
Ketiban Durian Runtuh, RI Bisa Pensiunkan PLTU Batu Bara?

Indonesia akan 'mempensiunkan' secara dini pembangkit listrik dengan sumber energi batu bara pada 2040 mendatang. Ini sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam mengantisipasi perubahan iklim yang mengancam dunia.
Bila dibandingkan dengan rencana awal, tentu ini langkah yang sangat ambisius. Tadinya pemerintah berpandangan, penghentian batu bara baru bisa dilakukan pada 2056, sehingga pada 2060 bisa mencapai emisi nol karbon.
"Kalau kita mau maju sampai 2040, maka kita perlu dana untuk pensiunkan batu bara lebih awal dan membangun kapasitas baru dari energi terbarukan," kata Sri Mulyani, seperti dikutip Reuters, Rabu (3/11/2021).
Atas rencana tersebut, Indonesia membutuhkan pendanaaan sebesar US$ 25 miliar hingga US$ 30 miliar atau Rp 435 triliun (kurs Rp 14.500) selama 8 tahun ke depan. Sesuai dengan transisi ke energi terbarukan sebesar 5,5 GW.
"Itulah yang sekarang menjadi inti isu dan saya sekarang sebagai menteri keuangan menghitung apa artinya pensiun batu bara lebih awal. Berapa biaya kita?" jelasnya.
Tingginya biaya tersebut tentu harus didukung oleh negara maju. Sayangnya hal itu belum terlihat sesuai dengan Paris Agreement. Salah satunya adalah Long-Term Financing (LTF) yang seharusnya berakhir 2020 malah berjalan tanpa ada pencapaian terukur hingga saat ini. Untuk itu, di ajang COP26 ada beberapa isu yang menjadi prioritas Indonesia.
Negara-negara maju juga harus memenuhi janji untuk memobilisasi setidaknya USD 100 miliar dalam pendanaan iklim per tahun bahkan lebih untuk mencapai NDC dan juga Net Zero.
"Untuk itu, mengambil pelajaran dari komitmen yang belum terpenuhi untuk memobilisasi USD 100 miliar per tahun dari negara-negara maju, Indonesia memandang COP26 harus menetapkan timeline, indikator,milestone, dan bentuk pembiayaan yang jelas. Termasuk evaluasi pemenuhan New Collective Quantified Goal (NCQG)," papar Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin.
Menurut Masyta, langkah tersebut sebagai inisiatif baru untuk memobilisasi pembiayaan global, dan komitmen pendanaan lebih dari USD 100 miliar untuk mendukung pencapaian tujuan iklim yang lebih ambisius. Selain isu Long Term Finance, ada beberapa isu lainnya yang terkait dengan pendanaan perubahan iklim yaitu terkait dengan diskusi Article 6 yang menetapkan aturan untuk memperkuat integritas pasar karbon dan menciptakan mekanisme carbon offset global yang baru.
Lainnya adalah isu mengenai pembiayaan adaptasi (Adaptation fund) yang sangat rendah dibanding dengan dana mitigasi. Data dari OECD bahkan menunjukan biaya yang telah dikeluarkan dari negara maju untuk adaptasi perubahan iklim tidak mencapai setengah dari dana yang telah dikeluarkan untuk mitigasi perubahan iklim.
"Indonesia tentu mendukung pembahasan dari kedua isu tersebut dan mendorong pembentukan mekanisme yang didasarkan oleh 'common but differentiated responsibility'. Artinya semua negara memiliki tujuan yang sama tapi memiliki tanggung jawab yang be
(mij/mij)[Gambas:Video CNBC]