Internasional

Awas Krisis di Depan Mata: Utang, 'Bom' Inflasi, Bubble China

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 June 2021 07:30
Hong Kong Financial Markets
Foto: AP/Kin Cheung

Jakarta, CNBC Indonesia - Tidak ada satupun orang di dunia ini yang menginginkan krisis terjadi. Namun sayang hukum alam menghendaki sebaliknya karena kata 'krisis' adalah sebuah keniscayaan. Belum juga resesi akibat pandemi Covid-19 usai, dunia harus menghadapi ancaman krisis yang sudah di depan mata.

Dalam sejarah peradaban manusia, krisis ekonomi terjadi karena banyak hal. Mulai dari perang, penyaluran kredit yang ugal-ugalan, inovasi keuangan yang kebablasan dan yang paling baru kita alami adalah pandemi.

Setelah pandemi, krisis di masa mendatang kemungkinan disebabkan oleh ancaman terhadap stabilitas ekonomi. Semua orang menghendaki ekonomi bertumbuh (ekspansif) karena ketika total output dalam suatu perekonomian meningkat, pendapatan setiap pelakunya (masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah) juga ikut naik.

Sayangnya pertumbuhan ekonomi tidak selalu dibarengi dengan stabilitas. Padahal stabilitas merupakan kunci utama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dalam satu abad terakhir krisis terjadi berulangkali di berbagai belahan dunia, dari yang paling fenomenal seperti The Great Depression 1929-39, Asian Financial Crisis 1997 dan Global Financial Crisis 2008. Ketiga krisis di atas disebabkan oleh stabilitas yang terguncang.

Resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 memang berbeda dengan krisis di atas. Jika tiga yang disebutkan melibatkan institusi perbankan dan pasar keuangan, kontraksi ekonomi global tahun lalu diakibatkan karena krisis kesehatan yang menjalar luas ke berbagai negara dan sektor keuangan.

Namun buntut dari krisis tersebut adalah ancaman krisis di masa mendatang. Loh kok bisa? Tenang! Akan dijabarkan satu per satu.

Akibat kebijakan lockdown yang membatasi mobilitas manusia, dua sisi perekonomian yakni supply & demand terkena pukulan. Alhasil output perekonomian dunia mengalami penyusutan. Berbagai institusi riset maupun lembaga keuangan dunia memperkirakan produk domestik bruto (PDB) dunia tahun 2020 turun lebih dari 3%.

Penurunan pertama kali dalam satu dekade terakhir dan lebih besar dari krisis keuangan tahun 2008. Ketika krisis para pengambil kebijakan (bank sentral dan pemerintah) menjadi pihak yang dituntut mampu mengembalikan perekonomian ke jalur pertumbuhan.

Bank sentral pangkas suku bunga dan injeksi likuiditas. Sementara pemerintah ambil peran lewat pemberian stimulus melalui transfer bantuan sosial hingga relaksasi pajak.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Eropa dan Jepang suku bunga acuan sudah berada di tingkat yang rendah. Dipangkasnya suku bunga acuan sampai ke titik terendah (nol persen) bahkan belum mampu membuat pasar keuangan 'kalem' dan ekonomi bersemi.

Mau tak mau bank sentral ambil jalan lain yaitu lewat injeksi likuiditas atau dalam bahasa keren ekonominya disebut sebagai quantitative easing (QE). Banyak yang menilai QE adalah sebutan ketika bank sentral 'mencetak uang'.

Meskipun tidak sesederhana itu tetapi sasaran QE jangka pendek adalah meningkatkan suplai likuiditas sehingga suku bunga acuan bisa lebih cepat turun ke tingkat yang efektif. Dengan begitu borrowing cost menjadi lebih murah, masyarakat dan pelaku usaha bisa melakukan ekspansi.

Di sisi lain dua kebijakan moneter tersebut membuat imbal hasil surat utang terutama pemerintah di negara maju menjadi sangat rendah dan kurang menarik. Secara psikologis investor akan mencari aset-aset yang lebih berisiko seperti saham. Inilah yang menjelaskan mengapa pasar saham global pulih lebih cepat dari ekonomi riilnya.

Pemerintah sebagai otoritas fiskal menempuh kebijakan kontrasiklikal. Penerimaan dari pajak yang turun disertai dengan peningkatan belanja pemerintah membuat defisit anggaran membengkak. Ketika pendapatan lebih kecil dari pengeluaran dan defisit terjadi maka harus ditambal. Salah satunya dengan utang.

Tingginya rasio utang terhadap pendapatan nasional (PDB) adalah buntut dari krisis kesehatan tahun lalu. Bahkan di tahun 2021 yang temanya adalah pemulihan ekonomi pun pemerintah di berbagai negara masih harus membiarkan defisit anggarannya tetap besar. Artinya masih akan ada peningkatan utang.

Menurut laporan Institute of International Finance (IIF), per akhir Desember 2020 baik pemerintah, pengusaha maupun konsumen telah menambah utang sebanyak US$ 24 triliun untuk menambal turunnya pendapatan yang tajam. Sehingga total utang global mencapai US$ 281 triliun atau setara dengan 355% PDB dunia.

Fantastis bukan? Tentu saja! Itu akhir tahun 2020. Tahun ini utang diperkirakan masih akan naik lagi. Utang yang terlalu tinggi menjadi kekhawatiran banyak pihak. Perdebatan di sana-sini terus bergulir apakah risiko gagal bayar (default) akan memicu krisis selanjutnya dengan rasio utang yang sudah sebegitu tingginya.

Melihat utang hanya dari rasio terhadap PDB saja adalah hal yang sangat menyesatkan. Rasio utang yang tinggi tidak selalu berbuntut pada gagal bayar bunga dan pokok utang negara terhadap kreditornya. Lihat saja AS dan negara-negara maju yang rasio utangnya sangat tinggi relatif terhadap pendapatan nasionalnya.

Namun dalam konteks utang kita juga harus melihat hal lain di luar besarannya seperti tingkat suku bunga, profil jatuh tempo serta dalam mata uang apa utang tersebut berdenominasi. Jangan lupa juga untuk apa utang tersebut digunakan ya agar bisa melihat lebih bijak kemampuan bayar kewajiban utang dari pemerintah.

Bagi negara-negara kaya yang mata uangnya menjadi reserves currency, rasio utang yang tinggi walau problematik tetapi risikonya lebih rendah bagi negara-negara emerging market yang mata uangnya cenderung volatil (soft currency). Salah satunya adalah Indonesia.

Jadi kalaupun terjadi krisis karena utang, apalagi utang pemerintah (negara) maka yang lebih berisiko tinggi adalah negara-negara berkembang dan miskin yang anggaran serta transaksi berjalannya defisit.

Krisis utang di negara berkembang bakal menjalar ke negara berkembang lain. Namun bukan berarti efeknya domino karena default melainkan lewat jalur finansial. Biasanya investor akan meminta bunga lebih tinggi untuk mengkompensasi risiko tersebut yang pada akhirnya hal ini akan membuat anggaran pemerintah ikut tertekan.

Jadi soal ancaman utang yang memicu krisis memang ada. Namun tidak seragam di semua negara dengan negara-negara miskin dan berkembanglah yang risikonya relatif lebih tinggi.

Ancaman kedua bagi stabilitas ekonomi adalah inflasi. Setelah bertahun-tahun mengalami inflasi yang rendah, negara maju seperti Amerika Serikat (AS) akhirnya mengalami peningkatan harga barang dan jasa yang signifikan. Inflasi terus merangkak naik di tahun ini. Di AS angka inflasi bulan April tercatat mencapai 4,2%. Sebulan berselang inflasi naik menjadi 5%. Jauh di atas sasaran bank sentral (The Fed) di angka 2%.

Kenapa inflasi bisa naik tinggi? Jelas interaksi antara supply & demand sebagai basis dalam ekonomi bisa menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Saat lockdown aktivitas binis terganggu. Banyak pabrik dan perusahaan yang beroperasi dengan kapasitas di bawah normal karena penjualan yang terus menurun, terutama untuk sektor yang sensitif dengan mobilitas publik seperti pariwisata dan transportasi.

Namun setelah bank sentral mengguyur likuiditas ke sistem keuangan, pemerintah juga mengirimkan bansos ke rekening warga negara serta memberikan relaksasi pajak, ditambah dengan kemajuan vaksin yang super cepat, perlahan perekonomian mulai dibuka kembali. Ada fenomena pent up demand yang terjadi.

Namun di sisi lain pasokan barang dan jasa cenderung tidak bisa di-adjust secepat itu. Belum lagi kalau mempertimbangkan faktor disrupsi rantai pasok dan deglobalisasi akibat Covid-19. Hal inilah yang membuat inflasi naik.

Sebenarnya inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh interaksi permintaan dan penawaran. Sisi psikologis para pelaku ekonomi juga ikut menentukan. Ketika seseorang mulai khawatir bahwa harga-harga naik, kecemasan tersebut juga bisa menjadi semacam epidemi yang menyebar sehingga membuat orang lain juga berpikir dengan cara pandang yang sama. Ketika secara kolektif, masyarakat berpikira harga barang dan jasa akan naik maka inflasi bisa terjadi.

Inflasi bak suhu tubuh manusia. Harus dijaga pada level optimal. Tak boleh terlalu tinggi juga tak bisa dibiarkan terlalu rendah. Makanya di sinilah peran bank sentral yaitu menjaga stabilitas harga. Inflasi yang tinggi mencerminkan penurunan nilai mata uang relatif terhadap barang dan jasa.

Ketika inflasi naik tinggi maka bank sentral biasanya akan mulai mengetatkan kebijakan moneternya lewat kenaikan suku bunga. Selain itu jika bank sentral sebelumnya menginjeksi likuiditas ke sistem ekonomi maka bisa juga dilakukan dengan cara mengatur lajunya atau menguranginya. Pelaku pasar menyebutnya sebagai tapering off.

Dalam rapat komite pengambil kebijakan The Fed (semacam rapat dewan gubernur), para anggota mulai mewacanakan kebijakan tapering ini jika perekonomian AS terus menunjukkan perbaikan. Ekonomi AS belum benar-benar pulih memang. Namun rilis berbagai data makro seperti angka pengangguran yang terus membaik membuat kecemasan akan tapering bisa dipahami.

Meskipun tujuan dari tapering itu baik karena berusaha untuk menjaga suhu tubuh perekonomian agar tidak overheat, bukan berarti tindakan ini tak memiliki konsekuensi. Jika berkaca pada krisis terdekat tahun 2008 di mana The Fed juga melakukan tapering, dolar AS cenderung menguat. Penguatan greenback menelan korban terutama mata uang negara-negara berkembang. Indonesia termasuk.

Kala itu rupiah masih di bawah Rp 10.000 per dolar. Namun dengan transaksi berjalan yang defisit dan dolar yang menguat rupiah harus terus terdepresiasi terhadap dolar AS. Pelemahan rupiah dan mata uang lain di kawasan emerging market jika menjauhi nilai fundamentalnya sangatlah membahayakan.

Di pasar keuangan tapering biasanya memicu aliran modal keluar, yang membuat aset-aset finansial seperti saham mengalami koreksi sementara untuk surat utang yield-nya naik. Di sisi lain pelemahan nilai tukar juga akan berdampak pada aktivitas ekspor-impor dan stabilitas harga.

Bagi negara yang neraca dagangnya defisit, penguatan dolar hanya akan membuat impor bengkak secara nominal. Tingginya biaya impor akan menyebabkan harga barang dan jasa di suatu perekonomian naik. Inlah yang disebut sebagai fenomena imported inflation.

Lagi-lagi pelemahan nilai tukar juga akan berdampak pada anggaran pemerintah. Tapering kali ini bisa jadi dampaknya lebih besar bagi emerging market ketimbang sebelumnya, karena selain secara nominal nilainya lebih besar juga dibarengi dengan defisit anggaran yang tinggi.

Apabila sinyal tapering semakin kuat di pasar maka negara berkembang seperti Indonesia harus bersiap-siap karena bisa jadi pengetatan moneter juga akan ikut dilakukan oleh bank sentral guna menjaga stabilitas yang berarti juga mengerem laju perekonomian. Jadi inflasi di AS yang tinggi dan potensi tapering off menjadi risiko selanjutnya yang perlu diwaspadai

Ancaman ketiga kini berasal dari China. Harga aset properti di China yang terus merangkak naik menimbulkan kekhawatiran bahwa real estate buble bakal meletus dan memicu krisis. Sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia tentu saja dampak krisis di China jika terjadi akan dirasakan oleh negara-negara lain.

Pertumbuhan ekonomi China boleh saja mentereng. Namun sekali lagi ini menjadi bukti bahwa pertumbuhan tidak selalu disertai dengan stabilitas. Economic boom di China justru membuat spekulasi di sektor properti berkembang.

Harga rumah di Negeri Panda konsisten tumbuh terus dan tak pernah turun terutama sejak tahun 2015. Rasio harga rumah terhadap pendapatan masyarakat di China mencapai 133 kali. Bayangkan betapa mahalnya harga sepetak rumah di China.

Kenaikan harga properti cenderung membuat kredit yang disalurkan ke sektor ini pun meningkat. Para pengembang pun agresif melakukan ekspansi dengan menerbitkan surat utang. Masalahnya, laju gagal bayar surat utang di China terus tumbuh. Pada kuartal pertama tahun ini tercatat sebanyak 27% dari total hampir US$ 15 miliar gagal bayar (default) surat utang disumbang oleh surat utang pengembang properti.

Memang fenomena bubble tidak harus langsung diikuti dengan burst dalam waktu singkat. Namun yang pasti pada suatu titik harga sudah tidak bisa naik lagi karena permintaan akan turun ketika harga sudah kemahalan. Di saat itulah gelembung tadi pecah dan menimbulkan krisis. Jepang pada tahun 1990-an dan AS pada 2008 silam sudah mengalaminya. Kini ancaman tersebut mulai mengintai China.

Di sini kita melihat bahwa ancaman-ancaman tadi dapat membuat krisis ekonomi global terjadi. Negara-negara berkembang akan cenderung memiliki risiko tinggi ketika menghadapinya. Dampak dari krisis akan cenderung memperlebar kesenjangan tensi geopolitik.

Menariknya lagi krisis itu dipicu oleh perilaku para pelaku ekonomi itu sendiri. Pemerintah dan bank sentral pun dengan kebijakannya seringkali hanya menyelesaikan permasalahan jangka pendek yang sifatnya akut. Namun di sisi lain juga menimbulkan risiko untuk jangka panjangnya.

Well, masa depan tetaplah sulit diprediksi. Namun ketika berbicara dalam konteks perekonomian, siklus boom & bust adalah hal yang lazim. Meskipun kita semua tidak tahu kapan pastinya krisis akan terjadi. Namun setidaknya kita sudah tahu rambu-rambunya. Jadi be prepared!

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular