Hal ini pun mulai mempengaruhi beberapa negara dunia. Dari Eropa hingga Asia semua mengeluhkan defisit energi yang membuat produksi terhenti sementara.
1. Inggris
Defisit energi di Inggris dipengaruhi oleh sikap London yang ingin berpindah fokus kepada bahan bakar rendah emisi. Walhasil, pembangkit batu bara mulai dinonaktifkan dan gas alam mulai menjadi primadona energi.
Hal ini mulai mendorong kenaikan permintaan akan gas. Tak hanya itu, kenaikan permintaan ini ditambah dengan perbaikan ekonomi pasca pandemi dan juga musim dingin.
Ini nyatanya tidak bisa diimbangi dengan suplai gas. Suplai menjadi terbatas karena disebabkan oleh beberapa hal mulai dari penghentian fasilitas produksi di AS, hingga adanya isu manipulasi perusahaan gas Rusia Gazprom untuk mendongkrak harga.
Hal ini pun menyebabkan harga gas alam terkerek tajam. Bila dibandingkan sejak Januari 2021, harga gas alam telah naik hingga 250%. Kenaikan ini juga akhirnya membuat kenaikan tajam tarif dasar listrik di negara revolusi industri itu.
2. China
Krisis energi saat ini nyatanya tak hanya menghantam Inggris namun juga China. Negara pimpinan Presiden Xi Jinping itu saat ini mengalami defisit energi yang membuat kegiatan masyarakat terganggu.
Bahkan, krisisini telah membuat 20 provinsi dan wilayah mengalami pemadaman listrik dalam beberapa bulan terakhir. Pemadaman ini diketahui bisa terjadi hingga beberapa kali dalam sehari.
"Pemadaman listrik delapan kali sehari, empat hari berturut-turut... Saya tidak bisa berkata-kata," tulis seorang warga dari Liaoning yang frustrasi, dilansir dari AFP.
Beberapa ekonom menyebut bahwa krisisenergi ini telah membuat produksi terganggu. Sejauh ini setidaknya 15 perusahaan mengatakan produksi mereka telah terganggu oleh pembatasan listrik. Ini termasuk produsen bahan baku produksi seperti Aluminium, tekstil, dan kedelai.
"Perekonomian jauh lebih didorong oleh sektor industri daripada sektor konsumsi," tulis ekonom Macquarie Larry Hu dalam catatan penelitian.
"Sayangnya, intensitasenergidi sektor industri jauh lebih tinggi daripada di sektor konsumsi."
Presiden Xi Jinping sendiri memiliki target yang cukup ambisius dalam mengurangi emisi karbon pada 2030. Ia berencana untuk mulai menghentikan operasional pembangkit batu bara dan menggantinya denganenergiterbarukan.
Namun untuk mencapai target itu, dibutuhkan pembangunan 100 giga watt pembangkit tenaga surya dan 50 giga watt tenaga angin setiap tahun untuk menyeimbangkan kenaikan konsumsi sebesar 5%. Hal ini jauh dari pertumbuhanenergiterbarukan tahunanChinayang baru mencapai setengah dari itu.
"Pertumbuhan China telah didorong selama beberapa dekade oleh kredit dan karbon, dan Beijing akhirnya tampaknya mulai serius untuk mengubahnya," ujar ekonom Bloomberg, David Fickling.
Halaman 3>>
3. India
Krisis juga menjerat India. Terbaru, puluhan PLTU di Negeri Bollywood itu sudah mulai menyuarakan persediaan batu baranya yang cukup hanya untuk beberapa hari kedepan dan bahkan ada juga yang telah kosong
Sebagaimana dilaporkan CNN pekan lalu, Central Electricity Authority (CEA) India mengatakan bahwa sebanyak 63 dari 135 pembangkit listrik tenaga batu bara di ekonomi terbesar ketiga di Asia itu memiliki pasokan batu bara selama dua hari. Dari jumlah itu, 17 diantaranya sudah kehabisan stok.
"Meskipun pembangkit ini tidak akan offline dalam hitungan hari, pembangkit ini sangat rentan terhadap gangguan lebih lanjut terhadap pasokan batubara atau lonjakan permintaan," ujar lembaga itu.
4. Jerman
Krisis energi global saat ini telah merambah ke daratan Eropa. Setelah sebelumnya krisis ini melanda Inggris, China, India, dan Amerika Serikat (AS), kali ini Jerman harus mengalami nasib serupa.
Mengutip AFP, pada Kamis (14/10/2021) lima lembaga ekonomi terkemuka negara itu, DIW, Ifo, IfW, IWH, dan RWI, merevisi perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi Jerman. Hal ini disebabkan oleh kemacetan pada rantai pasok yang diakibatkan krisis suplai gas.
Permasalahan ini sendiri sudah mulai dialami industri berat di negara itu. Krisis energi telah membuat produksi terhenti di beberapa lokasi yang membuat perakitan barang harus tertunda.
"Apakah itu kayu untuk palet, bahan pengepakan, baja, yang merupakan input penting untuk industri kami, atau chip komputer, semikonduktor, dan lain-lain, bisnis sedang dihadapkan dengan kekurangan," ujarRalph Wiechers, kepala ekonom di kelompok industri teknik mesin VDMA.
Tak hanya industri berat, industri otomotif juga mulai mengalami gangguan. Jalur produksi Volkswagen, Opel dan Ford terhenti karena kemacetan bahan baku pembuatan mobil. Sementara itu BMW dan Mercedes-Benz telah dilaporkan mengirimkan kendaraan dengan komponen kurang.
Krisis gas sendiri telah mengerek harga bahan bakar itu14,3% diEropa. Hal ini membuat Jerman mengalami inflasi tertinggi.
Halaman 4>>
5. Lebanon
Krisis energi saat ini telah merambah ke Timur Tengah. Salah satu negara di kawasan itu, Lebanon, harus mengalami krisis listrik akibat kehabisan bahan bakar.
Mengutip USA Today, perusahaan penyedia layanan listrik di negara itu, Electricite De Liban, sejak pekan lalu harus menutup dua pembangkit listrik utama akibat kehabisan bahan bakar. Tak tanggung-tanggung, total tenaga listrik yang hilang mencapai 270 megawatt.
"Dua pembangkit listrik utamaLebanonterpaksa ditutup setelah kehabisan bahan bakar," ujar perusahaan itu.
Sektor energi di Lebanon sendiri sebenarnya telah merasakan krisis energi sejak beberapa bulan lalu. Pada Agustus, negara yang memiliki simbol Pohon Cedar itu mengalami kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Ini membuat warga di negara itu melakukan beberapa aksi nekat kepada truk tangki minyak.
Sementara itu, Electricite De Liban terus beroperasi dengan kerugian tahunan hingga US$ 1,5 miliar, dan telah merugikan negara lebih dari US$ 40 miliar selama beberapa dekade terakhir.
6. Singapura
Krisis energi global sepertinya sudah sampai ke negeri tetangga RI, Singapura. Sejumlah perusahaan pengecer listrik di negara itu kini bertumbangan.
Dua di antaranya Ohm Energy dan iSwitch. Perusahaan menghentikan operasi mereka di Singapura dengan alasan pasar listrik yang bergejolak.
Ohm Energy akan mentransfer semua rekening pengguna ke SP Group, perusahaan listrik milik negara di Singapura, Oktober. iSwitch sendiri mengaku akan menghentikan operasi 11 November melalui webnya.
Otoritas Pasar Energi (EMA) mengatakan pengecer listrik menghadapi tantangan karena situasi yang "luar biasa" di sektor energi.Pasar grosir listrik telah mengalami volatilitas harga yang lebih tinggi.
Hal ini didorong oleh peningkatan permintaan global untuk gas alam disertai penurunan produksi gas alam dan batu bara. Di Singapura, ada permintaan listrik yang lebih tinggi dari biasanya, dengan permintaan puncak sebesar 7.667 megawatt yang tercatat pada 12 Oktober.
"Ada juga pembatasan gas alam perpipaan dari West Natuna (RI) dan rendahnya gas yang dipasok dari Sumsel," kata EMA menjelaskan penyebab lagi, dikutip dari media setempatChannel News Asia (CNA)Senin (18/10/2021).
Singapura memiliki sistem Pasar Listrik Terbuka (OEM) yang meliberalisasi kelistrikan. Diluncurkan di 2018, konsumen bisa mendapatkan pilihan dan fleksibilitas tinggi saat membeli listrik.