Internasional

Waspada Ekonomi Dunia! Ada 'Bom' di AS, Ada Bubble di China

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
11 June 2021 07:00
Ilustrasi bendera China. AP/
Foto: Ilustrasi bendera China. AP/

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian negara-negara dunia pasca pandemi memiliki beberapa ancaman-ancaman besar. Sebelumnya di Rusia, beberapa ekonom memperkirakan bahwa ekonomi negara tersebut akan mengalami overheat.

Di Amerika Serikat (AS), ekonomi Deutsche Bank memprediksi akan terjadi stagflasi, yakni pertumbuhan rendah bahkan resesi ditemani inflasi. Dan yang terbaru, ancaman bubble menghantui China.

Mengutip Reuters, regulator perbankan dan asuransi terkemuka China mengatakan bank waspada terhadap kenaikan non-performing asset ketika negara itu membatalkan beberapa langkah bantuan yang diterapkan selama pandemi.

Pada tahun 2020, bank sentral mendorong lembaga keuangan untuk menurunkan suku bunga bagi perusahaan yang terdampak virus dan memperpanjang tenggat waktu pembayaran untuk memberi peminjam ruang bernapas selama krisis virus corona.



"Tingkat gagal bayar untuk beberapa perusahaan besar dan menengah telah meningkat, dan risiko kredit di lembaga perbankan telah meningkat," kata Guo Shuqing pada forum keuangan di Shanghai melalui pesan video.

Ia mengatakan tren yang berkembang dari Bubble real estat lokal tetap "serius".

Menurut Institute of International Finance, gagal bayar obligasi korporasi telah meningkat tajam di China dalam beberapa tahun terakhir, mencapai US$ 14 miliar pada tahun 2020. Menurut data dari bank sentral, People's Bank of China. bank-bank China memperpanjang rekor pinjaman baru senilai US$3 triliun pada tahun 2020,

Selain itu, ia juga mengutarakan bahwa investor perlu mewaspadai potensi kerugian investasi pada produk derivatif keuangan, komoditas terkait berjangka, dan skema Ponzi yang mungkin meningkat.

"Regulator juga akan dengan tegas membersihkan kegiatan penerbitan sekuritas ilegal dan menangkis kegiatan perbankan bayangan," tambah Guo.

Mengomentari pasar global, Guo, yang juga menjabat sebagai ketua Partai Komunis di bank sentral, mengatakan bahwa kebijakan moneter di beberapa negara maju "belum pernah terjadi sebelumnya".

"Langkah-langkah ini telah menstabilkan pasar dalam jangka pendek tetapi mengharuskan semua negara di dunia untuk berbagi tanggung jawab atas dampak negatifnya," katanya.

Sebelumnya tim ekonom Deutsche Bank memberikan sebuah peringatan penting bagi perekonomian dunia, utamanya di negara maju seperti AS. Mereka menyebut pemberian stimulus yang diberikan bank sentral bisa menyebabkan inflasi yang sangat signifikan.

"Konsekuensi dari penundaan akan menjadi gangguan yang lebih besar dari aktivitas ekonomi dan keuangan daripada yang akan terjadi ketika Fed akhirnya bertindak," kepala ekonom Deutsche, David Folkerts-Landau.

"Pada gilirannya, ini dapat menciptakan resesi yang signifikan dan memicu rantai kesulitan keuangan di seluruh dunia, terutama di pasar negara berkembang."

Sementara itu, data terbaru Kamis menunjukkan inflasi di AS naik ke level tertinggi sejak Agustus 2008, di Mei 2021. Inflasi naik 5% jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu dan lebih tinggi dari ekspektasi Wall Street, 4,7%.

Biro Statistik Tenaga Kerja AS mengatakan di luar harga makanan dan energi, inflasi tercatat 3,8% alias tertinggi dalam hampir tiga dekade. Lonjakan harga mobil bekas mendorong kenaikan inflasi.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bertubi-tubi, China Kirim Kabar Buruk Lagi soal Ekonomi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular