
Awas Krisis di Depan Mata: Utang, 'Bom' Inflasi, Bubble China

Ancaman kedua bagi stabilitas ekonomi adalah inflasi. Setelah bertahun-tahun mengalami inflasi yang rendah, negara maju seperti Amerika Serikat (AS) akhirnya mengalami peningkatan harga barang dan jasa yang signifikan. Inflasi terus merangkak naik di tahun ini. Di AS angka inflasi bulan April tercatat mencapai 4,2%. Sebulan berselang inflasi naik menjadi 5%. Jauh di atas sasaran bank sentral (The Fed) di angka 2%.
Kenapa inflasi bisa naik tinggi? Jelas interaksi antara supply & demand sebagai basis dalam ekonomi bisa menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Saat lockdown aktivitas binis terganggu. Banyak pabrik dan perusahaan yang beroperasi dengan kapasitas di bawah normal karena penjualan yang terus menurun, terutama untuk sektor yang sensitif dengan mobilitas publik seperti pariwisata dan transportasi.
Namun setelah bank sentral mengguyur likuiditas ke sistem keuangan, pemerintah juga mengirimkan bansos ke rekening warga negara serta memberikan relaksasi pajak, ditambah dengan kemajuan vaksin yang super cepat, perlahan perekonomian mulai dibuka kembali. Ada fenomena pent up demand yang terjadi.
Namun di sisi lain pasokan barang dan jasa cenderung tidak bisa di-adjust secepat itu. Belum lagi kalau mempertimbangkan faktor disrupsi rantai pasok dan deglobalisasi akibat Covid-19. Hal inilah yang membuat inflasi naik.
Sebenarnya inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh interaksi permintaan dan penawaran. Sisi psikologis para pelaku ekonomi juga ikut menentukan. Ketika seseorang mulai khawatir bahwa harga-harga naik, kecemasan tersebut juga bisa menjadi semacam epidemi yang menyebar sehingga membuat orang lain juga berpikir dengan cara pandang yang sama. Ketika secara kolektif, masyarakat berpikira harga barang dan jasa akan naik maka inflasi bisa terjadi.
Inflasi bak suhu tubuh manusia. Harus dijaga pada level optimal. Tak boleh terlalu tinggi juga tak bisa dibiarkan terlalu rendah. Makanya di sinilah peran bank sentral yaitu menjaga stabilitas harga. Inflasi yang tinggi mencerminkan penurunan nilai mata uang relatif terhadap barang dan jasa.
Ketika inflasi naik tinggi maka bank sentral biasanya akan mulai mengetatkan kebijakan moneternya lewat kenaikan suku bunga. Selain itu jika bank sentral sebelumnya menginjeksi likuiditas ke sistem ekonomi maka bisa juga dilakukan dengan cara mengatur lajunya atau menguranginya. Pelaku pasar menyebutnya sebagai tapering off.
Dalam rapat komite pengambil kebijakan The Fed (semacam rapat dewan gubernur), para anggota mulai mewacanakan kebijakan tapering ini jika perekonomian AS terus menunjukkan perbaikan. Ekonomi AS belum benar-benar pulih memang. Namun rilis berbagai data makro seperti angka pengangguran yang terus membaik membuat kecemasan akan tapering bisa dipahami.
Meskipun tujuan dari tapering itu baik karena berusaha untuk menjaga suhu tubuh perekonomian agar tidak overheat, bukan berarti tindakan ini tak memiliki konsekuensi. Jika berkaca pada krisis terdekat tahun 2008 di mana The Fed juga melakukan tapering, dolar AS cenderung menguat. Penguatan greenback menelan korban terutama mata uang negara-negara berkembang. Indonesia termasuk.
Kala itu rupiah masih di bawah Rp 10.000 per dolar. Namun dengan transaksi berjalan yang defisit dan dolar yang menguat rupiah harus terus terdepresiasi terhadap dolar AS. Pelemahan rupiah dan mata uang lain di kawasan emerging market jika menjauhi nilai fundamentalnya sangatlah membahayakan.
Di pasar keuangan tapering biasanya memicu aliran modal keluar, yang membuat aset-aset finansial seperti saham mengalami koreksi sementara untuk surat utang yield-nya naik. Di sisi lain pelemahan nilai tukar juga akan berdampak pada aktivitas ekspor-impor dan stabilitas harga.
Bagi negara yang neraca dagangnya defisit, penguatan dolar hanya akan membuat impor bengkak secara nominal. Tingginya biaya impor akan menyebabkan harga barang dan jasa di suatu perekonomian naik. Inlah yang disebut sebagai fenomena imported inflation.
Lagi-lagi pelemahan nilai tukar juga akan berdampak pada anggaran pemerintah. Tapering kali ini bisa jadi dampaknya lebih besar bagi emerging market ketimbang sebelumnya, karena selain secara nominal nilainya lebih besar juga dibarengi dengan defisit anggaran yang tinggi.
Apabila sinyal tapering semakin kuat di pasar maka negara berkembang seperti Indonesia harus bersiap-siap karena bisa jadi pengetatan moneter juga akan ikut dilakukan oleh bank sentral guna menjaga stabilitas yang berarti juga mengerem laju perekonomian. Jadi inflasi di AS yang tinggi dan potensi tapering off menjadi risiko selanjutnya yang perlu diwaspadai
(twg/twg)