Bos Bappenas Blak-blakan Soal Green Economy Hingga Efek Covid

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
19 July 2021 14:30
Strategi Bappenas Mewujudkan Ekonomi Berkelanjutan RI(CNBC Indonesia TV)
Foto: Suharso Monoarfa (Tangkapan Layar CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - PandemiĀ Covid-19 merupakan masalah seluruh negara di dunia. Tidak terkecuali Indonesia. Dalam menghadapi pandemi Covid-19, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan perlu kerja sama semua negara.

"Saya katakan bahwa pandemi nggak bisa dihadapi secara individual oleh sebuah negara dan pandemi ini harus diatasi bersama-sama," kata Suharso dalam CNBC Indonesia Economic Update pada, Senin (19/7/2021).

Dalam kesempatan itu, Ketua Umum PPP itu juga menjelaskan green economy. Sebuah gagasan yang sejatinya telah lama terdengar. Suharso juga memaparkan minat besar investor berpatisipasi dalam program Green Economy di tanah air.

Berikut adalah petikan wawancaranya.

Pak Suharso, Apa Kabar? Sedang ada kunjungan kerja ya di New York. Kegiatannya apa di New York?
Alhamdulillah. Di New York bukan jalan-jalan ya. Kegiatan di New York main course-nya menghadiri high level political forum untuk SDGs di PBB, dan menyampaikan laporan voluntary national report (VNR) Indonesia, capaian-capaiannya dalam hal SDGs.

Jadi, kita sudah tiga tahun berturut-turut menyampaikan hasil dari SDGs yang dicapai oleh Indonesia. Pada waktu pembukaan, Presiden Joko Widodo memberikan sambutan dan saya hadir sebagai ketua delegasi indonesia.

Dilanjutkan penyampaian VNR sendiri yang saya didampingi oleh wakil ketua BPK dan menunjukan bahwa hasil-hasil SDGs kita itu jadi bagian yang diaudit oleh BPK. Jadi laporan kita itu laporan yang kredibel dalam capaian-capaian ini.

Saya juga bertemu dengan UNDP karena membantu Indonesia dan jadi partner Bappenas sudah cukup lama, kita bicara apalagi yang bisa kita kerjasamakan ke depan.

Kemudian juga bertemu dengan Kerja Sama Selatan-selatan. Saya ketemu mereka dan saya sampaikan, kenapa tidak Kerja Sama Selatan-selatan membentuk emergency task force untuk menghadapi Covid-19.

Saya katakan bahwa pandemi gak bisa dihadapi secara individual oleh sebuah negara dan pandemi ini harus diatasi bersama-sama.

Green economy, akan selalu kita bahas dan masih terus digaungkan. Tapi konsepnya seperti apa, terutama dengan adanya pandemi ini, apakah ada sesuatu yang ditambahkan untuk visi jangka panjangnya?
Saya kira gagasan ekonomi sustainability growth sebenarnya pernah dengar di era 90an itu ada. Saya ingat Profesor Soemitro mengatakan, waktu beliau jadi menristek (Menteri Riset dan Teknologi di era Presiden Suharto) pada waktu itu, ayahnya Prabowo (Menteri Pertahanan Prabowo Subianto).

Beliau mengatakan, yang penting pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan yang sustain dan pertumbuhan yang sustain itu harus mempertimbangkan habitat di sekitarnya, daya dukung di sekitarnya. Dan daya dukung itulah yang akan menentukan sustainability dari pertumbuhan ekonominya.

Bahkan ada kata-kata beliau yang paling populer, tolong dipertimbangkan jangan sampai pulau Jawa ini menjadi pulau kota-kota. Apakah tidak lebih baik kita membangun lima kota baru daripada membuat satu kota baru dimetropolitankan atau dimegapolitankan. Jawaban itu bisa benar untuk satu keadaan.

Ada lagi jawaban menjadi tidak benar dalam satu keadaan, itu disebut dengan carry capacity, kapasitas angkut sebuah habitat di tempat mana kita berproduksi.

Tema ekonomi berkelanjutan ini saya kira sudah lama orang kenal. Nah kemudian, kita Indonesia waktu kita tumbuh seterusnya kita lalu masih ingat oil bonanza pada 90-an. Ekonomi kita didorong karena mendapatkan penerimaan yang begitu besar, bukan dari pajak, tapi dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).

PNBP yang besar pada waktu itu adalah dari minyak. Dari minyak itu adalah sumber-sumber yang tidak terbarukan. Datang ah tokoh Pak Habibie, beliau mengatakan "Kita tidak bisa mengatakan sustainability itu pada hal-hal yang sifatnya non renewable. Jadi kita harus menyadarkannya pada yang harus renewable."

Jadi saya ingin mengatakan, garis dari cara pemerintah atau orang Indonesia menanggapi, itu sesungguhnya sudah mempertimbangkan ekonomi berkelanjutan. Dan ekonomi yang berkelanjutan itu menjadi tema-tema besar. Tapi memang, ada kalanya strategi yang diambil tidak sinkron.

Misalnya, karena kita dipicu oleh oil bonanza maka itu yang ditumbuhkembangkan, padahal itu nonrenewable. Sekarang kita bicara soal energi itu dialihkan dan energi sekarang kita masukan energi yang terbarukan.

Energi terbarukan itu sekarang rumusnya adalah bauran energi. Berapa besar dari energi yang kita sediakan itu, yang berisi dari fit stocknya atau sumber utamanya itu energi yang terbarukan. Apa saja energi terbarukan, bisa saja dari hutan, minyak nabati. Nah itu bisa disebut dengan berkelanjutan.

Tapi ternyata berkelanjutan itu dan kemudian yang ditingkahi dengan sinergi tidak sinkron, itu masih perlu diperkaya. Kalau kita ingin mengatakan berkelanjutan, maka kita juga harus respek kepada alam. Respek kepada alam artinya kita memperhatikan bahwa jangan sampai terjadi perusakan terhadap alam.

Bagaimana supaya kita tidak terbentuknya gas rumah kaca. Orang sudah dengan minyak dan orang bikin mesin kecepatan tinggi, tapi menggunakan fuel atau BBM, bensin dan sebagainya. Dengan yang semakin besar volumenya yang dibutuhkan, sehingga membakar udara di sekitarnya dan muncullah efek gas rumah kaca.

Efek gas rumah kaca ini yang ternyata merusak lingkungan dan akhirnya me-mandekan (memberhentikan - red) ekonomi dan akhirnya tidak berkelanjutan. Tema itu bergeser dan masuk ke sana. Sampai lah masuk ke tema-tema Sustainable Development Goals, yang salah satunya adalah di sektor energi.



Kalau ekonomi hijau ini bisa berjalan dengan baik, peluangnya akan sebesar apa?
Besar sekali. Jadi, ya seperti yang saya sampaikan. Banyak tema-tema lingkungan yang mengakibatkan ancaman-ancaman terhadap air, udara bahkan tanah. Semuanya ini kita perbaiki untuk berkelanjutan dan sustain dan kita sebut green economy dan blue economy untuk langit yang biru.

Kemudian kita sendiri melihat dan meletakkannya di mana. Kita kan punya visi dan ingin jadi apa dalam 100 tahun Indonesia Merdeka. Kita ingin menjadi negara besar, ingin menjadi negara dengan tingkat penghasilan yang tinggi dan tingkat pendapatan penduduk yang tinggi.

Jadi tingkat pendapatan rata-rata penduduk yang tinggi itulah yang dihitung dengan GNI per capita atau GDP per capita dengan standar PPP (Purchasing Power Parity). Nah, dengan hitungan sebelum terjadinya pandemi, kita berhitung pada 2045 kita bisa mencapai US$ 23.000 per kapita dan kita akan lepas dari middle income trap atau mencapai tingkat pendapatan rata-rata penduduk itu sekitar US$ 12.500 pada tahun 2036.

Dengan adanya pandemi ini gimana, pak?
Nah itu dia tuh. Dengan adanya pandemi ini tergeser. Kita yang tadinya sudah masuk di upper middle income pada 2020. Ternyata kita kembali lagi ke lower middle income, karena kita turun lagi di bawah US$ 4.000.

Tapi menurut hitungan Bappenas, 2022 Insya Allah kita kembali ke upper middle income. Tapi, untuk mencapai, graduasi, untuk lolos dan lulus dari middle income trap, 2036 itu sulit tercapai.

Kita akan bergeser 6-9 tahun. Nah pertanyaannya adalah berapa besar tingkat pertumbuhan ekonomi yang kita targetkan, pada angka sebelum pandemi itu sekitar 5,7% kalau mau lolos middle income trap pada 2036 dan US$ 23.000 pada 2045.

Tapi dengan adanya pandemi, ini bergeser, dan kalau ingin cepat maka tingkat pertumbuhan ekonomi harus naik 7%. Kita melihat peluang itu. Peluang itu di mana 7% itu, kalau pake ekonomi konvensional yang ada sekarang, dan juga tidak respek terhadap keberlanjutan dan tidak respek green economy, blue economy, blue energi, tidak dengan tema-tema itu tentu kita akan semakin tertinggal.

Karena dunia sudah memahami, sudah bangsa di dunia sudah bersepakat, mulai protokol Kyoto, kemudian kesepakatan di Paris. Semua sudah mengambil ancang-ancang untuk meletakkan dasar-dasar yang baik ke depan bagi hanya satu bumi ini.

Kita nggak mau tertinggal, kita susunlah perencanaan, tetap untuk mencapai Indonesia yang bagus pada 100 tahun merdeka itu, tapi tidak mencapai dengan cara-cara ekonomi konvensional tapi dengan ekonomi hijau. Dengan ekonomi hijau ini bukan berarti menghilangkan lapangan kerja, tidak sama sekali. Justru kita menciptakan lapangan kerja baru.

Kesiapan sumber daya manusia kita sendiri bagaimana?
Sejalan dengan itu, sistem pendidikan akan berubah, bisnis modal berubah, financial model berubah, cara funding untuk membiayai proyek juga berubah, semuanya mengalami dinamika sedemikian rupa dan penting adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) itu.

Yang paling cepat untuk jump in ke situ adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan distribusi teknologi ini yang dipimpin oleh kemajuan yang luar biasa di sektor ICT, informasi, komunikasi, dan teknologi.

Nah, saya setuju sekali misalnya Mendikbudristek (Nadiem Makarim - red) mengatakan, anak-anak sudah dari awal harus dikenalkan dengan bahasa coding. Coding language. Literasi-literasi coding language itu dikembangkan sehingga dia lebih cepat untuk beradaptasi dengan situasi yang baru ini.

Coding menjadi kunci artinya dan teknologi?
Iya.

Bicara terkait sumber daya manusia (SDM) dan akan diikuti teknologi dan investor. Bagaimana sinergi dengan investor sejauh ini?
Ada salah satu indikator keberhasilan apakah kita itu bisa mencapai green economy itu. Salah satunya adalah yang disebut dengan net carbon emission.

Jadi, bagaimana caranya supaya langit kita itu bira. Gimana efek gas rumah kaca itu bisa kita turunkan sedemikian rupa. Nah, kita berharap bisa sampai zero pada 2060. Jadi kalau mau mencapai 2060 itu akan menciptakan lapangan pekerjaan yang luar biasa dan akan mendorong kreativitas yang luar biasa.

Plastik-plastik harus sudah ada penggantinya, caranya untuk mengirimkan barang dan sebagainya itu juga sudah berubah. Jadi banyak perubahan yang luar biasa akan terjadi dan itu akan menciptakan pekerjaan baru 4 juta hingga 7 juta pekerjaan baru.

Tapi, kebutuhan untuk 4 juta hingga 7 juta itu adalah orang yang saya sebut tadi, menggunakan loncatan-loncatan teknologi, mengerti bahasa coding. Karena ke depan itu, yang namanya aplikasi akan bersifat individual.

Nanti kalau sudah mengerti bahasa coding, sudah bisa bikin dengan gawainya sendiri bikin sendiri aplikasi untuk kebutuhannya sendiri.

Kan sekarang berapa aplikasi yang kita punya? Berapa persen sih kita pakai itu. Sehingga semuanya kita pakai, tapi ke depan untuk bangun tidur tiba-tiba, mungkin tiba-tiba dia bisa nyanyi sendiri, dan sebagainya. Kira-kira akan begitu aplikasi ini.

Ini akan menciptakan ruang-ruang kerja baru dan cara investasi baru yang investasi ke depan tidak lagi dalam jumlah yang besar atau huge, enggak. Sekarang dikenal dengan start up. Start up itu kan mulai dari yang kecil.

Di Amerika sudah mulai banyak yang seperti itu yang kecil-kecil, facebook juga dari kecil akhirnya meledak. Google yang tadinya kecil meledak. Ini juga yang akan semakin banyak, ini akan lebih individual dan selektif dan variatif, tergantung atau disebut ilmu marketing, ini benar-benar terjadi dan terbentuk.

Pasti ada saja marketnya, apa yang disebut dengan supply side creates demand, itu terjadi. Dulu orang gak mikir kan air dibotolin, dibeli orang. Orang tidak mikir di Indonesia teh dikotakin dibeli, padahal bisa dibikin aja di dapur, teh. Tapi sekarang jadi.

Ke depan, bisa beragam macam-macam yang seperti itu, yang sejenis itu yang akan terbentuk dan tidak perlu dengan jumlah-jumlah yang besar, investasi-investasi raksasa, tidak.

Tapi, dalam hal untuk infrastrukturnya, pembangunan ekosistemnya memang boleh jadi memang diperlukan investasi yang besar.

Contoh, kita memerlukan baterai, maka kita perlu sebuah manufacturing yang besar untuk memproduksi baterai. Kemudian bagaimana baterai itu kalau sudah tidak dipakai, agar tidak merusak tanah, itu satu pekerjaan baru lagi.

Kemudian bagaimana me-recharge itu, kalau sekarang cuma kuat 12-16 jam, tapi dengan kecepatan 100km. Bagaimana dengan kecepatan 200km dan dipakai 12 jam, ini semua memberikan kesempatan dan kalau baterainya masih besar-besar, nanti akan kecil-kecil. Kaya teknologi karburator. Teknologi karburatornya mobil itu dulu besar sekali, dan akhirnya kecil.

Jadi begitu besar kesempatan, opportunity yang terbuka untuk ekonomi yang sustain dan respek terhadap keberlanjutan, terhadap alam dan disebut green economy terbentuk dan pada saat itu tidak ada orang yang tertinggal, dan semua orang berbahagia.



Yang jadi fokus saat ini apa, pak?
Jangka pendek pertama, yang didesain Bappenas, kami membantu beberapa daerah, misalnya Bali. Bali itu kan kita ingin desain soal energi dan sampah.

Bagaimana energinya, yang sekarang masih ada dengan konvensional untuk listriknya dan kita mulai kurangi. Dan bagaimana mengatasi sampahnya itu. Supaya sampahnya itu bisa bukan hanya dari waste jadi energi, tapi juga dari waste menjadi produk. Dari sampah dia menjadi kompos untuk tanaman, atau jadi pallete untuk gasifikasi, itu sedang kita bikin dan bagus sekali kalau ini terjadi. Sehingga langit di atas Bali jadi biru, mulai dikurangi.

Motor-motor juga akan pakai motor berbaterai, pelan-pelan di satu wilayah tertentu. Dengan demikian, harga motor pun akan jadi turun, karena terjadi perubahan yang luar biasa dan tidak perlu lagi beli bensin, pokoknya yang mengotori langit Bali itu pelan-pelan kita turunkan.

Untuk daerah-daerah yang belum tercemar seperti itu, dengan sendirinya mereka lebih diuntungkan. Banyak hal yang kita bantu dalam rangka desain ini.

Artinya untuk sinergi dengan investor akan diutamakan Bali itu?
Ini contoh. Ada juga pulau lain di Kepulauan Riau, kita minta satu kepulauan di Bintan jadi pulau yang benar-benar hijau, blue energy kita dorong ke sana. Pulau Penyengat itu tempat orang hanya pakai motor dan segala macam.

Saya sudah minta pake sepeda, jalan kaki dan dibersihkan dan sampah laut di situ juga dibersihkan. Dan itu memberikan sesuatu yang baru dan sesuatu yang energetik di sana.

Ini jadi contoh yang kita dorong dan mudah-mudahan kita bisa masukkan VNR kita ke depan, untuk perkembangan Bali dan beberapa pulau lain. Kita beruntung sekali Indonesia dengan negara kepulauan terbesar ini, kita bisa selesaikan pulau-pulau secara sendiri dengan kembali suasana ketahanan habitatnya masing-masing. Itu saya kira yang penting.

Pulau Sumba dengan terik matahari yang luar biasa, dan menghasilkan solar energi dan bisa dikombinasikan ke depan, dicampur hidrogen, itu bisa hasilkan listrik yang besar sampai dengan 20 Giga Watt atau mungkin bisa sampai 30 Giga Watt.

Dan itu bisa mengirimkan listriknya ke Bali bahkan Jawa. Sehingga Jawa bisa pelan-pelan mengganti listriknya itu dari batubara, bisa diganti dengan yang lebih bersih. Saya juga berharap langit di pulau Jawa itu pelan-pelan jadi biru.

Sudah banyak investor yang tertarik, pak?
Investor sudah banyak tertarik, karena dulu harga-harga investasi mahal dan harga belinya terlalu tinggi. Sekarang solar cell itu, dengan teknologi yang terbaru, hanya bisa dengan 1,05 sen, lebih rendah dibandingkan dengan energi konvensional yang digunakan PLN hari ini. Ini tantangan yang luar biasa, banyak kesempatan yang bisa dimanfaatkan dari ekonomi hijau.

Negara mana saja investor yang tertarik?
Jepang, Arab Saudi, Korea Selatan, ada juga Amerika Serikat, Perancis yang semua punya keinginan untuk misalnya energi 20 Giga Watt sinar matahari kombinasi dengan hidrogen.

Dari Eropa dan Amerika yang berminat. Jadi saya kira dan bahkan dari dalam negeri sendiri, startup bukan modal bisnis digital saja. Tapi bisnis-bisnis yang keras seperti pengadaan listrik, air bersih dan itu sudah dimulai tidak harus dengan investasi yang besar.

Nilai investasi yang terlihat dari negara-negara investor tersebut?
Saya belum bisa kasih angka, tapi setidaknya, kalau investasi, contoh untuk 20 Gigawatt, 1 Mega Watt, paling mahal 1 juta atau 1,5 juta, saya gak tahu ya karena mereka sedang hitung.

Tapi kalau dengan kombinasi untuk menaikkan capacity faktornya jadi 75%, maka hidrogen bisa dinaikan. Mungkin bisa US$ 25 juta per megawatt, jadi bisa US$ 40 miliar untuk itu saja. Belum lagi investasi kabel bawah laut tersendiri lagi. Jadi besar sekali kapasitas untuk sektor ini.

Kalau kita mau hitung peluang-peluang sektor bisnis ini dalam lima tahun ke depan bisa sampai US$ 300 miliar untuk investasi di green economy.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular