Makin Mahal Harga Minyak Cs, APBN Makin Cuan?
Jakarta, CNBC Indonesia - Booming harga komoditas diperkirakan masih akan berlanjut dalam waktu lama. Perang Rusia-Ukraina, pemulihan ekonomi global, hingga gangguan pasokan bisa membuat harga komoditas tetap bertahan mahal.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) di Kementerian Perdagangan Kasan mengatakan ada empat faktor yang dominan akan mempengaruhi harga komoditas dunia. Faktor tersebut adalah pemulihan ekonomi global dan gangguan pasokan produk-produk komoditas akibat perubahan iklim.
Faktor lainnya adalah konflik geopolitik yang dikhawatirkan akan berkepanjangan dan meluas telah memicu sanksi ekonomi sehingga menyebabkan terganggunya supply dan demand produk-produk komoditas energi dan pangan.
Sebagai catatan, pada bulan harga berbagai komoditas melambung hingga ke level tertingginya. Termasuk di dalamnya adalah batu bara, nikel, gas alam, hingga minyak mentah.
Harga batu bara menyentuh rekor US$446/ton pada 2 Maret 2022 sementara harga minyak mentah menembus US$127,93/barel pada 8 Maret 2022.
Kenaikan harga komoditas di awal tahun 2022 ini membalikkan proyeksi banyak pihak yang sebelumnya memperkirakan harga komoditas akan melandai setelah melambung tahun lalu. "Commodity supercycle yang sekarang diperkirakan masih berada pada tren ekspansi yang menopang tren kenaikan harga komoditas dunia. Tentu sulit memastikan persis lamanya," tutur Kasan, kepada CNBC Indonesia, Jumat (11/3/2020).
Dia menjelaskan ada faktor jangka pendek dan jangka panjang yang menentukan harga komoditas ke depan. Faktor jangka pendek adalah pemulihan pasca pandemi dan konflik geopolitik yang diharapkan tidak berkepanjangan.
Sementara itu, faktor jangka panjang commodity supercycle dan perubahan iklim. Faktor jangka panjang dan fundamental akan mempengaruhi kurva supply dan demand dari komoditas.
Perubahan iklim akan mempengaruhi pasokan komoditas pangan sehingga harga pangan akan naik dan trend kenaikan ini akan terus terjadi jika pada tatanan global tidak sepakat terhadap langkah-langkah solusi untuk mengatasi masalah iklim, termasuk global warming. Sementara itu, commodity supercycle yang diperkirakan baru akan mencapai puncak pada 2045 juga masih akan menopang harga komoditas untuk tetap tinggi.
"Jika kita melihat pengalaman historis pergerakan harga komoditas dunia, pergerakan harga komoditas biasanya bergerak seirama baik itu komoditas dari kelompok energi, pangan dan non-pangan seperti produk mineral dan tambang lainnya. Jadi ke depannya harga komoditas dari setiap kelompok tersebut diperkirakan akan tetap berada pada trend positif," ujarnya.
Andrian Bagus Santoso, Industry Analyst Bank Mandiri, mengatakan lonjakan harga komoditas akan berlanjut terutama komoditi energi mengingat Rusia merupakan salah satu produsen minyak dan gas yang cukup besar.
Rusia adalah negara nomor empat eksportir terbesar minyak mentah di dunia dengan pangsa pasar 11,4% terhadap total pasokan minyak dengan rata-rata ekspor 8 juta barel per hari (bph) selama sepuluh tahun terakhir, mengutip data BP Statistic.
"Belum lama ini OPEC juga sempat menyatakan bahwa jika supply migas dari Rusia hilang, maka tidak ada negara yang mampu menggantikan produksi minyak Rusia yang mencapai 7 juta barrel per hari tersebut," tutur Andrian, kepada CNBC Indonesia, Jumat (11/3).
Dia menambahkan kenaikan harga komoditas terutama terjadi di batu bara.
"Batu bara juga saya rasa masih akan tinggi akibat peningkatan demand secara mendadak dari kawasan Eropa yang kembali menggunakan PLTU mereka yang selama ini idle sebagai substitusi gas dari Rusia," tuturnya.
Status Rusia dan Ukraina sebagai salah satu pemasok utama minyak biji matahari juga akan menambah persoalan lain. Konflik kedua negara diperkirakan akan membuat pasokan minyak bijih matahari turun sehingga permintaan minyak nabati lain seperti crude palm oil (CPO) akan terdongrak.
(mae/mae)