Diketahui utang pemerintah per akhir Juni tercatat Rp 6.554,56 triliun atau 41,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Utang ini terdiri dari SBN Rp 5.711,79 triliun dan pinjaman baik dalam dan luar negeri sebesar Rp 842,76 triliun.
Ekonom INDEF M. Rizal Taufikurahman menjelaskan desain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan belanja yang masih belum produktif. Padahal sebagian dari belanja dipenuhi oleh utang.
"Risiko yang paling perlu dicarikan solusinya adalah bagaimana produktivitas utang itu, itu yang penting. Alokasi atau belanja," jelasnya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom secara virtual, Kamis (26/8/2021).
Produktivitas belanja adalah upaya agar ekonomi bisa kembali berputar. Sehingga bisa ikut mendorong penerimaan negara yang digunakan kembali untuk membayar utang di masa depan.
Misalnya dalam pembangunan infrastruktur utama atau pendukung. Efeknya akan terlihat pada peningkatan investasi dan sektor lain yang berkaitan dengan investasi tersebut.
Ini juga bisa mendorong penciptaan lapangan kerja dan menambah pendapatan masyarakat. "Produktivitas jadi urgent untuk program apa aja," terangnya.
Utang tidak seharusnya diperuntukkan untuk belanja rutin. Misalnya pembayaran gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau perjalanan dinas.
"Justru utang itu dialokasikan untuk memberikan multiplier effect dan long run. Karena sustainability itu yang kemudian menjadi terjamin sektor yang memberikan multiplier efek dan fiskal sendiri," papar Taufik.
Ekonom Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Noer Azam Achsani, menyatakan ada kekhawatiran utang pemerintah di Indonesia menerapkan skema ponzi, yakni utang dilakukan untuk membayar utang yang lama.
Menurut Noer Azam, ada 3 syarat agar utang sebuah negara bisa berkelanjutan dan tidak menyebabkan krisis. Syarat tersebut adalah maksimal 60% debt to GDP (utang terhadap PDB), tidak boleh skema ponzi, dan utang dikembalikan ke solvabilitas.
"Saya melihat hanya nomor 1 (maksimal 60% debt to GD) di RI. Sementara nomor 2-3 tidak terpenuhi," ujarnya.
Lebih rinci Noer Azam mengatakan, bahwa utang Indonesia saat ini memang sebagian adalah utang lama. Namun, ada kecenderungan bahwa Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pada 2018-2020 memiliki porsi sebesar 67% dari SBN jatuh tempo pada 2025.
"Bila dihitung dari 2015, porsinya naik jadi 80%. Semakin ke sini, makin pendek utang-utang kita. Ini yang membuat kekhawatiran dalam jangka panjang. Agak rawan, harus hati-hati," ujarnya.
"Kita (Indonesia) ini ibarat naik bisa bus jalan kenceng di jalan tol. Tanda-tanda terlihat ada banyak masalah. Untuk itu sebaiknya kita parkir dulu di rest area, parkir dulu. Bila semua sudah aman baru kita berjalan lebih jauh," ujarnya.
Problem yang lain, menurutnya, adalah penerimaan pajak Indonesia mayoritas tidak mencapai target sejak tahun 2000. Sementara itu, tax ratio terhadap GDP Indonesia juga terus menurun.
"Bu Sri Mulyani bilang, kita sanggup bayar utang kalau rakyat bayar pajak. Masalahnya penerimaan pajak trennya turun. Meskipun ada tax amnesty," ujarnya.
Apalagi, tuturnya, penerbitan SBN saat ini tidak diberikan underlying yang spesifik dalam proyek produktif tertentu. Semua utang dimasukkan dalam penerimaan negara dan penggunaannya tidak spesifik seperti jaman dahulu.
"Memang kalau utang digunakan untuk sesuatu clear maka dampak akan terasa. yang agak repot dan agak mengkhawatirkan bahwa utang untuk bayar utang. Padahal harusnya solvabilitas. kalau untuk bayar utang maka akan jadi skema ponzi," ujarnya
Halaman Selanjutnya >> Yield SBN RI Ketinggian
Pemerintah kini terjebak dengan beban pembayaran bunga utang yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh masih tingginya imbal hasil atau yield dari penerbitan surat berharga negara (SBN) pemerintah.
"Tidak masalah utang terhadap PDB masih aman, tapi negara seperti Malaysia utang terhadap PDB-nya naik, tetapi yang terjadi yield yang mereka tawarkan jauh lebih rendah dari kita, kita 6% mereka 3-3,5%, oleh karena itu desain kesinambungan fiskal kita sangat penting," jelas Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Hendri Saparini.
Diketahui yield SBN pemerintah bertenor 10 tahun per hari ini sebesar 6,36%. Jauh lebih tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya. Sementara risiko yang menjadi acuan, seperti inflasi dan nilai tukar rupiah cenderung stabil.
Maka dari itu muncul lonjakan pembayaran bunga utang di tahun-tahun berikutnya. Tahun depan, bunga utang yang harus dibayarkan mencapai Rp 405 triliun atau sekitar 15% dari total belanja APBN.
Menurut Hendri, persoalan ini menggambarkan kurangnya penciptaan fiskal yang berkesinambungan. Pemerintah juga akan terjebak, ketika ingin menarik utang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan belanja, namun beban yang ditanggung nantinya sangat besar.
"Misalnya, ada pandemi, perlu countercyclical, kita harus melakukan itu, semua negara melakukan itu, meningkatkan belanja iya, tapi harus tetap menjaga efisiensi dan juga prudent, kehati-hatian kita," terang Hendri.
"Awal-awal, banyak mengususlkan stimulus ditambah, kenapa rasionya hanya 2-3% PDB, sementara negara lain 10% PDB, lupa kita bawa permasalahan di penerimaan kita, yang dilakukan oleh banyak negara bukan stimulus dengan menggelontorkan dana," pungkasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yakin bisa membayar utang pemerintah yang sudah menumpuk. Apalagi akibat tekanan pandemi Covid-19, utang pemerintah naik tajam dalam satu tahun terakhir.
"Saat kita menghadapi pandemi dan penerimaan negara kita merosot, kita mengalami defisit dan berutang. Namun kita yakin bisa membayar lagi apabila penerimaan pajak bisa dikumpulkan," ujarnya.
Luky Alfirman, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menambahkan peningkatan utang cukup besar terjadi karena pandemi covid-19.
"Dalam kondisi ekonomi yang tertekan, butuh peranan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk stabilisasi dan counter-cyclical. Ini agar APBN bisa memberikan stimulus. APBN adalah tools, bukan tujuan," paparnya.
Kebutuhan penanganan pandemi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ini membuat defisit APBN semakin dalam, menjadi 6,14% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020, menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Namun, Luky menegaskan Indonesia bukan satu-satunya karena negara-negara lain juga menghadapi tekanan akibat pandemi. Defisit fiskal di Malaysia mencapai 6% PDB sementara Filipina 7,6% PDB.
"Indonesia relatif terjaga sebenarnya. Kalau dari peraturan perundang-undangan Keuangan Negara, batas utang adalah 60% PDB. Sekarang masih 39,4% PDB, masih jauh di batas bawah Undang-undang Keuangan Negara. Insya Allah kita masih aman," jelas Luky.