
Rusia & Ukraina Perang, Seluruh Dunia yang Menanggung Derita

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang yang terjadi di Ukraina setelah Rusia menyerang negara itu pada 24 Februari lalu tampaknya tak hanya menjadi 'permainan' dua pihak saja.
Di samping banyak negara yang secara tegas memihak kubu tertentu, bahkan ikut berkontribusi secara langsung, efek perang itu nyatanya dirasakan di seluruh dunia.
Bukan tembakan senjata atau serangan rudal, tetapi lonjakan harga energi dan pangan yang jadi momok menakutkan untuk sebagian besar negara di seluruh benua.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan awal bulan ini, The New York Times menyoroti meroketnya harga bahan bakar global yang mengancam mata pencarian dan stabilitas sosial di seluruh dunia.
Penyebab utamanya tak lain dan tak bukan perang di Ukraina yang dipicu serangan Rusia, eksportir minyak dan gas terbesar ke pasar global, diikuti oleh serangkaian sanksi yang menyasar ekonomi Negeri Beruang Merah itu, termasuk migas.
Sialnya, hal itu memperparah rantai pasok energi yang sejatinya masih berusaha bangkit setelah dihantam oleh pandemi Covid-19 sejak lebih dari 2 tahun lalu.
Alhasil, sejumlah negara mulai 'teriak' dengan tingginya harga energi tersebut.
![]() |
Di Amerika Serikat (AS), misalnya, harga BBM telah mencapai US$ 5 per galon (1 galon setara 3,78 liter) atau Rp Rp 75 ribu.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyerukan penangguhan pajak bahan bakar federal selama 3 bulan untuk meredam harga yang terus melejit.
Biden mengatakan orang-orang yang selama ini membayar lebih untuk harga bahan bakar layak mendapatkan bantuan finansial. Dia bahkan menilai penangguhan pajak sebesar US$ 18,4 sen per galon masih belum cukup.
Biden juga mendesak negara bagian untuk sementara menangguhkan pajak bahan bakar negara bagian, yang seringkali lebih tinggi dari tarif federal.
Namun, kebijakan itu pun sejatinya membawa dilema. Para ekonom menilai penangguhan pajak bahan bakar tidak mungkin menurunkan tingkat inflasi secara keseluruhan.
Hal itu justru dianggap dapat mengancam atau merusak tujuan energi bersih dan infrastruktur Biden yang bisa berdampak dari sisi politik, mengingat AS akan segera melakukan pemilihan kongres paruh waktu.
Selain itu, Biden dan para pemimpin Kelompok Negara 7 (G7) sepakat untuk membatasi harga minyak Rusia yang diekspor. Namun, hal itu pun dinilai sulit untuk direalisasikan.
Di Eropa, ketergantungan yang berlebihan pada minyak dan gas alam Rusia telah membuat benua itu sangat rentan terhadap harga dan kekurangan yang tinggi. Dalam beberapa pekan terakhir, Rusia telah menurunkan pengiriman gas ke beberapa negara Eropa.
Di seluruh benua, negara-negara sedang mempersiapkan cetak biru untuk penjatahan darurat yang melibatkan pembatasan penjualan, pengurangan batas kecepatan, dan penurunan termostat.
Sementara itu, Perdana Menteri China Li Keqiang menyerukan peningkatan produksi batu bara untuk menghindari pemadaman listrik selama gelombang panas di negara itu. Adapun, di Jerman, pembangkit listrik batu bara yang dijadwalkan pensiun kini diaktifkan kembali.
![]() |
Nasib Negara Miskin
Di negara-negara yang lebih miskin, ancamannya lebih besar karena pemerintah dihadapkan pada dilema antara menawarkan bantuan publik tambahan, yang mengharuskan mengambil utang, atau menghadapi ancaman kerusuhan serius.
Di Ekuador, subsidi gas pemerintah dilembagakan pada 1970-an, dan setiap kali pejabat mencoba mencabutnya, selalu ada reaksi keras.
Pemerintah menghabiskan sekitar US$ 3 miliar per tahun untuk memberikan harga bensin tetap senilai US$ 2,55 dan harga solar US$ 1,90 per galon.
Pada 26 Juni lalu, Presiden Guillermo Lasso mengusulkan pemotongan 10 sen dari masing-masing harga tersebut, tetapi Konfederasi Bangsa Pribumi Ekuador yang kuat, yang telah memimpin protes selama dua minggu, menolak rencana tersebut dan menuntut pengurangan 40 dan 45 sen.
Pemerintah pun setuju untuk memotong setiap harga sebesar 15 sen dan protes akhirnya mereda.
Andrés Albuja, seorang analis ekonomi, menilai subsidi bahan bakar yang mencapai hampir 2% dari PDB negara itu akhirnya membuat sektor ekonomi lain 'kelaparan'. Pengeluaran kesehatan dan pendidikan baru-baru ini dikurangi sebesar US$ 1,8 miliar untuk mengamankan pembayaran utang negara yang besar.
Di Meksiko, Presiden Andrés Manuel López Obrador menggunakan uang yang dihasilkan negara itu dari minyak mentah yang diproduksinya untuk membantu menyubsidi harga gas domestik. Tetapi para analis memperingatkan bahwa pendapatan yang diperoleh pemerintah dari minyak tidak dapat menggantikan uang yang hilang dengan menghapus sementara pajak atas gas dan dengan memberikan subsidi tambahan kepada perusahaan yang mengoperasikan SPBU.
Di Nigeria, di mana pendidikan publik dan perawatan kesehatan berada dalam kondisi yang mengerikan dan negara tidak dapat menjamin listrik atau keselamatan dasar warganya, banyak orang merasa bahwa subsidi bahan bakar adalah satu-satunya hal yang dilakukan pemerintah untuk mereka.
Di Afrika Selatan, tingginya harga bahan bakar justru dimanfaatkan dalam 'perang politik' negara tersebut.
Proyeksi Ekonomi
Sebagian potret dari berbagai negara itu menunjukkan bahwa kenaikan harga bahan bakar yang signifikan berpotensi mengubah hubungan ekonomi, politik, dan sosial di seluruh dunia. Biaya energi yang tinggi memiliki efek berantai, meningkatkan inflasi sehingga memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, dan mengganggu upaya untuk memerangi perubahan iklim.
Lonjakan harga energi juga menjadi alasan utama Bank Dunia merevisi proyeksi ekonominya bulan lalu, memperkirakan bahwa pertumbuhan global akan melambat bahkan lebih dari yang diharapkan menjadi 2,9% tahun ini. Presiden Bank Dunia David Malpass pun memperingatkan bahwa "bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari."
Seperti biasa, dalam kasus krisis, yang paling miskin dan paling rentan akan merasakan dampak yang paling parah.
"Kenaikan harga energi dan pangan secara simultan merupakan pukulan ganda bagi masyarakat miskin di hampir setiap negara," kata Eswar Prasad, seorang ekonom di Cornell University, "dan dapat memiliki konsekuensi yang menghancurkan di beberapa sudut dunia jika terus berlanjut untuk waktu yang lama."
![]() |
Badan Energi Internasional (IEA) memperingatkan bulan lalu bahwa harga energi yang lebih tinggi berarti tambahan 90 juta orang di Asia dan Afrika tidak memiliki akses listrik.
Selain itu, harga energi yang mahal juga berkontribusi pada biaya transportasi yang lebih tinggi sehingga turut meningkatkan harga setiap barang yang diangkut. Alhasil, harga pangan pun ikut terkerek dan menurunkan standar hidup serta membuat jutaan orang kelaparan.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol pun merangkum fenomena tingginya harga bahan bakar akibat perang Rusia dan Ukraina dengan sederhana.
"Kami masih melihat harga energi yang fluktuatif di tahun-tahun mendatang. Pada titik ini, satu-satunya skenario di mana harga bahan bakar turun adalah resesi dunia," tuturnya.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inflasi Eropa Patahkan Ekspektasi, Turun Jadi 8,5% di Januari
