Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja ekspor-impor Indonesia terlihat berkilau pada Juni 2021. Namun bulan ini, ada tanda tanya besar.
Pada Juni 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan nilai ekspor sebesar US$ 18,55 miilar. Melonjak 54,46% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Laju pertumbuhan ekspor memang melambat, karena bulan sebelumnya naik lebih dari 59% yoy. Namun secara nominal, ini adalah rekor tertinggi sejak Agustus 2011 atau nyaris 10 tahun.
Realisasi ini lebih tinggi ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 49,18% yoy sementara konsensus versi Reuters berada di 49,9% yoy.
"Harga minyak mentah Indonesia naik 91,4% yoy. Sedangkan beberapa komoditas non-migas, batu bara naik 148,94% yoy, nikel naik 41,27%, timah naik 93,03%. Ini akan mempengaruhi besaran ekspor," kata Margo Yuwono, Kepala BPS, dalam konferensi pers secara virtual, hari ini.
Di sisi lain, impor pun tumbuh positif, bahkan lebih tinggi dari ekspor. Pada Juni 2021, nilai impor tercatat US$ 17,23 miliar, meroket 60,12% yoy.
Seperti halnya ekspor, pertumbuhan impor pun melambat karena bulan sebelumnya melonjak nyaris 69%. Namun dari sisi nominal, ini adalah yang tertinggi sejak Oktober 2018.
Meski impor meningkat, tetapi ini adalah kabar baik. Sebab, impor Indonesia didominasi oleh bahan baku/penolong dan barang modal dengan porsi lebih dari 90%.
Pada Juni 2021, impor bahan baku/penolong melesat 72,09% yoy dan barang modal tumbuh 43,42%. Sepanjang semester I-2021, impor bahan baku/penolong naik 30,96% dan barang modal tumbuh 19,68%.
"impor bahan baku/penolong dan barang modal meningkat. Ini indikasi baik, di sektor rill mulai terjadi aktivitas produksi yang baik," lanjut Margo.
Halaman Selanjutnya --> Juni Kinclong, Juli Harus Waspada
Akan tetapi, mulai tercium gelagat bahwa pada Juli 2021 kinerja ekspor dan impor bisa melambat lagi. Gara-garanya apa lagi kalau bukan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang kembali menggila.
Pada Juli 2021, Baltic Dry Index terxatat 3.139. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 3.383, yang merupakan rekor tertinggi sejak Mei 2010.
Baltic Dry Index mencerminkan arus perdagangan dunia. Saat indeks ini turun, berarti gairah perdagangan agak menurun. Data ini sudah memberi gambaran bahwa perdagangan global bulan ini lebih lemas dibanding bulan lalu
Gelagat lain juga terlihat di data ekspor. Ke India, negara yang sempat membuat heboh dunia karena peningkatan kasus corona yang luar biasa, ekspor Indonesia semakin berkurang.
Pada Juni 2021, nilai ekspor non-migas Indonesia ke Negeri Bollywood adalah US$ 684,3 juta, anjlok 10,04% yoy. Nilai ekspor Indonesia India turun selama tiga bulan beruntun.
Halaman Selanjutnya --> Aktivitas Usaha Mulai Melambat
IHS Markit melaporkan, keyakinan dunia usaha di India pada Juni 2021 menurun tajam dibandingkan posisii Februari 2021. Pada Juni 2021, indeks keyakinan bisnis adalah 0, sementara Februari 2021 berada di 29, rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan.
Kekhawatiran akibat risiko gelombang baru serangan Covid-19, mutasi virus, karantina wilayah (lockdown), dan gangguan rantai pasok membatasi keyakinan pelaku usaha di India pada Juni. Perusahaan netral saja mengenai prospek bisnis setahun ke depan.
"Keyakinan dunia usaha di India terpukul pada Juni karena meningkatnya kekhawatiran mengenai perkembangan pandemi dan kemunculan virus corona varian baru. Perusahaan juga melihat ada gangguan rantai pasok sehingga mengancam prospek ke depan," sebut Pollyana De Lima, Economics Associate Director di IHS Markit, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis.
Indikasi lain nampak di data aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI). Pada Juni 2021, PMI manufaktur Indonesia berada di 53,5, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 55,3.
"Pertumbuhan sektor manufaktur melambat pada Juni, sebagaimana ditunjukkan oleh survei IHS Markit PMI terbaru, dan mencerminkan pengaruh gelombang kedua Covid-19 terhadap sektor manufaktur Indonesia. Dari segi inflasi, tekanan harga terus terjadi di tengah gangguan gelombang kedua virus Covid-19. Inflasi harga input mengalami akselerasi dengan laju jauh lebih cepat dibanding biaya output, dan hal ini berarti bahwa akibatnya perusahaan dapat berada di bawah tekanan, dan merupakan area penting yang patut diperhatikan," papar Jingyi Pan, Economics Associate Director di IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Pandemi virus corona masih menjadi risiko besar bagi perekonomian Ibu Pertiwi. Sepanjang pandemi belum pergi, maka mustahil 'roda' ekonomi bisa berputar normal seperti dulu lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA