Sarasehan 100 Ekonom

Bu Sri Mulyani, Ini Masukan Ekonom Soal Utang RI Rp 6.500 T

Redaksi, CNBC Indonesia
Kamis, 26/08/2021 16:10 WIB
Foto: Infografis/RI Tarik Utang Baru Mencapai Rp 284,7 T, Buat apa?/Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Beragam kritik soal utang pemerintah muncul. Mulai dari sisi produktivitas belanja yang bersumber dari utang, yield surat berharga negara (SBN) hingga kekhawatiran adanya skema ponzi.

Diketahui utang pemerintah per akhir Juni tercatat Rp 6.554,56 triliun atau 41,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Utang ini terdiri dari SBN Rp 5.711,79 triliun dan pinjaman baik dalam dan luar negeri sebesar Rp 842,76 triliun.

Ekonom INDEF M. Rizal Taufikurahman menjelaskan desain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan belanja yang masih belum produktif. Padahal sebagian dari belanja dipenuhi oleh utang.


"Risiko yang paling perlu dicarikan solusinya adalah bagaimana produktivitas utang itu, itu yang penting. Alokasi atau belanja," jelasnya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom secara virtual, Kamis (26/8/2021).

Produktivitas belanja adalah upaya agar ekonomi bisa kembali berputar. Sehingga bisa ikut mendorong penerimaan negara yang digunakan kembali untuk membayar utang di masa depan.

Misalnya dalam pembangunan infrastruktur utama atau pendukung. Efeknya akan terlihat pada peningkatan investasi dan sektor lain yang berkaitan dengan investasi tersebut.

Ini juga bisa mendorong penciptaan lapangan kerja dan menambah pendapatan masyarakat. "Produktivitas jadi urgent untuk program apa aja," terangnya.

Utang tidak seharusnya diperuntukkan untuk belanja rutin. Misalnya pembayaran gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau perjalanan dinas.

"Justru utang itu dialokasikan untuk memberikan multiplier effect dan long run. Karena sustainability itu yang kemudian menjadi terjamin sektor yang memberikan multiplier efek dan fiskal sendiri," papar Taufik.

Halaman Selanjutnya >> Utang Buat Bayar Utang?


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: APBN Mei 2025 Defisit Rp 21T, Menkeu Klaim Masih Kecil

Pages