Inflasi di AS Memang Ngeri, tapi Rupiah Masih Sakti!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 February 2022 09:16
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kamis kemarin rupiah sukses mencatat penguatan 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS), dan di awal perdagangan hari ini stagnan. Padahal, tekanan dari eksternal sedang besar. 

Melansir data Refinitiv, pada Jumat (11/2) rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.340/US$ dan bertahan di level tersebut hingga pukul 9:07 WIB. Rupiah yang mampu menahan tekanan di awal perdagangan hari ini terbilang cukup bagus, sebab dolar AS sedang perkasa lagi pasca rilis data inflasi. 

Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) tumbuh 7,5% year-on-year (yoy) di bulan Januari, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7% (yoy) juga ekspektasi Reuters sebesar 7,3% (yoy).

Inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak Februari 1982, dan kembali menguatkan ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga dengan agresif di tahun ini dan kemungkinan sebesar 50 basis poin di bulan Maret nanti.

Kenaikan suku bunga memang bisa meredam inflasi, tetapi jika suku bunga terlalu tinggi maka roda perekonomian bisa melambat, sebab suku bunga kredit akan meningkat, dan ekspansi bisnis perusahaan menjadi terhambat.

Pergerakan yield obligasi AS (Treasury) sudah menunjukkan hal tersebut. Yield Treasury tenor 2 tahun yang sensitif akan kenaikan suku bunga sudah melesat naik. Begitu juga dengan yield Treasury tenor 10 tahun, tetapi kenaikan jauh lebih lambat.

Spread yield semakin menyempit, kurva semakin mendatar bahkan kemungkinan terjadi inversi atau yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi dari tenor 10 tahun.
Reuters melaporkan banyak analis melihat inversi akan terjadi di tahun ini.

Inversi yield di Amerika Serikat menjadi pertanda buruk. Sebab, berdasarkan riset dari The Fed San Fransisco yang dirilis 2018 lalu, sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Inversi yield Treasury terakhir kali terjadi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinnya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Hal tersebut membuat pasar finansial bergejolak, bursa saham AS (Wall Street) ambrol lagi, indeks Nasdaq bahkan merosot lebih dari 2%.

Pergerakan kiblat bursa saham dunia tersebut menjadi indikasi sentimen pelaku pasar memburuk, dan menekan rupiah hari ini.

Sementara itu Bank Indonesia (BI) Kamis kemarin mengumumkan mempertahankan suku bunga acuannya. Seperti ekspektasi, MH Thamrin tidak mengubah suku bunga acuan.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 9-10 Februari 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG, Kamis (10/1/2022).

Perry juga mengatakan BI memproyeksikan suku bunga di Amerika Serikat akan naik 4 kali di tahun ini, dan ada kemungkinan kenaikan sebesar 50 basis poin di bulan Maret nanti. Artinya, BI sudah mengantisipasi hal tersebut, dan tentunya sudah menyiapkan skenario guna menjaga stabilitas rupiah.

Selain itu menurut Perry perkasanya rupiah dalam tiga hari terakhir disebabkan oleh deras aliran modal asing yang masuk ke Tanah Air.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) secara year-to-date (ytd) hingga 7 Februari lalu, tercatat capital inflow di pasar obligasi sebesar Rp 4,4 triliun.

Di pasar saham juga terjadi hal yang sama. Hari ini investor asing tercatat melakukan beli bersih (net buy)sebesarRp 1,56 triliun di pasar reguler. Kemudian selama sepekan terakhirnet buytercatat lebih dari Rp 7,1 triliun.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Kabar Gembira di Awal 2023, Rupiah Siap Ngegas!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular