Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Indonesia kembali melonjak pada Juli dan jauh melampaui ekspektasi pasar. Inflasi tahunan Indonesia pada Juli bahkan mencapai yang tertinggi dalam 6,5 tahun.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada Juli menembus 0,64% (month on month/MoM), lebih tinggi dibandingkan yang tercatat pada Juni yakni 0,61%.
Secara tahunan (year on year/yoy), inflasi pada Juni terbang ke angka 4,94%. Catatan tersebut adalah yang tertinggi sejak Oktober 2015 di mana pada saat itu inflasi tercatat 6,25%.
Inflasi pada Juli juga jauh di atas konsensus pasar ataupun proyeksi Bank Indonesia. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi hanya menyentuh 0,53% (mtm) dan 4,83 (yoy).
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga BI pada minggu IV Juli 2022, inflasi bulan lalu diperkirakan mencapai 0,50% (mtm). BPS menjelaskan inflasi pada Juli dipicu oleh kenaikan harga cabai merah, tarif angkutan udara, bawang merah, bahan bakar rumah tangga, hingga cabai rawit.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengatakan meskipun inflasi Indonesia mencapai rekor tertinggi dalam enam tahun lebih tetapi relatif lebih rendah dibandingkan negara G-20 lainnya. "Inflasi Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara G20 lainnya," tutur Margo Yuwono, dalam konferensi pers, Senin (1/8/2022).
Margo menambahkan inflasi Indonesia dan negara G-20 melonjak tajam setelah perang Rusia-Ukraina melambungkan harga komoditas pangan dan energi. Inflasi tahunan Italia pada Juli tahun ini menembus 7,9% sementara Jerman 7,5%, dan Prancis 6,1%.
Median laju inflasi negara G-20 pada Juni 2022 ada di angka 7,79% sementara itu inflasi Indonesia pada bulan tersebut mencapai 4,35%. Tren inflasi negara G-20 juga memiliki perbedaan yang cukup besar. Anggota G-20 dari kawasan Asia cenderung mencatatkan inflasi rendah. Sebaliknya, lonjakan signifikan terjadi pada anggota G-20 di kawasan Eropa dan Amerika.
Inflasi Arab Saudi pada Juni hanya mencapai 2,3% sementara Jepang 2,4%, China 2,5%, dan Indonesia 4,35%. Inflasi tinggi hanya terjadi di Korea Selatan (6%) dan India (7,01%).
Moody's Analytics dalam analisisnya menjelaskan inflasi rendah di negara berkembang Asia disebabkan oleh sejumlah faktor mulai dari status net eksportir komoditas, kebijakan suku bunga acuan yang akomodatif, masih tingginya pertumbuhan pendapatan, hingga gelontoran bantuan fiskal dalam bentuk subsidi.
Dari enam anggota G-20 dari Asia, hanya India yang mencatatkan inflasi tinggi karena India merupakan net importir untuk beberapa komoditas mulai dari minyak nabati, emas, dan minyak mentah. Arab Saudi adalah net eksportir untuk minyak mentah sementara Indonesia net eksportir untuk batu bara dan minyak sawit.
Sementara itu, inflasi rendah di China dan Jepang juga ditopang oleh kebijakan moneter mereka yang akomodatif. Tidak seperti negara-negara maju, bank sentral Jepang dan China tetap mempertahankan suku bunga acuan mereka di tengah gempuran kenaikan suku bunga.
Inflasi Indonesia masih di bawah median anggota G-20, terutama karena kebijakan pemerintah mempertahankan harga BBM dan tarif dasar listrik untuk masyarakat menengah ke bawah.
"Krisis pangan dan energi global memberikan tekanan kepada inflasi domestik sepanjang tahun 2022 tapi inflasi energi akibat krisis global dapat diredam dampaknya melalui kebijakan subsidi pemerintah," tutur Margo.
Indonesia dan Malaysia adalah sebagian negara Asia yang memberikan bantuan subsidi dalam jumlah besar untuk memitigasi dampak kenaikan harga pangan dan energi.
Ekonom OCBC Wellian Wiranto menjelaskan salah satu alasan mengapa laju inflasi di Asia rendah, termasuk negara G-20, adalah harga beras yang stabil. Tidak seperti gandum yang melonjak tajam setelah perang, harga beras cenderung stabil karena produksi melimpah.
"Untuk Asia, beras menjadi penyelamat. Peran beras sangat besar (dalam menekan inflasi). Pasokan beras melimpah. Tidak seperti jagung atau gandum, beras juga jarang digunakan untuk industri peternakan sehingga pasokan aman,"tutur Wellian dalam Stable Staple Rice price has helped to contain Asia's inflation for now.
Rusia dan Ukraina memasok sekitar 26% gandum dunia sehingga perang membuat konsumen gandum seperti Turki menjerit.
Sementara itu, inflasi di Eropa dan Amerika Serikat (AS) melonjak tajam karena kenaikan harga energi. Eropa menggantungkan 40% pasokan energinya kepada Rusia sehingga mereka sangat terdampak oleh perang. Harga energi mulai dari gas, minyak mentah, hingga batu bara melesat sejak perang sementara produksi di Eropa belum memenuhi kebutuhan mereka.
Konsumen AS harus menanggung harga energi sesuai pasar sehingga inflasi pada kelompok bahan bakar melesat. Inflasi AS melambung 9,1% (yoy) pada Juni, tertinggi dalam 41 tahun terakhir. Inflasi juga melesat di Inggris ke angka 9,4% pada Juni yang merupakan level tertinggi sejak 1990 karena lonjakan harga energi dan pangan.
Dari 20 anggota G-20, empat negara mencatatkan inflasi dobel digit pada Juni yakni Turki (78,62%), Argentina (64%), Rusia (15,9%), dan Brasil (11,89%). Tingginya inflasi Turki dipicu kenaikan harga pangan, seperti gandum dan minyak nabati, serta anjloknya mata uang lira. Inflasi melambung di Rusia sebagai dampak perang sementara inflasi Brasil meloncat karena kenaikan harga energi dan pangan.
Inflasi inti Indonesia menembus 0,28 % (mtm) dan 2,86% (yoy). Secara tahunan, inflasi inti pada Juli adalah yang tertinggi sejak April 2020 (2,9%).
Inflasi inti naik tajam sepanjang tahun ini menyusul dilonggarkannya mobilitas masyarakat. Pada Desember 2021 lalu, inflasi inti masih ada di angka 1,5% tetapi pada Juni tahun ini sudah mencapai 2,63%.
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana menjelaskan inflasi inti terus merangkak naik sejak Oktober tahun lalu. "Inflasi inti memang masih bawah ambang batas BI (2-4%) meskipun ada kenaikan ongkos produksi. Jika hanya mempertimbangkan inflasi inti, BI mungkin masih menahan suku bunga acuan," tutur Wisnu.
Ekonom BCA David Sumual mengingatkan ada jeda waktu dalam laju inflasi inti Indonesia dengan kondisi sesungguhnya sehingga kecepatan inflasi inti baru terlihat dalam beberapa bulan.
"Di Indonesia itu ada buffer lewat fiscal policy sehingga dampak (pergerakan harga) nya ada lagging ke inflasi inti," tutur David, kepada CNBC Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA