
Satu Lagi Efek Perang Ukraina ke RI: Surat Utang Kurang Laku

Jakarta, CNBC Indonesia - Penawaran yang masuk dalam lelang Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Negara Syariah (SBSN) terus menurun dalam dua pekan terakhir. Minat investor untuk membeli surat utang pemerintah Indonesia diperkirakan masih melemah karena faktor ketidakpastian di tengah kecamuk perang.
"Memang ada banyak ketidakpastian. Investor memilih wait and see. Kalau ada krisis dan ketidakpastian meninggi, investor biasanya juga akan mencari intsrumen yang aman seperti US Treasury," tutur Kepala Ekonom BCA David Sumual, kepada CNBC Indonesia, Kamis (10/3).
David mengatakan sikap wait and see investor bisa bertahan lama jika konflik Rusia dan Ukraina terus berkepanjangan. Di tengah kondisi ini, bagaimana pemerintah memitigasi ketidakpastian menjadi pegangan penting bagi investor untuk mengambil sikap.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko Kementerian Keuangan, penawaran yang masuk dalam lelang SUN pada 1 Maret hanya Rp 61,52 triliun. Jumlah ini adalah yang terendah sepanjang tahun ini. Bila ditarik ke tahun lalu, penawaran pada tanggal 1 Maret adalah yang terendah dalam dalam lima lelang terakhir atau 12 Oktober 2021 (Rp 50,15 triliun).
Pada lelang SUN terakhir, penawaran dari investor asing juga hanya tercatat Rp 4,37 triliun, terendah sepanjang tahun ini.
Sementara itu, pada lelang SBSN pada Selasa (8/3), penawaran yang masuk mencapai Rp 15,3 triliun, terendah sepanjang tahun ini. Tawaran yang masuk bahkan tidak sampai setengah dari lelang SBSN sebelumnya pada tanggal 22 Februari 2022 (Rp 33,51 triliun).
Rendahnya penawaran yang masuk membuat serapan utang pemerintah jauh di bawah target indikatifnya.
Pada lelang SUN tanggal 1 Maret, pemerintah hanya mengambil Rp 19 triliun, jauh di bawah target nya yakni Rp 20-30 triloiun. Sementara itu, pada lelang SBSN tanggal 8 Maret, pemerintah hanya mengambil Rp 6,2 triliun rupiah, di bawah target indikatifnya Rp 11 triliun.
"Ini sebenarnya persoalan musiman saja, bukan masalah struktural. Dari sisi fundamental, Indonesia masih cukup menarik,"ujarnya. Inflasi Indonesia, misalnya, masih rendah sehingga bunga riil masih tinggi.
David menjelaskan pengaruh perang terhadap pasar keuangan kemungkinan masih panjang. Pasalnya, meskipun perang nantinya berakhir tetapi proses perdamaian akan memakan waktu lama, terutama terkait negosiasi pasca perang.
"Kapan perang berakhir memang susah diperkirakan tetapi pada akhirnya market akan price in. Market pasti sudah mengantisipasi jika penyelesaian konflik akan lama,"tambahnya.
Dia mengingatkan ada satu kekhawatiran besar jika konflik berlanjut hingga mendekati winter. Musim dingin akan memperburuk situasi karena pada musim tersebut, permintaan energi naik. Perang dan musim dingin diperkirakan bakal semakin membuat harga-harga komoditas melambung dan menambah ketidakpastian.