Terungkap! Rahasia Pemerintah Tak Jor-joran Tambah Utang

Maesaroh, CNBC Indonesia
22 April 2022 16:35
Gedung Bank Indonesia
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Sebagai mana diketahui, Bank Indonesia dan pemerintah sepakat melakukan burden sharing dalam tiga tahap yakni Surat Keputusan Bersama (SKB) Pertama tanggal 16 April 2020, kemudian SKB II pada Juli 2020, dan SKB III pada Agustus 2021.

Skema burden sharing didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit. Untuk pembiayaan public goods, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian SBN dengan mekanisme private placement. Pada pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, BI bertindak sebagai standby buyer dan membeli SBN sesuai mekanisme pasar.

Untuk pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%. Sementara itu, untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh pemerintah sebesar market rate.


Pada tahun 2020, BI telah membeli SBN dalam skema burden sharing sebesar Rp 473,42 triliun. Sepanjang 2021, BI telah membeli SBN untuk pendanaan APBN 2021 sebesar Rp 358,32 triliun yang terdiri dari pembelian di pasar perdana sebesar Rp 143,32 triliun serta private placement sebesar Rp 215 triliun untuk pembiayaan penanganan kesehatan dan kemanusiaan dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19.


Untuk tahun ini, hingga 14 April, BI telah membeli SBN senilai Rp 17,81 triliun melalui mekanisme lelang utama, greenshoe option, dan private placement.

Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk tahun ini, hingga Maret, BI sebagai standy buyer telah merealisasikan SKB I sebesar Rp 15,3 trilun.
"BI juga memberikan dukungan dalam bentuk SKB III yaitu untuk mendukung kesehatan dan bantuan sosial. Ini belum terealisir dan kita akan lakukan di semester II," ujar Sri Mulyani.

Peran besar BI dalam membiayai anggaran tercermin dalam kepemilikan SBN rupiah yang melonjak drastis selama pandemi. Per 21 April 2022, kepemilikan BI dalam SBN rupiah gross) mencapai Rp 1.232,9 triliun atau 25,4% dari total SBN rupiah yang ada. Angka tersebut melesat jauh dibandingkan dengan yang tercatat per 31 Desember 2019. Pada periode tersebut, kepemilikan BI dalam SBN rupiah (gross) masih Rp 273,21 triliun, atau 9,93% dari total.


Selain mengandalkan BI, pemerintah juga kini memperbesar porsi investor ritel dalam porsi surat utang mereka. Peningkatan kepemilikan investor ritel tidak hanya memperdalam inklusi keuangan tetapi juga mengurangi tekanan saat pasar keuangan global bergejolak.

Per 21 April 2022, kepemilikan investor ritel dalam SBN tercatat 5,64%. Angka tersebut melonjak drastis dibandingkan 2,95% per 31 Desember 2019.

Pada tahun ini, pemerintah berencana menjual surat utang senilai Rp 100 triliun kepada investor ritel. Hingga Maret, pemerintah sudah menjual ORI021 senilai Rp 25 triliun dan Sukuk Ritel (SR016) senilai Rp 18,41 triliun.

Dampak positif dari kenaikan harga komoditas pernah dirasakan pemerintah pada tahun 2011-2014 ketika terjadi booming commodity.
Pada tahun 2011, misalnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp 213,8 triliun, melonjak dibandingkan tahun 2010 (Rp 168,8 triliun). Penerimaan tersebut di atas target APBN 2011 yang ditargetkan Rp 191,98 triliun.

Pada tahun 2011, penerimaan SDA migas mencapai Rp 205,8 sementara dari SDA non migas mencapai Rp 20,3 triliun.
Kenaikan penerimaan tersebut membantu menurunkan defisit pada tahun 2011. Realisasi defisit anggaran hanya menembus 1,14% dari PDB, jauh di bawah yang ditetapkan dalam APBN-P 2011 yakni 2,1% dari PDB. Padahal, subsidi energi pada tahun tersebut menembus Rp 255,6 triliun.

(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular