Internasional

Sampai ke Singapura, 6 Negara Dunia Dilanda Krisis Energi

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
18 October 2021 16:03
Pabrik Industri di Inggris
Foto: Pabrik industri CF di Billingham, Inggris 22 September 2021. (REUTERS/Lee Smith)

1. Inggris

Defisit energi di Inggris dipengaruhi oleh sikap London yang ingin berpindah fokus kepada bahan bakar rendah emisi. Walhasil, pembangkit batu bara mulai dinonaktifkan dan gas alam mulai menjadi primadona energi.

Hal ini mulai mendorong kenaikan permintaan akan gas. Tak hanya itu, kenaikan permintaan ini ditambah dengan perbaikan ekonomi pasca pandemi dan juga musim dingin.

Ini nyatanya tidak bisa diimbangi dengan suplai gas. Suplai menjadi terbatas karena disebabkan oleh beberapa hal mulai dari penghentian fasilitas produksi di AS, hingga adanya isu manipulasi perusahaan gas Rusia Gazprom untuk mendongkrak harga.

Hal ini pun menyebabkan harga gas alam terkerek tajam. Bila dibandingkan sejak Januari 2021, harga gas alam telah naik hingga 250%. Kenaikan ini juga akhirnya membuat kenaikan tajam tarif dasar listrik di negara revolusi industri itu.

2. China

Krisis energi saat ini nyatanya tak hanya menghantam Inggris namun juga China. Negara pimpinan Presiden Xi Jinping itu saat ini mengalami defisit energi yang membuat kegiatan masyarakat terganggu.

Bahkan, krisisini telah membuat 20 provinsi dan wilayah mengalami pemadaman listrik dalam beberapa bulan terakhir. Pemadaman ini diketahui bisa terjadi hingga beberapa kali dalam sehari.

"Pemadaman listrik delapan kali sehari, empat hari berturut-turut... Saya tidak bisa berkata-kata," tulis seorang warga dari Liaoning yang frustrasi, dilansir dari AFP.

Beberapa ekonom menyebut bahwa krisisenergi ini telah membuat produksi terganggu. Sejauh ini setidaknya 15 perusahaan mengatakan produksi mereka telah terganggu oleh pembatasan listrik. Ini termasuk produsen bahan baku produksi seperti Aluminium, tekstil, dan kedelai.

"Perekonomian jauh lebih didorong oleh sektor industri daripada sektor konsumsi," tulis ekonom Macquarie Larry Hu dalam catatan penelitian.

"Sayangnya, intensitasenergidi sektor industri jauh lebih tinggi daripada di sektor konsumsi."

Presiden Xi Jinping sendiri memiliki target yang cukup ambisius dalam mengurangi emisi karbon pada 2030. Ia berencana untuk mulai menghentikan operasional pembangkit batu bara dan menggantinya denganenergiterbarukan.

Namun untuk mencapai target itu, dibutuhkan pembangunan 100 giga watt pembangkit tenaga surya dan 50 giga watt tenaga angin setiap tahun untuk menyeimbangkan kenaikan konsumsi sebesar 5%. Hal ini jauh dari pertumbuhanenergiterbarukan tahunanChinayang baru mencapai setengah dari itu.

"Pertumbuhan China telah didorong selama beberapa dekade oleh kredit dan karbon, dan Beijing akhirnya tampaknya mulai serius untuk mengubahnya," ujar ekonom Bloomberg, David Fickling.

Halaman 3>>

(sef/sef)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular