Kata 5 Ekonom Soal Resesi Dunia, Semengerikan Apa?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
06 July 2022 09:05
Infografis: Gawat 5 Negara Besar Berisiko Terkena Resesi
Foto: Infografis/Gawat 5 Negara Besar Berisiko Terkena Resesi/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi sepanjang 2022 semuanya serba tak pasti, berbagai perkembangan menebar kekhawatiran. Bertemunya krisis energi, pangan, dan keuangan berujung pada resesi global.

World Bank atau Bank Dunia dalam laporan terbarunya bertajuk Global Economic Prospects edisi Juni 2022 menggambarkan rumitnya kondisi saat ini. Perekonomian global tak bisa terlepas dari stagflasi.

Stagflasi adalah kondisi dimana pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan bahkan turun, dibarengi dengan inflasi yang tinggi.

Peningkatan risiko stagflasi membuat resesi ekonomi akan sulit dihindari. Risiko stagflasi cukup besar dengan konsekuensi yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Semua ekonom sepakat, pemangku kepentingan perlu mewaspadai dan mengantisipasi potensi terjadinya stagflasi atau stagnasi atau bahkan perlambatan pertumbuhan ekonomi yang datang bersamaan dengan inflasi tinggi.

Pemerintah harus mengendalikan laju inflasi yang dapat melemahkan daya beli masyarakat dan pada akhirnya berpotensi mengendurkan pertumbuhan ekonomi.

CNBC Indonesia telah merangkum lima pandangan ekonom di dalam negeri, tentang resesi global yang sedang mengintai banyak negara, tak terkecuali Indonesia.

1. David Sumual, Kepala Ekonom PT BCA Tbk

David berpandangan, resesi global muncul karena faktor inflasi yang tinggi di banyak negara yang tidak terantisipasi sejak awal, yang menyebabkan mereka harus menaikan suku bunganya signifikan dan agresif dalam waktu singkat.

"Sehingga mempengaruhi daya beli banyak negara dan banyak negara sekarang menaikan suku bunga secara drastis. Jadi, itu sebenarnya yang kurang baik untuk sektor riil," jelas David kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/7/2022).

Resesi global yang terjadi sekarang ini, menurut David dampaknya tidak akan seburuk seperti krisis finansial pada 1998 dan 2008. Karena saat ini di saat bersamaan, banyak negara yang juga ekonominya mulai pulih.

"Kalau hari ini beda dengan 2008, itu eksposur aset-aset derivatif tidak sebesar 2008. Harapannya tidak ada gangguan dari sisi finansial yang terpukul dari hanya beberapa sektor riil," ujarnya.

Dampaknya ke Indonesia pun dari adanya resesi global ini ke Indonesia, menurut David tidak akan terlalu signifikan. Karena harga komoditas yang kini menjadi penopang ekonomi Indonesia, masih relatif tinggi karena perang Rusia-Ukraina masih berlangsung.

Paling utama yang harus diperhatikan, menurut David adalah ekonomi domestik. Jangan sampai sektor konsumsi di dalam negeri terganggu.

"Kalau sektor konsumsi kita terganggu, seperti di masa-masa pandemi, itu pasti pengaruhnya akan signifikan. Kita kan ekspor-impor gak sebesar negara-negara lain. Kita lebih terisolasi atau lebih punya ketahanan ekonomi," jelas David

2. Josua Pardede, Ekonom PT Bank Permata

Menurut Josua, resesi global yang diperkirakan terjadi dalam waktu dekat mempunyai perbedaan dengan krisis-krisis sebelumnya, terutama dengan krisis pandemi.

Krisis pandemi berawal dari penurunan aktivitas ekonomi akibat menyebarnya pandemi Covid-19. Sementara itu, krisis 2008 berasal dari burst yang terjadi pada aset derivatif di AS yang kemudian melebar ke berbagai aset finansial global.

"Potensi resesi pada kali ini cenderung berasal dari potensi stagflasi di berbagai negara," jelas Josua.

Stagflasi berasal dari kenaikan inflasi di sebagian sektor, akibat bahan baku yang meningkat utamanya komoditas energi dan pangan. Namun, inflasi ini juga tidak diimbangi oleh peningkatan permintaan.

Sehingga daya beli masyarakat umum mengalami penurunan, yang kemudian mendorong perlambatan pengeluaran konsumen secara global.

"Kondisi inflasi yang tinggi diperkirakan mempengaruhi Indonesia, terutama bila stagflasi tersebut terjadi di mitra dagang dan investasi Indonesia, seperti Tiongkok dan AS," jelas Josua.

Diperkirakan bila stagflasi terjadi, maka aliran ekspor dan investasi Indonesia akan cenderung terhambat di tengah proses pemulihan pasca pandemi.

Selain dari sisi investasi dan perdagangan, stagflasi yang terjadi di berbagai negara juga berpotensi melemahkan nilai tukar Rupiah akibat investor yang mencari aset-aset safe haven di kala krisis.

Potensi stagflasi di Indonesia sendiri, kata Josua relatif masih rendah di tengah inflasi yang meningkat, sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menjaga harga, sehingga hingga saat ini indikator konsumen Indonesia masih relatif solid.

"Dampak kepada perekonomian Indonesia pada resesi global diperkirakan tidak separah 2020 ataupun 1998 seiring dengan kondisi ekonomi riil yang masih relatif stabil sejauh ini," ujarnya.

"Namun, potensi perlambatan ekonomi masih tetap ada, seiring dengan dampaknya pada beberapa sektor dan nilai tukar rupiah," kata Josua lagi.

3. Irman Faiz, Analis Makroekonomi Bank Danamon

Faiz menjelaskan, risiko resesi global saat ini adalah kombinasi antara disrupsi rantai produksi dan penurunan demand membuat output terkontraksi. Namun, disaat output terkontraksi, inflasi diperkirakan turunnya moderat secara perlahan.

Resesi global yang terjadi saat ini, juga menurut Irman tidak akan separah dengan episode-episode krisis sebelumnya. Karena saat ini dari sisi permintaan telah cukup kuat saat pandemi Covid-19 kian melandai.

"Jadi seharusnya jika isu di sisi supply-nya bisa diatasi dari disrupsi rantai produksi, ekonominya akan cepat pulih dan tidak jatuh sedalam episode-episode sebelumnya," jelas Faiz.

Dampaknya ke Indonesia dengan adanya resesi global ini, kata Faiz adalah penurunan kinerja ekspor, karena permintaan global akan menurun. Jika penerimaan ekspor turun dalam, maka akan mempengaruhi permintaan domestik.

"Sementara inflasi akan meningkat, akibat menurunnya supply dari global. Namun, ini sifatnya risiko," tuturnya.

4. Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri

Faisal memandang, dampak resesi global tak akan separah dengan krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 dan 2008, yang saat ini diakibatkan karena krisis finansial.

"Proyeksi-proyeksi lembaga besar juga melihat ekonomi dunia hanya melambat, tapi secara sepanjang tahun tidak mencapai negatif," jelas Faisal.

Artinya, perbaikan permintaan pasca pandemi, namun tidak akan sebaik prakiraan awal, karena ada isu naiknya inflasi yang berujung lebih cepatnya normalisasi kebijakan moneter dunia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini, menurut Faisal masih akan mampu menyentuh di atas 5% secara tahunan (year on year) atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi 2021 yang mencapai 3,69% (yoy).

"Yang menjadi isu utama adalah naiknya tingkat inflasi dimana pasti golongan bawah yang akan terasa dampaknya. Akan terjadi penurunan daya beli bagi mereka," jelas Faisal.

Oleh karena itu, menurut Faisal kebijakan pemerintah melalui bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi yang tepat sasaran akan menjadi kunci untuk menopang daya beli masyarakat, sehingga pemulihan ekonomi dapat berlangsung dengan baik di tahun ini.

5. Abdul Manap Pulungan, Indef

Abdul memandang resesi global telah terjadi sejak awal tahun ini, karena saat itu ekonomi global mengalami penurunan pertumbuhan yang diikuti dengan peningkatan inflasi atau stagflasi.

Stagflasi akan sangat berbahaya karena dari sisi permintaan akan menggerus daya beli masyarakat, sementara dari sisi penawaran tenaga kerja akan berisiko pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Ketika inflasi meningkat, berarti biaya input produksi bagi perusahaan akan meningkat. Pada satu sisi dia tidak bisa langsung menaikan harga barang pokoknya, karena daya beli sedang rendah," jelasnya.

Gejolak ekonomi global ini akan mempengaruhi melemahnya nilai tukar rupiah atau depresiasi. Ketika depresiasi terjadi, semua agenda ekonomi akan terpengaruh.

"Pengaruh terhadap orang2 kaya atau pengusaha itu terlihat dari lonjakan produksi biaya perusahaan mereka," jelas Abdul.

"Bagi kita rakyat jelata ini kenanya lewat harga barang2 pokok yang kita beli, kan sebagian besar bahan makanan kita diimpor, misalnya kedelai," ujarnya lagi.

Berbeda dari pandangan empat ekonom sebelumnya, menurut Abdul krisis ekonomi yang akan terjadi, dampaknya akan lebih para dari krisis 1998 dan 2008.

"Kalau krisis 1998 hanya terjadi di kawasan Asia. Sementara di luar Asia itu dia ekonominya rebound karena waktu itu ada kenaikan harga komoditas. Sama juga dengan 2008, yang terkena paling signifikan itu AS, tapi yang terkena kan hanya sektor keuangan, sementara sektor riil bisa bergerak," jelas Abdul.

Nah, yang terjadi sekarang, situasi itu terbalik, disaat pandemi melanda semua sektor ekonomi mengalami penurunan. Ditambah lagi adanya gejolak geopolitik Rusia-Ukraina, yang diikuti melonjaknya harga komoditas dan inflasi.

"Akumulasi itu lah yang menyimpulkan situasi sekarang yang tidak baik-baik saja. Akan lebih buruk dibandingkan krisis 98 dan 2008," ujarnya.

Oleh karena itu, Abdul menyarankan agar otoritas terus meningkatkan ekonomi di dalam negeri. Harga-harga komoditas yang diatur pemerintah, agar ditahan dulu kenaikannya. Implikasinya memang akan menggerogoti fiskal.

Namun jika harga-harga komoditas dibiarkan tertransmisi kepada konsumen atau masyarakat, ekonomi Indonesia akan sulit tumbuhnya dan masyarakat akan semakin menderita.

"Karena ini baru pandemi, belum ada lahan pekerjaan baru. Kalau tiba-tiba harga semua naik, itu akan menyebabkan masalah baru di ekonomi kita, khususnya lonjakan pengangguran dan angka kemisinan," jelas Abdul.

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular