata seorang petani dari wilayah Chongqing, Qin Bin.

"Kita seharusnya memanen buah-buahan sekarang, tetapi semuanya hilang, mati karena terik matahari."

Pemerintah China juga telah memperingatkan bahwa fenomena ini menimbulkan 'ancaman parah' bagi panen musim gugur negara itu. Beijing pun telah menjanjikan miliaran yuan bantuan segar kepada petani.

Diketahui, gelombang panas ini juga membuat sungai di China mengering. Bukan hanya itu, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) juga tak mampu memenuhi pasokan listrik warga.

Ini terjadi di PLTA provinsi Sichuan yang turun signifikan sehingga menyebabkan pemadaman. Alhasil China meningkatkan penggunaan batu bara.

Kondisi ini mempersulit revitalisasi ekonomi China. Ini pun diyakini meningkatkan tekanan terhadap ekonomi global. 

3. Amerika Serikat (AS)

Amerika Serikat (AS) tak luput dari bencana kekeringan ini. Petani di AS terpaksa membabat tanaman pertaniannya akibat kekeringan yang melanda wilayah tersebut.

Hal itu terungkap dari survei terbaru Federasi Biro Pertanian Amerika (AFBF). Ini adalah perusahaan asuransi dan kelompok lobi yang mewakili kepentingan pertanian.

"Dampak dari kekeringan ini akan terasa selama bertahun-tahun yang akan datang, tidak hanya oleh petani dan peternak tetapi juga oleh konsumen. Banyak petani harus membuat keputusan menjual ternak yang telah mereka pelihara bertahun-tahun atau membabat tanaman kebun yang tumbuh selama beberapa dekade," kata Presiden AFBF Zippy Duvall dalam keterangannya dikutip dari Reuters.

Survei AFBF dilakukan di 15 negara bagian dari 8 Juni hingga 20 Juli. Meliputi Texas, Dakota Utara ke California, yang menghasilkan hampir setengah dari nilai produksi pertanian negara itu.

AFBF memperkirakan kondisi kekeringan tahun ini lebih parah daripada tahun lalu. Pasalnya, 37% petani mengatakan mereka membabat tanaman yang tidak akan mencapai kematangan karena kondisi kering, melonjak dari 24% tahun lalu.

Survei tersebut juga mengungkap hampir 60% dataran bagian barat, selatan dan tengah mengalami kekeringan parah atau lebih tinggi tahun ini. Kondisi tersebut juga berdampak pada konsumen.

Sebab, dengan supply yang berkurang maka harga akan naik. Konsumen akan membayar lebih mahal untuk sejumlah bahan pangan.

"Kemungkinan akan mengakibatkan konsumen Amerika membayar lebih untuk barang-barang ini dan sebagian bergantung pada pasokan asing atau menyusutkan keragaman barang yang mereka beli di toko," terang laporan itu.

Laporan inflasi Biro Statistik Tenaga Kerja pada Agustus menunjukkan konsumen AS menghabiskan 9,3% lebih banyak untuk buah-buahan dan sayuran dari tahun lalu. Kondisi ini memperburuk situasi setelah  pertumbuhan ekonomi negatif yang terjadi pada paruh pertama 2022, yang menjadi pukulan telak bagi Amerika Serikat (AS). 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular