Sampai Kapan RI Kuat Mensubsidi BBM?

Verda Nano Setiawan, Pratama Guitarra, CNBC Indonesia
13 July 2022 14:29
Infografis: RI Habiskan Ratusan Triliun Demi Subsidi Energi Setiap Tahun
Foto: Infografis/RI Habiskan Ratusan Triliun Demi Subsidi Energi Setiap Tahun/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dalam menyikapi tingginya harga minyak mentah dunia bersikeras tetap menahan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khsusunya Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) dan juga Jenis BBM Tertentu (JBT) seperi Solar Subsidi.

Dengan tidak dinaikannya harga BBM itu, pemerintah memutuskan pada tahun 2022 untuk mengerek nilai subsidi menjadi sebesar Rp 502 triliun. Lalu seberapa kuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus mensubsidi BBM?

Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Saleh Abdurrahman menyatakan, sejatinya untuk instrumen paling kuat untuk menekan konsumsi BBM subsidi adalah dengan cara menaikkan harga BBM.

"Tetapi untuk kasus kita Indonesia tadi dikatakan Presiden, bahwa kita masih kuat, mudah-mudahan kita kuat. Kuat ini artinya produksi minyak kita naik, gas kita naik sehingga ada selisih yang kita bisa terima tetapi saya kira sih keputusan naik atau tidak itu tentu harus didasarkan pada pertimbangan yang sangat matang," terang Saleh, Selasa malam (12/7/2022).

Yang terpenting, kata Saleh, kebijakan yang keluar dari pemerintah dipikirkan untuk lebih komprehensif, supaya tidak memberatkan masyarakat, negara maupun badan usaha.

"Saya yakin bahwa pertimbangannya akan sangat matang kecuali mempertimbangkan Ekonomi kita yang sedang recovery. Juga tadi beban impor harga dan sebagainya ," tandas Saleh.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati menjabarkan, bahwa sejatinya berkenaan dengan migas harus dilihat dari hulu sampai dengan hilir. Kenaikan harga minyak dunia sejatinya bisa memberikan windfall di sektor hulu.

Itu artinya, negara mendapatkan tambahan pendapatan. "Negara dalam konteks Pertamina ada tambahan revenue dan profit dengan peningkatan harga. Namun kemudian ada korban di hilir, jadi itu kan harusnya kemudian kita lihat kalau itu masih bisa disubsidi silang," ungkap Nicke.

Namun sejatinya, Indonesia adalah negara net importir minyak mentah. Sehingga bisa dipastikan tambahan keuntungan atau windfall dari sektor hulu belum bisa mencapai 100%.

"Hari ini untuk crude itu 40% kita masih impor dan untuk produk itu 36% kita masih impor jadi artinya pendapatannya 60% harus bisa nutup pengeluaran yang 100%," tandas Nicke.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai era pandemi menuju endemi telah mengerek tingkat konsumsi BBM di masyarakat. Sementara harga minyak mentah di pasar internasional saat ini cukup tinggi.

Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah untuk menyampaikan kepada publik bahwa subsidi yang digelontorkan negara ini cukup besar. Misalnya saja untuk Pertalite yang saat ini ditahan di harga Rp 7.650 per liter, sementara harga keekonomiannya menyentuh Rp 17.200 per liter.

"Selisihnya dengan yang dijual dalam negeri kisaran Rp 9 ribu sampai Rp 10 ribu per liter sementara kalau kuotanya katakanlah menyentuh sampai 30 juta kl itu ada Rp 300 triliun sendiri per tahun," katanya.

Komaidi menilai sebelum Pertalite menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) menggantikan Premium, konsumsi Pertalite pada waktu itu mencapai 22 juta kl per tahun. Sementara konsumsi Premium antara 6 sampai 8 juta kl.

Sehingga jika ditambah dari 8 juta kl, maka konsumsi Pertalite dapat mencapai 30 juta kl per tahun. Meskipun kemampuan negara hanya mampu untuk memberikan alokasi kuota sebesar 23,05 juta kl.

Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto menilai pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 turut berdampak pada meningkatnya mobilitas masyarakat, sehingga tren penjualan BBM ikut melonjak. Namun kondisi ini tentu akan menjadi beban berat bagi keuangan negara.

Apalagi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) pada hari ini sudah tembus di atas US$ 110 per barel. Sementara asumsi makro di APBN 2023 untuk ICP di kisaran US$ 90 per barel hingga US$ 110 per barel.

"Itu nanti akan mengindikasikan berapa volume yang dipakai lantas subsidinya berapa. Kalau tetap di atas itu dan tidak ada solusi. satu kurangi betul artinya tetapkan saja yang dapatkan subsidi hanya cc 1500. Setelah masih berat lagi nantinya ujungnya yang mendapat subsidi hanya memakai motor saja semua kalau memang APBN tidak mampu," kata dia.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga BBM RON 95 di Negara Tetangga RI Rp30.000, Ini Sebabnya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular