Inflasi AS Meroket ke 7,5%, Indonesia Bisa Kena Apes!

News - Redaksi, CNBC Indonesia
11 February 2022 10:55
2021, Inflasi AS 7% (YoY) Tertinggi Sejak 1982 Foto: CNBC Indonesia TV

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia akan kena imbas dari lonjakan inflasi di Amerika Serikat (AS) yang mencapai 7,5% di bulan Januari. Kok bisa?

Inflasi AS menjadi yang tertinggi sejak Februari 1982, dan kembali menguatkan ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga dengan agresif di tahun ini dan kemungkinan sebesar 50 basis poin di bulan Maret menjadi menjadi 0,5-0,75%.

Kenaikan suku bunga memang bisa meredam inflasi, tetapi jika suku bunga terlalu tinggi maka roda perekonomian bisa melambat, sebab suku bunga kredit akan meningkat, dan ekspansi bisnis perusahaan menjadi terhambat.

Meningkatkan suku bunga AS akan mendorong aliran modal keluar (outflow) dari Indonesia. Hal ini bisa menyebabkan pelemahan dari nilai tukar rupiah.

"Menyempitnya selisih yield obligasi pemerintah AS dengan Indonesia akan mendorong terjadinya outflow," kata Ekonom Senior Chatib Basri dalam acara Mandiri Investment Forum beberapa hari lalu.

Hal yang sama juga terjadi pada 2013 lalu. Akan tetapi outflow yang terjadi diyakini tidak akan begitu besar, sebab kondisi fundamental ekonomi Indonesia kini jauh lebih baik. Sehingga bila melepas pergerakan rupiah adalah opsi yang dipilih regulator, maka pelemahannya tidak akan terlalu dalam.

"Jadi membiarkan rupiah melemah adalah yang paling mungkin. BI bisa smoothing volatilitas lewat kebijakan makroprudensial," jelas mantan Menteri Keuangan tersebut.

Beberapa indikator yang menahan pelemahan antara lain adalah semakin kecilnya dana asing di dalam negeri, khususnya pada kepemilikan surat berharga negara (SBN).

Asing sudah kabur saat pandemi Covid-19 dimulai. Posisinya digantikan oleh investor dalam negeri, yaitu perbankan. Kini posisi kepemilikan asing hanya sekitar 20%, lebih rendah dari sebelumnya di atas 30%.

Indikator lainnya adalah sisi eksternal, di mana transaksi berjalan (current account) yang surplus. Bahkan sekalipun defisit pada tahun ini, persentasenya masih kecil. Sementara pada 2013 silam, defisit transaksi berjalan bisa di atas 2% PDB.

BI juga lebih siap, seiring dengan cadangan devisa yang besar dan juga segenap instrumen intervensi moneter yang lebih variatif. "Sehingga tidak terlalu banyak kekhawatiran soal kenaikan suku bunga AS," tutur Chatib.

Bahkan tidak menutup kemungkinan, Indonesia akan menjadi sasaran investor, baik yang bersifat langsung maupun lewat portfolio. "Indonesia masih menjadi negara yang atraktif di dunia bagi investor. Bukan karena paling berhasil tapi karena negara lain punya masalah lebih berat," terangnya.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

2021, Inflasi AS 7% (YoY) Tertinggi Sejak 1982


(mij/mij)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading