Internasional

Eropa Kini di Ambang Malapetaka, Ada Apa Lagi?

News - sef, CNBC Indonesia
02 September 2022 06:39
A man walks on the dry riverbed of Sangone river, a tributary of the Po river, which experiences its worst drought for 70 years, in Beinasco, Turin, Italy June 19, 2022. REUTERS / Massimo Pinca           TPX IMAGES OF THE DAY Foto: REUTERS/MASSIMO PINCA

Jakarta, CNBC Indonesia - Eropa kini di ambang malapetaka. Bukan karena perang namun karena serangkaian gelombang panas sejak Mei dan kurangnya curah hujan yang parah.

Kedua hal ini membawa sungai-sungai besar di Eropa kering. Ini setidaknya terjadi di Prancis dan Italia.

Di Prancis, Sungai Loire terlihat permukaannya dan menyebabkan manusia bisa menyeberang, berjalan kaki, dengan mudah di beberapa tempat. Bukan hanya itu, kejadian yang sama juga terjadi di Sungai Rhine, Jerman dan Sungai Po Italia.

Rhine, sungai terpanjang dan turpentine di Eropa, terancam menutup lalu lintas komersial. Perlu diketahui, sungai sepanjang 1.320 km itu menghubungkan pelabuhan utama Rotterdam di Belanda melalui jantung industri Jerman dan lebih jauh ke selatan ke Swiss yang terkurung daratan.

Sementara Pho telah mengalami kekeringan terburuk yang membawa sejumlah artefak Perang Dunia II di dasarnya muncul, termasuk tongkang sepanjang 50 meter dan bom. Padahal 30% pertanian berada di sana.

"Kami belum pernah melihat tingkat kekeringan ini dalam waktu yang sangat lama," kata analis senior Eropa dan kebijakan iklim di The Economist Intelligence Unit, Matthew Oxenford, dikutip CNBC International, Jumat (2/9/2022).

"Ketinggian air di beberapa saluran air utama lebih rendah daripada selama beberapa dekade," tambahnya.

"Untuk beberapa saluran utama, hanya ada sedikit kelonggaran, terkadang kurang dari 30 sentimeter sebelum saluran tersebut benar-benar tidak dapat dioperasikan untuk segala jenis (mobilitas) pengiriman," ujarnya lagi.

Hal sama juga dikatakan analisis awal dari Pusat Penelitian Gabungan Uni Eropa. Eropa, bahkan dikatakan, berada dalam 'cengkeraman kekeringan' terburuk di setidaknya dalam 500 tahun terakhir.

Sebelumnya di Agustus, laporan Observatorium Kekeringan Global juga memperingatkan sekitar dua pertiga benua itu berada di bawah peringatan kekeringan. Di mana tanah telah mengering dan vegetasi "menunjukkan tanda-tanda stres".

Analisis menemukan bahwa hampir semua sungai Eropa telah mengering sampai batas tertentu. Sementara tekanan air dan panas "secara substansial mengurangi" hasil panen musim panas.

"Prakiraan untuk biji-bijian jagung, kedelai dan bunga matahari masing-masing diperkirakan 16%, 15% dan 12% di bawah rata-rata lima tahun sebelumnya," tambah laporan itu.

"Itu terjadi karena harga pangan tetap tinggi di tengah serangan Rusia di Ukraina, produsen utama komoditas seperti gandum, jagung, dan minyak bunga matahari," tulis laporan lagi.

Sementara itu, laporan UE secara spesifik juga menyebut cuaca panas dan kekeringan akan makin para di November. Khususnya di wilayah Eropa Barat-Mediterania.

Biang Keladi?

Perubahan iklim ditegaskan menjadi biang keladinya. Ini membuat suhu semakin tinggi dan kekeringan intens.

"Masalahnya adalah parahnya kekeringan khusus ini," kata Profesor Hidrologi dan Klimatologi Universitas Potsdam Jerman, Axel Bronstert.

"Jika Anda tumbuh di Eropa tengah, orang biasanya menyukai matahari. Tetapi sekarang kami berharap hujan," ujarnya lagi.

"Tanpa curah hujan yang sangat kuat dalam beberapa minggu ke depan, kemungkinan ketinggian air akan turun lebih tinggi," tambahnya.

Hal sama juga dikatakan Oxenford. Ia bahkan mengatakan Eropa pun harus bersiap dengan kondisi serupa di tahun-tahun mendatang.

"Saya pikir poin yang lebih besar yang ingin saya tekankan adalah bahwa anomali seperti ini akan menjadi lebih umum di tahun-tahun mendatang karena perubahan iklim," ujarnya.

"Jadi, saya pikir kesimpulan untuk menangani dampak ekonomi dari semua ini adalah bahwa negara-negara akan perlu berinvestasi lebih banyak dalam kesiap-siagaan untuk hal-hal yang dulunya sangat tidak biasa ... perubahan iklim mengubah banyak pola aktivitas yang telah dibangun selama berabad-abad," jelasnya.

Krisis Energi Makin Gawat

Sementara itu, krisis energi diyakini akan makin para karena hal ini. Ini setidaknya terlihat di Prancis.

Suhu pemanasan sungai Prancis dalam beberapa pekan terakhir mengancam produksi nuklir negara itu yang sudah rendah. Padahal mayoritas energi Prancis dipasok PLT Nuklir.

Gelombang panas musim panas semakin menghangatkan sungai seperti Rhone dan Garonne yang digunakan pemasok energi milik negara EDF. Ini penting untuk mendinginkan reaktor PLTN-nya.

Hal sama juga jadi ancaman di Norwegia. Negara Eropa utara itu sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga air.

"Kurangnya hujan berarti jumlah listrik yang dihasilkan oleh bendungan telah turun drastis. Akibatnya, pemerintah Norwegia mengumumkan pada awal Agustus bahwa mereka berencana untuk membatasi ekspor listrik," tulis CNBC International.

Perlu diketahui, saat ini pemerintah Eropa berebut untuk mengisi fasilitas penyimpanan bawah tanah dengan pasokan gas agar memiliki bahan bakar yang cukup. Ini untuk menjaga rumah tetap hangat selama beberapa bulan mendatang, karena masuknya musim dingin.

Pasokan minim karena Rusia, yang memasok sekitar 40% gas UE tahun lalu, telah secara drastis mengurangi aliran ke Eropa dalam beberapa pekan terakhir. Termasuk mematikannya tiga hari sejak 31 Agustus, dengan alasan peralatan yang rusak dan tertunda.

Artikel Selanjutnya

Eropa Bagai "Neraka", Dihantam Kekeringan Terburuk 500 Tahun


(sef/sef)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading