Riset CNBC Indonesia

Kebangkitan Taliban dan Ancaman Ekonomi Afghanistan

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 August 2021 07:30
Pejuang Taliban. (AP/Gulabuddin Amiri)
AP/Gulabuddin Amiri

Jakarta, CNBC Indonesia - Afganistan kembali jadi sorotan dunia. Taliban kembali ke pucuk kekuasaan setelah nyaris 20 tahun lengser.

Usai serangan 9 September 2011 yang meruntuhkan World Trade Center, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya membombardir Afganistan untuk mencari membekuk Osama Bin Laden dan kelompoknya, Al Qaeda. Mereka diduga membangun basis di Afganistan dengan dukungan rezim Taliban yang tengah berkuasa.

Serangan Asdan sekutunya berhasil mendongkel Taliban dari kekuasaan. Pada Desember 2001, Hamid Karzai menjadi Presiden Afganistan.

Hampir dua dekade kemudian, Taliban kembali merangsek menuju kekuasaan. Setelah Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menarik pasukan pada April 2021, Afganistan bergerak cepat dan kini berhasil merebut mayoritas wilayah Afganistan dari pemerintah. Presiden Ashraf Ghani menyelamatkan diri ke luar negeri, menandai kembalinya Taliban menjadi penguasa de facto di Afganistan.


Hamid Karzai, sang mantan presiden, menyatakan bahwa dibentuk Dewan Koordinasi untuk mengawal proses pemindahan kekuasaan. Ini dilakukan agar proses tersebut tidak menambah pertumpahan darah.

"Dalam rangka mencegah kerusuhan dan penderitaan rakyat, dan untuk mengelola pemindahan kekuasaan secara damai, Dewan Koordinasi telah dibentuk oleh Ketua Dewan Rekonsilisasi Nasional Abdullah Abdullah, Pimpinan Jihadi Gulbuddin Hekmatyar, dan mantan presiden Hamid Karzai. Dewan meminta pasukan keamanan pemerintah dan Taliban menghindari konflik," sebut Karzai dalam cuitan di Twitter.

Halaman Selanjutnya --> Ekonomi Taliban Bergantung dari Bantuan

Perang saudara di Afganistan membuat rakyat menderita. Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mengungkapkan hampir 400.000 orang penduduk Afganistan terpaksa meninggalkan kediaman mereka sejak awal tahun ini. Sebelumnya, sudah ada 2,9 juta orang pengungsi Afganistan yang berada di berbagai negara.

"UNHCR mendesak komunitas internasional untuk membantu memecahkan masalah ini. Negara-negara tetangga Afganistan hendaknya membuka pintu dengan meningkatnya intensitas krisis di Afganistan," tegas Shabia Mantoo, Juru Bicara UNHCR, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Konflik di Afganistan tidak hanya menyebabkan tragedi kemanusiaan. Di aspek ekonomi, Afganistan juga diperkirakan bakal terpukul.

Mengutip laporan Bank Dunia, ekonomi Afganistan selama ini sangat tergantung dari bantuan dari para donor. Afghanistan Reconstruction Trust Fund yang dikelola Bank Dunia telah menghimpun dana bantuan sebesar US$ 12,9 miliar.

"Ekonomi Afganistan sangat rentan karena ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan. Sektor swasta tidak berkembang, dan tenaga kerja kebanyakan terserap di sektor pertanian dengan produktivitas rendah. Sekitar 44% tenaga kerja bekerja di sektor pertanian dan 60% rumah tangga bergantung dari sektor tersebut," tulis laporan Bank Dunia.

Di sisi pemerintahan, Bank Dunia mencatat 75% belanja negara di Afganistan didanai oleh hibah. Konflik berkepanjangan membuat anggaran pertahanan menjadi sangat tinggi, sekitar 28% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang membuat alokasi ke sektor lain menjadi minim.

Membanijrnya bantuan dunia kepada Afganistan membuat ekonomi negara ini tumbuh tinggi. Pada 2003-2012, PDB Afganistan rata-rata tumbuh 9,4% per tahun. Namun pada 2015-2020, bantuan donor mulai berkurang sehingga ekonomi Afganistan hanya tumbuh rata-rata 2,5% per tahun.

"Jumlah bantuan turun dari sekitar 100% terhadap PDB pada 2009 menjadi 42,9% pada 2020. Hibah yang berkurang ini membuat sektor jasa mengalami kontraksi, sehingga menyebabkan penurunan serapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga," sebut laporan Bank Dunia.

Apalagi banyak negara yang mengurangi jumlah pasukan di Afganistan. Pada 2011, total pasukan asing di Afganistan mencapai lebih dari 130.000 orang dan saat ini tinggal tersisa sekira 10.000 orang. Ini tentu mengurangi permintaan secara signifikan.

Halaman Selanjutnya --> Taliban Berkuasa, Bantuan Bakal Seret

Nah, kehadiran Taliban sebagai rezim penguasa di Afganistan bisa membuat bantuan berhenti mengalir. Mengutip Politiico, Jerman akan menghentikan bantuan bagi Afganistan jika Taliban berkuasa dan menerapkan syariah Islam.

"Kami menyediakan bantuan EUR 430 juta setiap tahun. Namun kami tidak akan memberi satu sen pun jika Taliban mengambil alih dan menerapkan hukum syariah," tegas Heiko Maas, Menteri Luar Negeri Jerman.

Langkah Jerman tersebut kemungkinan besar akan diikuti oleh negara-negara lain. Dampaknya tentu bakal luar biasa, karena ekonomi Afganistan sangat tergantung dari bantuan para donor.

"Akan ada tanda tanya besar karena situasi politik terkini. Apakah para donor tetap akan bermurah hati?" ujar Mustapha Ben Messaoud, Kepala Operasi Badan PBB untuk Kesejahteraan Anak (UNICEF) di Afganistan, seperti dikutip dari Devex.

Mengingat besarnya peranan bantuan dan hibah dari negara lain, ekonomi Afganistan bakal terancam. Selain korban jiwa akibat konflik bersenjata, sepertinya rakyat Afganistan juga harus bersiap menghadapi bencana 'kematian' ekonomi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular