Semangat Mr Xi Jinping! Deretan Krisis 'Bombardir' China
Jakarta, CNBC Indonesia - China saat ini sedang dilanda krisis di beberapa sektor seperti properti, energi, hingga pangan. Hal ini menambah panjang hambatan yang didapatkan negara itu dalam membangun kembali ekonominya pasca pandemi Covid-19.
Setidaknya ada enam krisis yang harus dihadapi China. Berikut rangkuman CNBC Indonesia dari berbagai sumber:
Properti
Krisis properti berawal di akhir September lalu. Ini ditandai dengan kejatuhan raksasa properti China, Evergrande Group.
Perusahaan itu terancam gagal membayar utang US$ 300 miliar (sekitar Rp 4.000 triliun). Analis menyebut hal ini terjadi lantaran perusahaan properti kedua terbesar China itu terlalu banyak meminjam uang sementara penjualan sektor properti sendiri sedang bermasalah.
Tak hanya Evergrande, perusahaan properti lainnya seperti Fantasia Holdings dan Sinic Holdings juga dilanda bencana keuangan yang sama.Fantasia Holdings dikabarkan gagal membayar kewajibannya senilai US$ 205,7 juta atau (Rp 2,9 triliun) sementara Sinic Holdings disebut-sebut tak mampu menutupi beberapa kewajibannya, utamanya bunga pinjaman.
Terbaru, masalah industri properti di China juga melanda Kaisa Group. Dilaporkan akhir pekan lalu, perusahaan berisiko untuk gagal bayar. Bahkan perdagangan di bursaHong Kong ditangguhkan termasuk anak usaha pengembang berbasis Shenzhen itu.
Serentetan masalah properti di China ini membuat bank sentral AS, Federal Reserve, memberi peringatan. Tekanan di sektor real estate China, termasuk Evergrande yang terlilit utang, berpotensi berdampak ke AS. Apalagi jika ini menyebar ke sistem keuangan China.
Dalam laporan stabilitas keuangan terbaru, The Fed mengatakan ada kekhawatiran tentang tingkat utang yang tinggi dan peningkatan nilai properti yang menyebabkan regulator Beijing mengambil tindakan. Tekanan dapat menyebabkan koreksi tiba-tiba harga real estate dan berdampak ke sistem keuangan China.
"Mengingat ukuran ekonomi dan sistem keuangan China serta hubungan perdagangannya yang luas dengan negara-negara lain di dunia, tekanan keuangan di China dapat membebani pasar keuangan global. Melalui penurunan sentimen risiko, menimbulkan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi global, Amerika Serikat," kata laporan itu, dikutip AFP, Selasa (9/11/2021).
Halaman 2>>
(tps/sef)