Lagi, Bank Dunia Wanti-wanti Soal Krisis Utang! Ngeri Nih...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 March 2022 13:50
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saat ini perhatian dunia tertuju kepada perang Rusia vs Ukraina. Namun jangan lupa, pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) masih ada.

Bermula di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China, virus corona menjadi pandemi global. Hampir semua negara terimbas, tidak terkecuali Indonesia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat total ada 440,81 juta penduduk dunia yang sedang atau pernah terinfeksi virus corona. Dari jumlah tersebut, hampir 6 juta orang meninggal dunia.

Covid-19 adalah pandemi terdahsyat dalam 100 tahun terakhir. Para pemimpin dunia dibuat gugup dan gagap, karena tidak punya pengalaman menangani pandemi sehebat ini.

Namun yang jelas virus corona seperti influenza, lebih mudah menular jika terjadi peningkatan intensitas kontak dan interaksi antar-manusia. Oleh karena itu, kebijakan yang ditempuh untuk menekan risiko penularan adalah dengan membatasi aktivitas dan mobilitas masyarakat. Dalam titik ekstrem, 'keran' mobilitas ditutup total dengan karantina wilayah alias lockdown.

Halaman Selanjutnya --> Ekonomi 'Mati Suri' Gegara Pandemi

Pembatasan sosial atau social distancing ini bertujuan mulia, menghindarkan masyarakat dari risiko tertular virus mematikan. Namun harga yang harus dibayar luar biasa mahal.

Mobilitas yang terbatas membuat permintaan turun drastis, terutama di sektor-sektor usaha yang padat kontak seperti pariwisata, hotel, restoran, dan sebagainya. Akibatnya, dunia usaha terpaksa melakukan efisiensi dengan pengurangan karyawan. Dunia usaha dan rumah tangga sama-sama mengalami masa prhatin.

Tidak hanya permintaan, mobilitas yang dibatasi juga membuat produksi terhambat. Jadi pandemi memukul ekonomi dari dua sisi, permintaan dan penawaran. Komplit...

Hasilnya, ekonomi dunia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) pada 2020. Ini menjadi kontraksi pertama sejak Krisis Keuangan Dunia.

Dalam situasi dunia usaha dan rumah tangga terpuruk berbarengan, ekonomi mengandalkan satu aktor utama. Negara.

Otoritas fiskal dan moneter jor-joran memberi 'rangsangan' untuk membuat ekonomi bergairah lagi. Penurunan suku bunga, insentif pajak, bantuan langsung tunai, dan sebagainya diberikan agar dunia usaha dan rumah tangga bisa bertahan hidup di tengah terpaan pandemi.

coronaSumber: Bank Dunia

Berbagai stimulus ini diberikan saat penerimaan pajak seret. Penerimaan pajak datang dari aktivitas ekonomi, apakah itu penambahan kekayaan (Pajak Penghasilan/PPh) atau transaksi (Pajak Pertambahan Nilai/PPN). Dua itu absen saat ekonomi 'mati suti'

So, duit untuk membiayai stimulus terpaksa datang dari utang. Jadilah pandemi virus corona membuat utang membengkak.

Halaman Selanjutnya --> Bahaya, Krisis Utang Dunia di Depan Mata

Dalam laporan terbaru berjudul Finance for an Equitable Recovery, Bank Dunia mencatat utang pemerintah di negara berpendapatan rendah-sedang pada 2020 naik rata-rata 9 poin persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan 2019. Jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata 10 tahun sebelumnya yakni 1,9 poin persentase per tahun.

UTANGSumber: Bank Dunia

"Walau suku bunga sedang rendah, tetapi beban pembayaran bunga utang tetap bergerak naik dengan stabil di negara-negara berpendapatan rendah-menengah," tulis laporan Bank Dunia.

Jika ada negara yang sampai tidak bisa membayar utang, maka dampaknya akan luar biasa. Negara tersebut akan sulit mengakses pembiayaan di pasar sehingga ruang pertumbuhan ekonomi menjadi terbatas.

"Ada studi yang menyimpulkan bahwa jika suatu negara mengalami default (gagal bayar utang), maka PDB akan berkurang 1-1,5 poin persentase setiap tahunnya," lanjut laporan Bank Dunia.

Sekali ada negara yang jatuh dalam krisis utang, lanjut laporan Bank Dunia, maka solusi yang tersedia menjadi terbatas sementara masalah semakin mendesak untuk segera diselesaikan. Satu cara yang bisa ditempuh adalah restrukturisasi utang, yang dibarengi dengan reformasi fiskal.

Namun restrukturisasi bukan hal yang mudah. Sebab, sekarang negara berutang dari berbagai pihak, bukan lagi G to G. Ada investor obligasi, perusahaan investasi, atau kreditur non-konvensional lainnya. Jadi proses restrukturisasi butuh waktu lama, mungkin dalam hitungan tahun, mengingat banyaknya pihak yang harus 'dipuaskan'.

Cara lain adalah dengan konsolidasi fiskal. Pasak harus diperbesar supaya tidak jomplang dengan tiangnya. Ini bisa dilakukan dengan mengurangi belanja, mendongkrak penerimaan, atau keduanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular