Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah diperkirakan tidak akan jor-joran dalam menarik utang pada tahun ini. Pasalnya, pemerintah memiliki banyak senjata untuk menutup defisit anggaran pada tahun ini, mulai dari saldo anggaran lebih (SAL), lonjakan penerimaan negara, hingga peran Bank Indonesia sebagai pembeli surat utang.
Hingga Maret 2022, SAL yang dikantongi pemerintah tercatat Rp 149,7 triliun sementara penerimaan negara sudah mencapai Rp 501 triliun. Penerimaan tumbuh 32,1% dibandingkan Januari-Maret 2021.
Sri Mulyani, Rabu (20/4), mengatakan kedua faktor tersebut membuat pemerintah tidak harus terburu-buru menarik utang di tengah meningkatnya ketidakpastian global.
"Pada saat kondisi pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan pasar uang cenderung menghadapi tekanan. Kita sudah menciptakan ketahanan sehingga di tengah pasar keuangan yang volatile, tidak harus dipaksa melakukan pembiayaan," tutur Sri Mulyani pada konferensi pers APBN Kita, Rabu (20/4).
Bakal kecilnya penarikan utang pemerintah pada tahun ini tercermin dari penarikan SBN (neto) pada Januari-Maret atau kuartal I tahun 2022. Selama kuartal I tahun ini, pemerintah hanya menarik SBN (neto) sebesar Rp 133,6 triliun, turun 64% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dalam lima tahun terakhir, penarikan SBN (neto) kuartal I tahun ini adalah yang terendah kedua setelah kuartal II tahun 2020 (Rp 83,91 triliun).
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz memperkirakan pemerintah hanya akan mengambil utang sebesar Rp 581 triliun pada tahun ini. Sebagai catatan, dalam APBN, penarikan pinjaman melalui SBN (neto) ditargetkan sebesar Rp 991,29 triliun.
"Itu di luar pembelian yang dilakukan Bank Indonesia," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.
Irman menambahkan dengan penerimaan yang lebih tinggi, defisit anggaran tahun ini diperkirakan hanya menembus 3,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan yang ditetapkan dalam APBN yakni 4,85% dari PDB.
"Defisit tertolong penerimaan yang juga tertolong harga komoditas, tax amnesty, dan kebijakan penyesuaian tarif pajak," ucap Irman.
Sebelumnya, Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) Deni Ridwan mengatakan pemerintah berencana mengurangi penerbitan SBN tahun ini setidaknya Rp 100 triliun seiring dengan optimalisasi penerimaan negara.
"Penerbitan SBN akan selalu mempertimbangkan kondisi pasar keuangan, kebutuhan pembiayaan dan kondisi kas negara sehingga penerbitan yang dilakukan dapat sesuai dengan rencana kebutuhan dan pada window yang tepat," tutur Deni, kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.
Deni menambahkan keberadaan Bank Indonesia sebagai standby buyer juga membuat pemerintah tidak terburu-buru dalam mengambil utang jika kupon yield yang diminta terlalu tinggi.
Halaman selanjutnya --> Gak Perlu Buru-Buru Utang, Ada BI yang Bikin Tenang
Sebagai mana diketahui, Bank Indonesia dan pemerintah sepakat melakukan burden sharing dalam tiga tahap yakni Surat Keputusan Bersama (SKB) Pertama tanggal 16 April 2020, kemudian SKB II pada Juli 2020, dan SKB III pada Agustus 2021.
Skema burden sharing didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit. Untuk pembiayaan public goods, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian SBN dengan mekanisme private placement. Pada pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, BI bertindak sebagai standby buyer dan membeli SBN sesuai mekanisme pasar.
Untuk pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%. Sementara itu, untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh pemerintah sebesar market rate.
Pada tahun 2020, BI telah membeli SBN dalam skema burden sharing sebesar Rp 473,42 triliun. Sepanjang 2021, BI telah membeli SBN untuk pendanaan APBN 2021 sebesar Rp 358,32 triliun yang terdiri dari pembelian di pasar perdana sebesar Rp 143,32 triliun serta private placement sebesar Rp 215 triliun untuk pembiayaan penanganan kesehatan dan kemanusiaan dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19.
Untuk tahun ini, hingga 14 April, BI telah membeli SBN senilai Rp 17,81 triliun melalui mekanisme lelang utama, greenshoe option, dan private placement.
Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk tahun ini, hingga Maret, BI sebagai standy buyer telah merealisasikan SKB I sebesar Rp 15,3 trilun.
"BI juga memberikan dukungan dalam bentuk SKB III yaitu untuk mendukung kesehatan dan bantuan sosial. Ini belum terealisir dan kita akan lakukan di semester II," ujar Sri Mulyani.
Peran besar BI dalam membiayai anggaran tercermin dalam kepemilikan SBN rupiah yang melonjak drastis selama pandemi. Per 21 April 2022, kepemilikan BI dalam SBN rupiah gross) mencapai Rp 1.232,9 triliun atau 25,4% dari total SBN rupiah yang ada. Angka tersebut melesat jauh dibandingkan dengan yang tercatat per 31 Desember 2019. Pada periode tersebut, kepemilikan BI dalam SBN rupiah (gross) masih Rp 273,21 triliun, atau 9,93% dari total.
Selain mengandalkan BI, pemerintah juga kini memperbesar porsi investor ritel dalam porsi surat utang mereka. Peningkatan kepemilikan investor ritel tidak hanya memperdalam inklusi keuangan tetapi juga mengurangi tekanan saat pasar keuangan global bergejolak.
Per 21 April 2022, kepemilikan investor ritel dalam SBN tercatat 5,64%. Angka tersebut melonjak drastis dibandingkan 2,95% per 31 Desember 2019.
Pada tahun ini, pemerintah berencana menjual surat utang senilai Rp 100 triliun kepada investor ritel. Hingga Maret, pemerintah sudah menjual ORI021 senilai Rp 25 triliun dan Sukuk Ritel (SR016) senilai Rp 18,41 triliun.
Dampak positif dari kenaikan harga komoditas pernah dirasakan pemerintah pada tahun 2011-2014 ketika terjadi booming commodity.
Pada tahun 2011, misalnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp 213,8 triliun, melonjak dibandingkan tahun 2010 (Rp 168,8 triliun). Penerimaan tersebut di atas target APBN 2011 yang ditargetkan Rp 191,98 triliun.
Pada tahun 2011, penerimaan SDA migas mencapai Rp 205,8 sementara dari SDA non migas mencapai Rp 20,3 triliun.
Kenaikan penerimaan tersebut membantu menurunkan defisit pada tahun 2011. Realisasi defisit anggaran hanya menembus 1,14% dari PDB, jauh di bawah yang ditetapkan dalam APBN-P 2011 yakni 2,1% dari PDB. Padahal, subsidi energi pada tahun tersebut menembus Rp 255,6 triliun.