RI Untung Gede dari Komoditas, Masa Iya BBM Naik Pak Jokowi?

Redaksi, CNBC Indonesia
22 April 2022 06:10
Infografis: Intip Harta Karun Tambang RI Ini, Terbesar ke-2 di Dunia!
Foto: Infografis/Intip Harta Karun Tambang RI Ini, Terbesar ke-2 di Dunia!/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia mendulang untung besar dari kenaikan harga komoditas. Ini tercermin dari penerimaan negara yang tumbuh tinggi 32,1% atau sudah terkumpul Rp 501 triliun di akhir Maret 2022 (yoy).

Harga komoditas yang melonjak bagaikan mendapat durian runtuh untuk Indonesia. Sebab, komoditas unggulan negeri yakni batu bara, CPO, ICP, tembaga hingga nikel harganya ikut melambung tinggi.

Komoditas unggulan ini memberikan kontribusi ke penerimaan negara baik melalui penerimaan pajak, kepabeanan dan cukai hingga penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Jika dilihat dari sektornya, penerimaan pajak dari industri pertambangan melonjak sebesar 109,7% di Maret 2022 atau secara kumulatif Januari-Maret 154,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

"Sektor pertambangan memberikan kontribusi besar karena ada komoditas boom. Pertambangan tumbuh tinggi berturut-turut di Januari, februari dan Maret di atas 100%. Windfall profit tercapture di pertambangan yang melonjak tinggi," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN edisi April, beberapa waktu lalu.

Kemudian, melalui kepabeanan, batu bara cs ini memberikan kontribusi melalui bea keluar. Dimana Bea Keluar tumbuh hingga 132,2% hingga akhir Maret atau nominalnya mencapai Rp 10,7 triliun.

Kinerja Bea Keluar yang tumbuh tinggi ini ditopang oleh kenaikan harga produk kelapa sawit (CPO) serta peningkatan harga sekaligus volume ekspor tembaga.

"Jadi memang bea keluar ini menggambarkan kegiatan ekspor terutama barang-barang komoditas seperti CPO dan barang mineral kita seperti tembaga yang dalam hal ini memungut bea keluarnya," jelasnya.

Selanjutnya, kenaikan harga komoditas terhadap barang unggulan Indonesia ini juga memberikan kontribusi besar melalui PNBP. Dimana PNBP hingga akhir Maret 2022 telah terkumpul RP 99,1 triliun.

"PNBP ini juga menggambarkan sebagian adalah boom komoditas," kata dia.

Bendahara negara ini merinci, PNBP Sumber Daya Alam (SDA) Migas tumbuh 113,2% terutama karena kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang lebih tinggi dari asumsi pemerintah.

Kenaikannya bahkan lebih dari dua kali lipat yakni rata-rata harga ICP Desember 2021 hingga Februari 2022 sebesar US$ 84,99 per barel atau naik 58,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Rata-rata harga ICP pada Desember 2020-Februari 2021 US$ 53,77 per barel.

"Meskipun ICP ini dari sisi liftingnya lebih rendah dari asumsi APBN 703 ribu barel per hari, realisasi hanya 611 ribu barel per hari. Tapi penerimaan nominalnya karena harga ICP kita rata-rata tinggi," paparnya.

Kemudian, penerimaan negara di PNBP juga terlihat dari SDA non migas yang tumbuh 70,3%. Ini ditopang oleh kenaikan harga minerba naik signifikan atau tumbuh 79,6% menjadi Rp 13,4 triliun dibandingkan Maret 2021 hanya Rp 7,5 triliun.

"Kita lihat penyumbangnya batu bara, nikel yang semuanya mengalami kenaikan harga. Tahun ini batu bara rata-rata Januari-Maret US$ 183,5 per ton, tahun lalu posisi harganya baru di US$ 82,7. Kemudian Nikel juga sama US$ 21.613,5 per ton, tahun lalu hanya US$ 17.395,3 per ton. Jadi ada kenaikan signifikan dari harganya," pungkasnya.

Dengan demikian, hingga Maret 2022, APBN masih membukukan surplus sebesar Rp 10,3 triliun atau 0,06% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Keseimbangan primer surplus dengan capaian Rp 94,7 triliun. Surplus APBN sudah berlangsung sejak Januari tahun ini.

Pemerintah telah memberikan sinyal untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, juga LPG 3 kg dan tarif listrik. Daya beli masyarakat diperkirakan akan tergerus, sehingga pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan terpukul.

Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menjelaskan, Indonesia yang merupakan penghasil komoditas yang komplit, dengan kuantitas yang besar sudah sepantasnya masyarakat juga merasakan dampak tersebut.

Alih-alih menaikan harga Pertalite, LPG, dan tarif listrik, pemerintah menurut Myrdal sebaiknya untuk tetap menjaga stabilitas harga LPG 3 kg, tarif dasar listrik dan Pertalite. Pasalnya, jika pemerintah melakukan kenaikan harga ketiga komoditas tersebut, tentu akan melemahkan daya beli masyarakat.

"Jika pemerintah melakukan kenaikan harga diesel, Pertalite, LPG 3 kg, dan tarif listrik dalam kurang dari tiga bulan ini, maka sama aja dengan melemahkan daya beli konsumen mayoritas domestik, sehingga belanja konsumsi rumah tangga bisa terpukul," jelas Myrdal kepada CNBC Indonesia.

"Saran saya, pemerintah untuk tetap menjaga stabilitas harga LPG 3 kg, tarif dasar listrik rumah tangga maupun bensin Pertalite, maupun diesel. Karena sama saja membuat masyarakat tidak merasakan apa-apa dari booming harga komoditas global saat ini," kata Myrdal melanjutkan.

Jika pemerintah tetap melakukan penyesuaian harga, menurut Myrdal inflasi domestik akan melonjak tajam, karena efek langsung maupun secondary effect akibat kebijakan kenaikan komoditas tersebut.

Maybank Indonesia, Inflasi diperkirakan akan menyentuh 4,20% (year on year) tahun ini jika harga LPG 3 kg, Pertalite, dan tarif listrik dinaikan. "Dampak inflasi masing-masing tambahan 1% kalau kenaikan 10% untuk tarif Pertalite, diesel, listrik, dan LPG 3 kg, dari target maybank indonesia 3,20%," tuturnya.



Seperti diketahui, setiap 1% kenaikan inflasi maka akan membuat perekonomian turun 0,21%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 diperkirakan mencapai 5,17%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pada 2021 yang mencapai 3,69%.

"Dengan kondisi tersebut laju ekonomi domestik bisa sangat moderat. Apalagi kondisi tersebut kemungkinan akan membuat Bank Indonesia melakukan penyesuaian bunga moneter," tuturnya.

Lagi pula, menurut Myrdal adanya kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) yang digelontorkan saat ini masih kurang efektif untuk mengurangi dampak negatif dari kenaikan harga barang-barang yang direncanakan pemerintah.

"Kalaupun ada kebijakan social safety net, dalam bentuk cash transfer (BLT), itu kurang efektif untuk menahan dampak negatif dari kenaikan harga barang-barang komoditas tersebut," tutur Myrdal.

Senada, Kepala Ekonom BCA David Sumual memproyeksikan inflasi di tahun ini dengan adanya kenaikan Pertalite, LPG 3 kg, dan tarif listrik akan menyentuh level 4% - 5%.

"Saya lihat kemungkinan bisa melebihi batas atas range yang ditetapkan pemerintah dan BI (3,5% plus minus 1%). Karena itu kan asumsinya waktu dibuat kondisi normal, tidak ada perang," jelas David kepada CNBC Indonesia.

Menurut David, yang paling sulit diukur dengan adanya wacana kenaikan harga Pertalite dan LPG 3 kg adalah ekspektasi harga, karena psikologi masyarakat jadi meningkatkan permintaan, karena khawatir harga naik.

Di Semester II-2022 ini, David juga menilai inflasi akan lebih tinggi, namun masih terjaga.

"Mungkin bulan ini saja sudah tinggi. Kemarin ada kenaikan PPN menjadi 11% dan Pertamax. Jadi, saya lihat inflasi di tahun ini bisa lebih 4% mengarah 5%," tuturnya.

Kendati demikian, tingginya inflasi di tahun ini, kata David akan masih bisa diimbangi dengan geliat daya masyarakat saat ini. Apalagi untuk masyarakat yang berpenghasilan dari sektor komoditas.

"Kalau harga komoditas naik, biasanya lihat di periode-periode yang lalu justru ekonomi cukup resilience atau kuat. Kita harapkan yang masyarakat bawah yang mungkin terdampak kenaikan harga, pemerintah masih memberikan bansos, seperti sekarang ada bansos lewat APBN dan mungkin ke depan masih dilakukan seperti itu," jelas David.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular