
Harga Minyak Melonjak, Produsen Migas Masih 'Wait and See'

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak saat ini menunjukkan tren positif, bahkan telah naik di atas US$ 70 per barel. Meski harganya sudah naik, namun investor masih 'wait and see' untuk meningkatkan investasi dan masih menahan belanja modal atau capital expenditure (capex).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, lonjakan harga minyak tidak serta merta membuat perusahaan langsung jor-joran berinvestasi. Menurutnya, yang dibutuhkan oleh investor adalah harga yang stabil, bukan harga yang tinggi tapi masih berfluktuasi.
Dengan harga yang stabil, maka menurutnya akan lebih mudah bagi perusahaan dalam menghitung keekonomian dan penghasilan secara akurat.
"Masalahnya saat ini (harga) naik turun, ini jadi kesulitan, posisi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang gelontorkan uang adalah 'wait and see' atau tekan capex, misal untuk eksplorasi, yang nggak berhubungan langsung dengan produksi dan lainnya," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Kamis (17/06/2021).
Saat ini, imbuhnya, lapangan-lapangan di Indonesia kondisinya sudah berproduksi selama puluhan tahun alias tua. Untuk menemukan cadangan baru pun harus ke daerah-daerah yang tidak murah biayanya dan tidak mudah aksesnya.
"Makin lama makin sulit, ini jadi kendala KKKS, apalagi harga minyak naik turun, awal Covid sempat anjlok, alhamdulillah naik lagi di atas US$ 70," paparnya.
Di tengah tingginya harga minyak, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mendorong para investor untuk melakukan investasi di hulu migas. Menanggapi hal ini, pihaknya berpandangan investor mempertimbangkan jangka panjang.
Menurutnya, yang menjadi pertanyaannya adalah akan berapa lama harga minyak tetap tinggi. Oleh karena itu, pihaknya meminta agar pemerintah juga melihat dari kacamata investor.
![]() Inkonsistensi Kebijakan Bikin Investasi Migas RI Tak Menarik (CNBC Indonesia TV) |
"Makanya, pemerintah harus paham cara berpikir investor. Seberapa lama, karena akan fluktuatif dan jatuh kembali," ujarnya.
Dia berpandangan, investor lebih menyukai harga minyak yang cenderung stabil, misalnya dalam jangka satu sampai tiga tahun ada di bawah US$ 70 per barel dan di atas US$ 60 per barel. Jika sudah naik di atas US$ 70 per barel, menurutnya investor justru was-was.
"Ayo US$ 70 invest, nggak semudah itu. Bisnis migas ini adalah bisnis jangka panjang. Kita bicara lapangan-lapangan besar, lapangan kecil mungkin bisa," ujarnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Berisiko Tinggi Alami Tumpahan Minyak dari Kegiatan Migas
