Kata 5 Ekonom Soal Resesi Dunia, Semengerikan Apa?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
06 July 2022 09:05
Infografis, Tetangga RI Ini  Diramal Segera Masuk Jurang Resesi, Ada RI?
Foto: Infografis/ Jurang Resesi/ Ilham Restu

4. Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri

Faisal memandang, dampak resesi global tak akan separah dengan krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 dan 2008, yang saat ini diakibatkan karena krisis finansial.

"Proyeksi-proyeksi lembaga besar juga melihat ekonomi dunia hanya melambat, tapi secara sepanjang tahun tidak mencapai negatif," jelas Faisal.

Artinya, perbaikan permintaan pasca pandemi, namun tidak akan sebaik prakiraan awal, karena ada isu naiknya inflasi yang berujung lebih cepatnya normalisasi kebijakan moneter dunia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini, menurut Faisal masih akan mampu menyentuh di atas 5% secara tahunan (year on year) atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi 2021 yang mencapai 3,69% (yoy).

"Yang menjadi isu utama adalah naiknya tingkat inflasi dimana pasti golongan bawah yang akan terasa dampaknya. Akan terjadi penurunan daya beli bagi mereka," jelas Faisal.

Oleh karena itu, menurut Faisal kebijakan pemerintah melalui bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi yang tepat sasaran akan menjadi kunci untuk menopang daya beli masyarakat, sehingga pemulihan ekonomi dapat berlangsung dengan baik di tahun ini.

5. Abdul Manap Pulungan, Indef

Abdul memandang resesi global telah terjadi sejak awal tahun ini, karena saat itu ekonomi global mengalami penurunan pertumbuhan yang diikuti dengan peningkatan inflasi atau stagflasi.

Stagflasi akan sangat berbahaya karena dari sisi permintaan akan menggerus daya beli masyarakat, sementara dari sisi penawaran tenaga kerja akan berisiko pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Ketika inflasi meningkat, berarti biaya input produksi bagi perusahaan akan meningkat. Pada satu sisi dia tidak bisa langsung menaikan harga barang pokoknya, karena daya beli sedang rendah," jelasnya.

Gejolak ekonomi global ini akan mempengaruhi melemahnya nilai tukar rupiah atau depresiasi. Ketika depresiasi terjadi, semua agenda ekonomi akan terpengaruh.

"Pengaruh terhadap orang2 kaya atau pengusaha itu terlihat dari lonjakan produksi biaya perusahaan mereka," jelas Abdul.

"Bagi kita rakyat jelata ini kenanya lewat harga barang2 pokok yang kita beli, kan sebagian besar bahan makanan kita diimpor, misalnya kedelai," ujarnya lagi.

Berbeda dari pandangan empat ekonom sebelumnya, menurut Abdul krisis ekonomi yang akan terjadi, dampaknya akan lebih para dari krisis 1998 dan 2008.

"Kalau krisis 1998 hanya terjadi di kawasan Asia. Sementara di luar Asia itu dia ekonominya rebound karena waktu itu ada kenaikan harga komoditas. Sama juga dengan 2008, yang terkena paling signifikan itu AS, tapi yang terkena kan hanya sektor keuangan, sementara sektor riil bisa bergerak," jelas Abdul.

Nah, yang terjadi sekarang, situasi itu terbalik, disaat pandemi melanda semua sektor ekonomi mengalami penurunan. Ditambah lagi adanya gejolak geopolitik Rusia-Ukraina, yang diikuti melonjaknya harga komoditas dan inflasi.

"Akumulasi itu lah yang menyimpulkan situasi sekarang yang tidak baik-baik saja. Akan lebih buruk dibandingkan krisis 98 dan 2008," ujarnya.

Oleh karena itu, Abdul menyarankan agar otoritas terus meningkatkan ekonomi di dalam negeri. Harga-harga komoditas yang diatur pemerintah, agar ditahan dulu kenaikannya. Implikasinya memang akan menggerogoti fiskal.

Namun jika harga-harga komoditas dibiarkan tertransmisi kepada konsumen atau masyarakat, ekonomi Indonesia akan sulit tumbuhnya dan masyarakat akan semakin menderita.

"Karena ini baru pandemi, belum ada lahan pekerjaan baru. Kalau tiba-tiba harga semua naik, itu akan menyebabkan masalah baru di ekonomi kita, khususnya lonjakan pengangguran dan angka kemisinan," jelas Abdul.

(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular