Jakarta, CNBC Indonesia - Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Di sisi lain, bank sentral justru diperkirakan bakal menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi. Kenaikan suku bunga akan membuat ekspansi ekonomi menjadi lebih terbatas.
Diketahui ekonomi Sri Lanka menyusut 1,6% pada kuartal I-2022. Hal ini terjadi karena krisis keuangan yang belum pernah terjadi sebelumnya mulai berdampak pada aktivitas ekonomi.
Pemerintah gagal membayar utang luar negeri senilai US$ 51 miliar pada April lalu dan sedang dalam pembicaraan dana talangan dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Sekitar 22 juta masyarakat Sri Lanka mengalami kekurangan kebutuhan pokok akut selama berbulan-bulan. Termasuk di antaranya adalah makanan, bahan bakar dan obat-obatan.
Sri Lanka harus berhadapan dengan kekurangan energi yang kronis. Selama dua minggu terakhir juga harus menghadapi penutupan beberapa lembaga negara yang tidak penting dan sekolah untuk mengurangi perjalanan.
Sri lanka tercatat hampir kehabisan bensin dan solar, dengan kantor-kantor pemerintah yang tidak penting dan sekolah-sekolah diperintahkan ditutup dalam upaya untuk menghemat persediaan bahan bakar yang terbatas. Pekan lalu, Sri Lanka mengumumkan penghentian dua minggu untuk semua penjualan bahan bakar kecuali untuk layanan penting guna menghemat bensin dan solar untuk keadaan darurat.
Departemen sensus dan statistik setempat menyatakan ini jadi pertama kalinya Indeks Harga Konsumen Kolombo (CCPI) meningkat melampaui 50%. CCPI berada angka tertinggi bulanan sejak Oktober, saat inflasi tahun ke tahun hanya 7,6%, sedangkan pada Mei lalu mencapai 39,1%.
Lalu apa yang menyebabkan Sri Lanka mengalami bangkrut, tak mampu membayar utang sehingga jatuh ke dalam krisis ekonomi ini yang membuat warga pun mulai meninggalkan negara?
Ketergantungan impor menjadi salah satu penyebab Sri Lanka tak mampu membayar utangnya. Negara ini masih melakukan impor ke bahan-bahan pertanian seperti pupuk dan bahan bakar.
Masalah diperburuk dengan kenaikan harga komoditas global, yang menyebabkan harga ikut naik. Ketika harga komoditas melonjak, ini pun membebani biaya impor Sri Lanka.
Lalu, hal ini juga diperparah oleh nilai mata uang yang terus longsor. Selain itu, cadangan devisa negara itu merosot.
Cadangan devisa Sri Lanka tercatat US$ 7,6 miliar pada akhir tahun 2019 dan turun menjadi US$ 5,7 miliar pada akhir 2020 karena pembayaran ke luar melebihi arus masuk mata uang asing di tengah pandemi Covid-19.
Data Terbaru pada Maret 2022, cadangan devisa Sri Lanka tercatat US$ 1,72 miliar, terendah sejak November tahun lalu. Cadangan devisa negara itu terus turun selama tiga bulan beruntun.
Kondisi ini kemudian membuat Sri Lanka susah membayar utang. April lalu, Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) mengumumkan gagal bayar US$ 51 miliar terhadap utang luar negeri.
"Kami kehilangan kemampuan untuk membayar," kata Kepala CBSL Nandalal Weerasinghe dimuat Reuters.
Utang luar negeri Sri Lanka per akhir 2021 adalah US$ 50,72 miliar. Jumlah ini sudah 60,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sebenarnya salah satu negara yang meminjamkan uang ke Sri Lanka adalah China. Negeri itu merupakan salah satu kreditur terbesar Sri Lanka. Pemerintah meminjam Beijing untuk sejumlah infrastruktur proyek sejak 2005, melalui skema Belt and Road (BRI). Salah satunya pembangunan pelabuhan Hambantota.
Mengutip Times of India, total utang Sri Lanka ke China mencapai US$ 8 miliar. Sekitar seperenam dari total utang luar negerinya.
Namun sayangnya sebagian proyek dinilai tak memberi manfaat ekonomi bagi negara itu. China juga meminta jatah ekspor produk mereka ke Sri Lanka senilai US$ 3,5 miliar.
Di tengah krisis yang tengah dialami Sri Langka, bank sentral justru diperkirakan menaikkan suku bunga acuan. Bank sentral Sri Lanka diperkirakan akan menaikkan suku bunga dalam rapat hari ini untuk melawan rekor inflasi tinggi dan melanjutkan pembicaraan bailout dengan IMF.
Bank Dunia dalam laporan terbarunya Global Economic Prospects telah mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga acuan dan tingginya inflasi akan membuat sejumlah negara berjuang keras menahan arus modal keluar. Bank Dunia juga menyoroti kemampuan Sri Lanka dalam meredam capital outflow seiring besarnya utang dan buruknya prospek ekonomi mereka. Negara tersebut kini berjuang dengan lonjakan yield surat utang, inflasi, dan depresiasi mata uang.
Sementara analis memperingatkan, kenaikan suku bunga akan berdampak kecil dalam mengurangi harga yang melonjak, karena sebagian besar didorong oleh biaya bahan bakar yang lebih tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA