Sri Mulyani Wanti-wanti Bahaya Ini, RI juga Mulai Siap-siap!

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
22 August 2021 09:40
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2021.  (Tangkapan Layar Youtube PerekonomianRI)
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2021. (Tangkapan Layar Youtube PerekonomianRI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta kepada semua pihak untuk tidak menganggap remeh isu perubahan iklim atau climate change di tengah masih adanya pandemi Covid-19.

Menurut Menkeu, persoalan ini nyata dan bahkan sudah mulai terasa di berbagai belahan dunia.

"Sebelum 2045 kita akan menghadapi 2030 climate change yang menghasilkan Paris Agreement, semua negara melakukan komitmen untuk mengurangi CO2 karena dunia ini sudah menghangat," ungkap Sri Mulyani dalam webinar CSIS, Rabu di awal Agustus lalu (4/8/2021).

"Banjir yang tidak pernah terjadi, terjadi. Di Jerman sampai terjadi banyak sekali korban. Kebakaran hutan, kekeringan, ada juga turunnya es atau salju di berbagai daerah yang belum menghadapi ini jadi climate change is real karena dunia sudah menghangat di atas 1%. Kita menghindari untuk menghangat," tegasnya.

Masing-masing negara memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengantisipasi perubahan iklim, termasuk Indonesia. Hanya saja, sebagai negara berkembang, Indonesia tetap harus mendorong perekonomian demi mengubah nasib kemiskinan yang masih tinggi.

"Kita memperjuangkan hak negara emerging untuk memperbaiki kemakmuran tanpa terbebani tidak adil. Take and give jadi penting. Komitmen climate change tanpa pendanaan tidak akan bisa dijalankan. Kita akan terus mengakselerasi untuk climate change maupun dalam forum global yang lain," papar Sri Mulyani.

Kebutuhan Indonesia untuk mengatasi hal tersebut cukup besar, yaitu sekitar Rp 3.700 triliun sampai 2030 mendatang.

"Salah satu hitungan adalah Rp 3.461 triliun sampai 2030 dan bahkan sekarang angka itu direvisi menjadi Rp 3.779 triliun, lebih tinggi lagi," kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

"Bagaimana kita bisa mendesain policy sehingga kerja sama bisa menerjemahkan sehingga financing gap bisa dipenuhi DNA komitmen climate change [komitmen dari Designated National Authority/DNA for CDM projects] bisa dicapai," katanya.

"Kalau kita mau menurunkan CO2 40% maka kebutuhan US$ 479 billion [setara Rp 6.946 triliun, kurs Rp 14.500/US$] . Jadi ini tantangan bagaimana policy kita bisa menghasilkan platform kerja sama yang kredibel," pungkas Sri Mulyani.

Dia menegaskan, pada 2030 milestone perubahan iklim merupakan sesuatu yang sangat critical. Sri Mulyani mengatakan banyak negara sudah berikhtiar, salah satunya menghasilkan Paris Agreement. Semua negara berkomitmen mengurangi CO2, karena dunia ini sudah menghangat. Bulan-bulan ini, katanya, hampir semua negara di dunia mengalami fenomena itu.

NEXT: Kesiapan RI Bagaimana?

Terkait dengan kesiapan Indonesia soal climate change, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga terus berusaha meningkatkan upaya-upaya adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim. Hal ini merupakan wujud tanggung-jawab di tingkat nasional sekaligus di tingkat global.

Indonesia pun telah menyiapkan dokumen Updated NDC (Updated Nationally Determined Contribution) yang menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim, dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata, adaptasi di sektor kelautan, serta lebih terintegrasi dengan isu-isu penting lainnya, seperti keanekaragaman hayati dan desertifikasi.

Sejak tahun 2020, Indonesia juga telah menyusun dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050), menuju net-zero emission dengan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi bertumbuh, berketahanan iklim dan berkeadilan.

Dokumen LTS-LCCR 2050 merupakan arahan jangka panjang yang akan menjadi pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta komitmen NDC lima-tahunan selanjutnya.

"Dokumen LTS LCCR 2050 disusun berdasarkan kondisi perekonomian dan turunnya kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta pembelajaran atas rentannya kondisi global menghadapi pandemi Covid-19 dengan tetap optimis mengacu kepada prospek pemulihan paska pandemi serta kebijakan nasional seluruh sektor saat ini sampai tahun 2050," ujar Menteri LHK Siti Nurbaya, dalam siaran pers, di situs resmi KLH, 24 Maret 2021.

Menteri Siti menjelaskan, sektor Pertanian, Kehutanan, dan penggunaan lahan lain (Agriculture Forestry and Other Land Use/AFOLU) dan sektor energi akan sangat menentukan arah yang akan dituju pada tahun 2050.

Dengan skenario paling ambisius yaitu LCCP (Low Carbon Compatible with Paris Agreement), secara nasional Indonesia akan mencapai peaking pada tahun 2030 dengan sektor FOLU (Forestry and Other Land Use) sudah mulai net sink.

"Seluruh sektor harus makin meningkatkan penurunan emisi GRK menuju tahun 2050. Selain itu, diharapkan pada tahun 2050 dapat tercapai ketahanan iklim melalui pathway sektoral dan kewilayahan. Kemudian, dengan skenario ambisius, Indonesia akan mencapai net-zero emission pada tahun 2070," kata Menteri Siti.

Dalam Webinar "Konsultasi Publik Indonesia LTS-LCCR 2050, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, menyampaikan komitmen sektor energi menurunkan emisi GRK sebesar 314-398 Juta Ton CO2 pada tahun 2030.

Komitmen tersebut dicapai melalui pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih.

"Penurunan emisi dari sektor energi didorong melalui aksi-aksi diantaranya penyediaan listrik melalui pembangkit EBT, penerapan efisiensi energi, penggunaan bahan bakar nabati, dan implementasi cofiring biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara PLTU," tutur Menteri Arifin.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular