No Kaleng-kaleng! Harga Batu Bara Meroket 14% dalam Sehari

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 November 2021 06:20
A truck loaded with coal drives past a stationary freight train carrying coal at Chainpur village near Hazaribagh, in eastern state of Jharkhand, Sunday, Sept. 26, 2021. A 2021 Indian government study found that Jharkhand state -- among the poorest in India and the state with the nation’s largest coal reserves -- is also the most vulnerable Indian state to climate change. Efforts to fight climate change are being held back in part because coal, the biggest single source of climate-changing gases, provides cheap electricity and supports millions of jobs. It's one of the dilemmas facing world leaders gathered in Glasgow, Scotland this week in an attempt to stave off the worst effects of climate change. (AP Photo/Altaf Qadri)
Foto: Sebuah truk bermuatan batu bara melewati kereta barang stasioner yang membawa batu bara di desa Chainpur dekat Hazaribagh, di negara bagian Jharkhand timur, Minggu, 26 September 2021. (AP/Altaf Qadri)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara bangkit. Namun kenaikan ini belum bisa menutup koreksi dalam yang terjadi sebelumnya.

Kemarin, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) berada di US$ 156,75/ton. Meroket 14,33% dibandingkan hari sebelumnya.

Sepertinya lonjakan ini disebabkan oleh technical rebound. Maklum, sebelumnya harga si batu hitam sudah anjlok selama lima hari beruntun. Selama lima hari tersebut, harga ambrol nyaris 32%.

Batu bara tengah diterpa isu negatif. Dua konsumen batu bara utama dunia, China dan India, berkomitmen untuk mulai mengurangi konsumsi batu bara.

China jadi yang paling agresif. Pemerintahan Presiden Xi jinping berani menetapkan target mengurangi pemakaian batu bara untuk pembangkit listrik pada 2025.

Mengutip Reuters, Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional China (NDRC) menargetkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) harus menghasilkan emisi karbondioksida rata-rata maksimal 300 gram per kilowatt-hour (KWh) pada 2025. Ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi energi dan menurunkan emisi gas rumah kaca.

"Meningkatkan penghematan energi dan mengurangi konsumsi listrik bertenaga batu bara adalah cara yang efektif untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan emisi karbon. Pengurangan konsumsi batu bara akan membantu menurunkan emisi karbondioksida sebanyak 6,67 miliar ton atau sekitar 36% dari total emisi yang dihasilkan industri," sebut keterangan tertulis NDRC.

Emisi karbondioksida dari PLTU menyumbang sekitar 40% dari total emisi di Negeri Tirai Bambu. Pada 2020, rata-rata PLTU menghasilkan emisi karbondioksida sebanyak 305,5 gram per KWh.

Jika pada 2025 masih ada PLTU yang menghasilkan emisi di atas 300 KWh dan tidak bisa diperbaiki, maka bakal 'dipensiunkan'. Selain itu, China juga secara bertahan akan memposisikan PLTU sebagai pembangkit cadangan. Nantinya, pembangkit listrik utama akan bertenaga energi terbarukan.

Sebelumnya, India juga berencana menempuh hal yang sama. Pemerintah India menargetkan mencapai nol emisi (zero emission) pada 2070. Salah satunya dilakukan dengan 'mempensiunkan' PLTU secara bertahap.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Kurang 'Vitamin', Harga Batu Bara Diramal Masih Lemah Lesu

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular