Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sepertinya masih jauh dari kata bebas covid-19. Dalam beberapa hari terakhir, warga yang positif covid tembus di atas 20.000 kasus. Ekonomi nasional artinya harus siap keok lagi.
"Apabila kuartal ketiga ini diperketat lebih dari tahun lalu, terdapat kemungkinan kontraksi," kata ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana kepada CNBC Indonesia.
Memasuki akhir kuartal I, ekonomi Indonesia sebenarnya sudah ada perbaikan seiring dengan penurunan kasus covid. Mobilitas penduduk kembali naik, bahkan sudah melebihi kondisi sebelum pandemi covid-19. Dipengaruhi juga oleh momen Lebaran.
Pemerintah tadinya bahkan optimistis pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 8%. Seiring dengan perbaikan pertumbuhan konsumsi dan ekspor serta belanja pemerintah. Investasi juga sedikit ada perbaikan meskipun masih di teritori negatif. Kalangan ekonom memproyeksikan di kisaran 4-6%
Tapi sayangnya, pemerintah gagal mengendalikan covid. Lepas dari Lebaran, kasus covid terus alami peningkatan drastis. Begitu juga dengan kematian. Rumah Sakit (RS) penuh sesak hingga kekurangan tabung oksigen.
Kemarin kasus baru virus corona (Covid-19) di Indonesia kembali bertambah 20.694 orang menjadi 2,135 juta orang dari pemeriksaan 80.308 orang. Kasus kematian bertambah 423 orang sehingga totalnya menjadi 57.561 orang.
Pemerintah menarik rem, meskipun bukan darurat. Langkah yang dipilih adalah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro. Cuma lebih tebal dan sedikit ketat dari biasanya. Dibandingkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan tahun lalu, tentu lebih longgar.
Banyak yang menganggap kebijakan pemerintah tersebut hanya mementingkan kondisi ekonomi semata. Sebab, mobilitas penduduk tidak turun signifikan dan varian virus kali ini menyebar lebih cepat. Tidak mematikan memang tapi memicu kematian apabila seluruh RS penuh.
Halaman Selanjutnya >> PPKM Mikro atau Lockdown?
Seruan lockdown mulai menggema. Bukan hanya dari kalangan profesi kesehatan, tapi kini juga para ekonom. Pasalnya jika Indonesia tidak menerapkan lockdown, ekonomi Indonesia dikhawatirkan akan semakin terperosok nantinya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, belajar dari adanya lonjakan kasus Covid-19 di India, dibutuhkan waktu 1-2 bulan untuk mengurangi kasus harian. Kemudian dilihat dari evaluasi PPKM mikro pada tahun lalu setelah adanya libur natal dan tahun baru, memang kemudian terjadi pengurangan kasus.
Kendati demikian, di kondisi saat ini dimana varian virus baru atau Varian Delta dari India yang sudah masuk ke Indonesia menyebabkan penularan kasus Covid-19 lebih cepat menular, maka kata Josua perlu dipertimbangkan upaya lebih dari PPKM mikro, seperti lockdown.
"Dengan ancaman varian baru, mungkin harus dipertimbangkan (upaya pengendalian) yang lain juga," jelas Josua kepada CNBC Indonesia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan, lockdown justru bisa mengurangi risiko ekonomi, caranya dengan pembatasan sosial dalam waktu dua minggu.
"Hal itu diharapkan menurunkan positive rate covid-19, dan ketika ekonomi dilonggarkan pertumbuhannya jadi lebih solid tidak semu," jelas Bhima.
Sebagai contoh adalah upaya China saat melakukan lockdown, membuat ekonomi turun atau -6,8% pada kuartal I-2020, tapi rebound positif di Kuartal ke II sebesar 3,2% dan berlanjut hingga terakhir Kuartal I-2021 ekonomi China tumbuh tinggi sebesar 18,3%.
Dalam pengendalian virus corona, Indonesia juga sudah melakukan berbagai upaya, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kemudian beralih ke PSBB transisi, kemudian saat ini adalah PPKM mikro diperketat.
"Tapi fakta bahwa kembali ledakan kasus, menunjukkan kalau pembatasan yang tanggung, akhirnya kurang optimal dalam mencegah penularan," jelas Bhima.
Dengan PPKM mikro saat ini, kata Bhima kontraksi di sektor transportasi, perhotelan, restoran akan berlanjut hingga Kuartal IV-2021. Sektor yang berkaitan dengan mobilitas penduduk akan alami tekanan paling dalam. Sementara industri manufaktur juga mulai menyesuaikan dengan permintaan yang menurun.