Jakarta, CNBC Indonesia - Peningkatan harga komoditas internasional seakan menjadi durian runtuh bagi perekonomian Indonesia. Dari minyak kelapa sawit, batu bara, nikel, tembaga dan lainnya mampu mendorong penerimaan negara melejit.
Total penerimaan negara adalah Rp 1.354,8 triliun atau tumbuh 16,8%. Penerimaan alami peningkatan dengan realisasi pajak tumbuh 13,2% menjadi Rp 850,1 triliun (69,1%), bea cukai tumbuh 29% menjadi Rp 182,9 triliun (85,1%) dan PNBP tumbuh 22,5% menjadi Rp 320,8 triliun (107,6%).
Besarnya penerimaan negara tidak terlepas lonjakan harga komoditas. Ini mempengaruhi penerimaan pajak, bea keluar hingga PNBP. Pajak misalnya, pada Januari-September 2021 melonjak 38,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Jauh membaik ketimbang sembilan pertama 2020 yang ambles 42,7% yoy.
 Foto: doc kemenkeu doc kemenkeu |
Sementara pada kuartal III-2021, penerimaan pajak dari sektor pertambangan melesat 317,6% yoy. Jauh membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang terkontraksi (tumbuh negatif) 18% yoy.
 Foto: doc kemenkeu doc kemenkeu |
Bea keluar (BK) di mana realisasinya mencapai Rp 22,56 triliun atau tumbuh 910,6% yang merupakan terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Besar ini dipengaruhi oleh komoditas ekspor minyak kelapa sawit, batu bara dan lainnya.
 Foto: doc kemenkeu doc kemenkeu |
Pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga catatkan pertumbuhan tinggi. Di mana dalam sembilan ini saja PNBP sudah terealisasi 107,6% atau melewati target APBN menjadi Rp 320,8 triliun.
SDA Migas mencapai pertumbuhan 16,4% menjadi 82,7% dari target Rp 75 triliun. Dipengaruhi oleh kenaikan ICP dalam 10 bulan terakhir yang sebesarUS$ 62,55 per barel atau di atas rata-rata asumsi APBN.
PNBP non migas tumbuh 78,3% menjadi 119,8% dari target Rp 29,1 triliun. Ditopang oleh kenaikan harga batu bara, emas, perak, tembaga, timah dan nikel. HBA dalam periode tersebut mencapai US$ 102,3/ton.
Di samping itu ada dorongan juga dari peningkatan produksi kayu, penggunaan areal kawasan hutan, pembayaran piutang PNBP penggunaan kawasan.
Hal ini kemudian menjadi banyak pertanyaan, akankah RI tahun depan bebas utang? Jawabannya jelas sekali tidak.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 diperkirakan masih akan mengalami defisit hingga Rp 868 triliun atau 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini akan menjadi tambahan dari nominal utang Indonesia yang kini mencapai sekitar Rp 6000 triliun.
Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya penerimaan, penarikan utang bisa dikurangi. Seperti tahun ini. Defisit tahun ini diperkirakan lebih rendah, yaitu 5,59% dari yang sebelumnya diasumsikan 5,7%.
"Seiring pemulihan, defisit fiskal juga terus turun dari 2020 sebesar 6,14% (realisasi 2020), menjadi 5,59% (APBN 2021)," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu.
Hingga September 2021, defisit anggaran mencapai Rp 452 triliun atau 2,74% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara keseimbangan primer Rp 198,3 triliun.
Di mana belanja negara pada September 2021 alami penurunan sebesar 1,9% (year on year/yoy) menjadi Rp 1.806,8 triliun atau 65,7% dari pagu APBN. Meliputi belanja pemerintah pusat mencapai Rp 1.265,3 triliun dengan KL sebesar Rp 734 triliun dan non KL Rp 531 triliun. Selanjutnya ada TKDD dengan Rp 541,5 triliun atau turun 14%
"Sensitivitas APBN terhadap komoditas memang tinggi, terutama dari sisi penerimaan pajak dan non-pajak (PNBP). Hal ini positif bagi postur fiskal dalam jangka pendek," ungkap Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro kepada CNBC Indonesia.
Setidaknya sebagian dari PNBP ditopang oleh sektor migas. Kemudian ada 30% industri ekspor juga dipengaruhi oleh harga komoditas batu bara minyak kelapa sawit dan nikel.
Hanya saja, pemerintah tidak boleh lengah. Sebab kemungkinan perubahan ekonomi global yang dimotori oleh negara maju lewat normalisasi stimulus moneter seperti Amerika Serikat dan Eropa bisa menurunkan harga komoditas ke depannya.
"Ketika normalisasi stimulus moneter menurunkan harga komoditas global, APBN dan keseimbangan eksternal kita bisa dalam tekanan lagi," ujarnya.
Indonesia akan 'mempensiunkan' secara dini pembangkit listrik dengan sumber energi batu bara pada 2040 mendatang. Ini sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam mengantisipasi perubahan iklim yang mengancam dunia.
Bila dibandingkan dengan rencana awal, tentu ini langkah yang sangat ambisius. Tadinya pemerintah berpandangan, penghentian batu bara baru bisa dilakukan pada 2056, sehingga pada 2060 bisa mencapai emisi nol karbon.
"Kalau kita mau maju sampai 2040, maka kita perlu dana untuk pensiunkan batu bara lebih awal dan membangun kapasitas baru dari energi terbarukan," kata Sri Mulyani, seperti dikutip Reuters, Rabu (3/11/2021).
Atas rencana tersebut, Indonesia membutuhkan pendanaaan sebesar US$ 25 miliar hingga US$ 30 miliar atau Rp 435 triliun (kurs Rp 14.500) selama 8 tahun ke depan. Sesuai dengan transisi ke energi terbarukan sebesar 5,5 GW.
"Itulah yang sekarang menjadi inti isu dan saya sekarang sebagai menteri keuangan menghitung apa artinya pensiun batu bara lebih awal. Berapa biaya kita?" jelasnya.
Tingginya biaya tersebut tentu harus didukung oleh negara maju. Sayangnya hal itu belum terlihat sesuai dengan Paris Agreement. Salah satunya adalah Long-Term Financing (LTF) yang seharusnya berakhir 2020 malah berjalan tanpa ada pencapaian terukur hingga saat ini. Untuk itu, di ajang COP26 ada beberapa isu yang menjadi prioritas Indonesia.
Negara-negara maju juga harus memenuhi janji untuk memobilisasi setidaknya USD 100 miliar dalam pendanaan iklim per tahun bahkan lebih untuk mencapai NDC dan juga Net Zero.
"Untuk itu, mengambil pelajaran dari komitmen yang belum terpenuhi untuk memobilisasi USD 100 miliar per tahun dari negara-negara maju, Indonesia memandang COP26 harus menetapkan timeline, indikator,milestone, dan bentuk pembiayaan yang jelas. Termasuk evaluasi pemenuhan New Collective Quantified Goal (NCQG)," papar Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin.
Menurut Masyta, langkah tersebut sebagai inisiatif baru untuk memobilisasi pembiayaan global, dan komitmen pendanaan lebih dari USD 100 miliar untuk mendukung pencapaian tujuan iklim yang lebih ambisius. Selain isu Long Term Finance, ada beberapa isu lainnya yang terkait dengan pendanaan perubahan iklim yaitu terkait dengan diskusi Article 6 yang menetapkan aturan untuk memperkuat integritas pasar karbon dan menciptakan mekanisme carbon offset global yang baru.
Lainnya adalah isu mengenai pembiayaan adaptasi (Adaptation fund) yang sangat rendah dibanding dengan dana mitigasi. Data dari OECD bahkan menunjukan biaya yang telah dikeluarkan dari negara maju untuk adaptasi perubahan iklim tidak mencapai setengah dari dana yang telah dikeluarkan untuk mitigasi perubahan iklim.
"Indonesia tentu mendukung pembahasan dari kedua isu tersebut dan mendorong pembentukan mekanisme yang didasarkan oleh 'common but differentiated responsibility'. Artinya semua negara memiliki tujuan yang sama tapi memiliki tanggung jawab yang be