Ekonomi Cuma Tumbuh 0,4%, Jadi Sinyal Resesi China?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
15 July 2022 16:20
Gegara China Lockdown Terus! Resesi Dunia di Depan Mata
Foto: Infografis/ Gegara China Lockdown Terus! Resesi Dunia di Depan Mata /Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua 2022 hanya sebesar 0,4% secara tahunan (year-on-year). Pencapaian tersebut jauh di bawah pertumbuhan pada kuartal I/2022 yang mencapai 4,8%. Catatan itu juga jauh di bawah konsensus pasar sebesar 1%.

Adapun, angka itu juga menjadi yang terendah sejak kontraksi sebesar 6,8% pada kuartal I-2020 akibat meledaknya kasus virus Corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang memaksa pemerintah memberlakukan lockdown.

Pertumbuhan yang melambat ini terjadi setelah kota terbesar China, Shanghai, ditutup selama dua bulan karena memerangi kebangkitan Covid. Akibatnya rantai pasokan terganggu dan memaksa pabrik untuk menghentikan operasi.

Hal yang sama juga terjadi di ibu kota China, Beijing. Kebijakan nol-Covid dengan penguncian cepat dan karantina yang panjang untuk menekan penularan malah menghancurkan bisnis dan membuat konsumen gelisah.

"Di dalam negeri, dampak epidemi masih ada," kata NBS dalam sebuah pernyataan, mencatat permintaan yang menyusut dan pasokan yang terganggu, dilansir AFP.

"Risiko stagflasi dalam ekonomi dunia meningkat juga," lanjut pernyataan itu.

Dengan pertumbuhan ekonomi semester pertama sebesar 2,5%, Beijing diperkirakan akan kehilangan target pertumbuhan tahunan sekitar 5,5% untuk 2022, yang merupakan level terendah dalam tiga dekade.

"Data ini menyoroti keadaan domestik dan eksternal yang tidak menguntungkan yang, seiring dengan strategi nol-Covid pemerintah, menekan aktivitas ekonomi dan menekankan kebutuhan mendesak untuk langkah-langkah kebijakan jangka pendek untuk menghidupkan kembali pertumbuhan," kata Eswar Prasad, profesor ekonomi di Universitas Cornell dan mantan kepala divisi China IMF.

Fu Linghui, juru bicara Biro Statistik China (NBS), mengakui untuk mencapai target pertumbuhan 5,5% China tahun ini sekarang akan "menantang".

"Secara umum, dengan serangkaian kebijakan untuk menstabilkan ekonomi secara kokoh mencapai hasil yang menonjol, ekonomi nasional telah mengatasi dampak buruk dari faktor-faktor tak terduga, menunjukkan momentum pemulihan yang stabil," kata Fu kepada wartawan, Jumat.

Indikator ekonomi China mulai menunjukkan kebangkitan selepas pelonggaran lockdown pada Juni. Akan tetapi risiko masih membayangi terutama dari agresifnya bank sentral dunia menaikkan suku bunganya dalam meredam inflasi. Selain itu pengendalian Covid-19 juga masih menjadi tantangan bagi ekonomi terbesar kedua dunia tersebut.

Pengangguran di 31 kota terbesar China turun dari tertinggi sebelum pandemi menjadi 5,8% pada bulan Juni, tetapi untuk kategori usia 16 hingga 24 tahun naik lebih jauh menjadi 19,3%.

Penjualan ritel, ukuran penting ekonomi China, terkontraksi 4,6% pada kuartal kedua. Pengeluaran konsumen jatuh disebabkan oleh pembatasan perjalanan dalam upaya mencegah penularan Covid-19.

Namun, penjualan ritel di bulan Juni naik sebesar 3,1%, pulih dari kemerosotan sebelumnya dan mengalahkan ekspektasi tidak adanya pertumbuhan dari tahun sebelumnya. Perusahaan e-commerce besar mengadakan festival promosi belanja di pertengahan bulan lalu.

Penjualan ritel pada bulan Juni melihat dorongan dari pengeluaran di banyak kategori termasuk mobil, kosmetik dan obat-obatan. Tetapi katering, furnitur, dan bahan bangunan mengalami penurunan.

Dalam penjualan ritel, penjualan online barang fisik tumbuh sebesar 8,3% dari tahun lalu di bulan Juni, lebih lambat dari pertumbuhan 14% bulan sebelumnya.

Investasi aset tetap, ukuran utama belanja modal China, tumbuh 5,6% bulan lalu. Investasi infrastruktur naik 7,1% karena Beijing meningkatkan stimulusnya, sementara investasi real estat turun 5,4%.

Perlambatan ekonomi China yang lebih dalam dapat mendorong kebijakan moneter dan stimulus fiskal yang lebih longgar, kata para analis. Hal yang berbeda dengan kebijakan negara lainnya yang menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi yang tinggi.

Tetapi fase baru dari risiko investasi yang didorong oleh kredit, melemahkan upaya untuk menangani leverage yang tinggi dan kredit macet di sektor properti. Pada akhirnya telah meningkatkan risiko stabilitas keuangan. Bank Rakyat China sampai saat ini enggan memangkas suku bunga karena takut arus modal keluar. 

Di sisi lain, pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral China mulai menyempit karena kenaikan suku bunga bank sentral di banyak negara terutama Amerika Serikat yang dapat menekan ekonomi dunia. 

Financial Times melaporkan bahwa pemerintah daerah di seluruh China akan diizinkan untuk menerbitkan obligasi tambahan senilai Rmb 1,5 triliun atau US$ 223 miliar tahun ini untuk mendorong pertumbuhan yang lesu.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ras/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi China Diyakini Tak Secepat Mesin Turbo, Ini Sebabnya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular