
Ancaman 'Malapetaka' Tak Hanya di Eropa, China & AS Juga

2. China
Kekeringan juga terjadi di China. Akibat suhu yang terik, beberapa bagian dari Sungai Yangtze yang mengalir melewati 10 provinsi kering.
Sama seperti Eropa kekeringan di sungai terpanjang ke-3 dunia itu, membawa petaka ke pertanian. Mengutip AFP, bencana ini membuat buah-buahan seperti persik dan buah naga gagal dipanen oleh petani dan lebih dari dua juta hektar lahan terdampak.
"Ini benar-benar pertama kalinya dalam hidup saya menghadapi bencana seperti itu. Tahun ini adalah tahun yang sangat menyedihkan," kata seorang petani dari wilayah Chongqing, Qin Bin.
"Kita seharusnya memanen buah-buahan sekarang, tetapi semuanya hilang, mati karena terik matahari."
Pemerintah China juga telah memperingatkan bahwa fenomena ini menimbulkan 'ancaman parah' bagi panen musim gugur negara itu. Beijing pun telah menjanjikan miliaran yuan bantuan segar kepada petani.
Diketahui, gelombang panas ini juga membuat sungai di China mengering. Bukan hanya itu, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) juga tak mampu memenuhi pasokan listrik warga.
Ini terjadi di PLTA provinsi Sichuan yang turun signifikan sehingga menyebabkan pemadaman. Alhasil China meningkatkan penggunaan batu bara.
Kondisi ini mempersulit revitalisasi ekonomi China. Ini pun diyakini meningkatkan tekanan terhadap ekonomi global.
3. Amerika Serikat (AS)
Amerika Serikat (AS) tak luput dari bencana kekeringan ini. Petani di AS terpaksa membabat tanaman pertaniannya akibat kekeringan yang melanda wilayah tersebut.
Hal itu terungkap dari survei terbaru Federasi Biro Pertanian Amerika (AFBF). Ini adalah perusahaan asuransi dan kelompok lobi yang mewakili kepentingan pertanian.
"Dampak dari kekeringan ini akan terasa selama bertahun-tahun yang akan datang, tidak hanya oleh petani dan peternak tetapi juga oleh konsumen. Banyak petani harus membuat keputusan menjual ternak yang telah mereka pelihara bertahun-tahun atau membabat tanaman kebun yang tumbuh selama beberapa dekade," kata Presiden AFBF Zippy Duvall dalam keterangannya dikutip dari Reuters.
Survei AFBF dilakukan di 15 negara bagian dari 8 Juni hingga 20 Juli. Meliputi Texas, Dakota Utara ke California, yang menghasilkan hampir setengah dari nilai produksi pertanian negara itu.
AFBF memperkirakan kondisi kekeringan tahun ini lebih parah daripada tahun lalu. Pasalnya, 37% petani mengatakan mereka membabat tanaman yang tidak akan mencapai kematangan karena kondisi kering, melonjak dari 24% tahun lalu.
Survei tersebut juga mengungkap hampir 60% dataran bagian barat, selatan dan tengah mengalami kekeringan parah atau lebih tinggi tahun ini. Kondisi tersebut juga berdampak pada konsumen.
Sebab, dengan supply yang berkurang maka harga akan naik. Konsumen akan membayar lebih mahal untuk sejumlah bahan pangan.
"Kemungkinan akan mengakibatkan konsumen Amerika membayar lebih untuk barang-barang ini dan sebagian bergantung pada pasokan asing atau menyusutkan keragaman barang yang mereka beli di toko," terang laporan itu.
Laporan inflasi Biro Statistik Tenaga Kerja pada Agustus menunjukkan konsumen AS menghabiskan 9,3% lebih banyak untuk buah-buahan dan sayuran dari tahun lalu. Kondisi ini memperburuk situasi setelah pertumbuhan ekonomi negatif yang terjadi pada paruh pertama 2022, yang menjadi pukulan telak bagi Amerika Serikat (AS).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/sef)