Sopir Kontainer Dikalungin Celurit, RI Susah Jadi Negara Maju

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 June 2021 14:31
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (10/2/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Truk Kontainer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meradang lagi. Kali ini Kepala Negara geram karena hambatan logistik di Indonesia masih saja terjadi, masalah yang belum kelar selama bertahun-tahun.

Dalam kunjungan ke Tanjung Priok, eks Gubernur DKI Jakarta itu menerima keluhan dari pelaku usaha logistik. Pungutan liar alias pungli ternyata masih marak, dan menjadi beban buat dunia usaha. Ongkos logistik dan transportasi menjadi lebih tinggi, tidak efisien.

Agung Kurniawan, seorang sopir kontainer lantas mengacungkan tangan dan menyampaikan keluh kesahnya selama menjadi sopir kontainer. Pria kelahiran Ngawi 38 tahun silam ini menjelaskan bahwa para sopir kontainer kerap menjadi sasaran tindak premanisme.

"Begitu keadaan macet, di depannya ada yang dinaiki mobilnya. Naik ke atas mobil bawa celurit, nggak ada yang berani menolong. Padahal depan, belakang, samping itu kendaraan semua," ungkap Agung.

Tidak hanya preman, pungli juga dilakukan oleh mereka yang berseragam. Misalnya di depo penampungan kontainer. Para karyawan depo sering meminta imbalan berupa uang tip agar laporan bisa diproses segera.

"Kita kan bawa kontainer nih, kosongan lah atau pun mau ambil (dalam keadaan) kosongan. Itu harus ada uang tip. Kadang-kadang Rp 15.000, ada yang Rp 20.000. Kalau nggak dikasih ya masih dikerjakan, cuma diperlambat.," jelas Abdul Hakim, sesama pengemudi truk kontainer.

Mendengar laporan itu, Jokowi bertindak cepat. Jokowi langsung menghubungi Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.

"Saya di Tanjung Priok, banyak keluhan dari para driver kontainer yang berkaitan dengan pungutan liar. Pertama itu. Kedua, juga kalau pas macet itu banyak driver yang dipalak preman-preman. Keluhan-keluhan ini tolong bisa diselesaikan. Itu saja Pak Kapolri," tegas Jokowi.

Halaman Selanjutnya --> Pungli Bukan Cuma Problema Indonesia

Pungli di bidang logistik dan transportasi bukan barang baru. Ini adalah praktik yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi adalah masalah global.

Mengutip kajian Bank Dunia berjudul Logistics Costs and Supply Chain Reliability karya Jean-Francois Arvis, Gael Raballand, dan Jean-Francois Marteau, pungli umumnya terjadi di dua tahap. Pertama ada di jalan raya dalam bentuk pos pengecekan (check point) ilegal dan kedua adalah saat kontainer akan didokumentasikan (clearance). Persis dengan pengakuan Agung dan Abdul.

logistikSumber: Bank Dunia

"Dalam konteks industri manufaktur, keandalan logistik terkait erat dengan biaya produksi dan daya saing ekspor. Sistem logistik yang tidak efisien akan merugikan dunia usaha karena terjadi tambahan biaya sehingga produk mereka menjadi kurang kompetitif," sebut kajian itu.

Kembali ke Indonesia, masalah keandalan logistik dan transportasi menjadi salah satu penyebab penurunan daya saing. Ini tergambar dalam laporan Global Competitiveness Report keluaran World Economic Forum (WEF).

Pada 2019, Indonesia berada di peringkat 50 dari 141 negara dalam hal daya saing. Posisi Indonesia turun lima setrip dibandingkan 2018.

Indeks daya saing keluaran WEF dibagi menjadi enam pilar yaitu institusi, infrastruktur, adopsi teknologi informasi dan komunikasi, stabilitas makroekonomi, kesehatan, dan keahlian. Salah satu poin di pilar institusi adalah insiden korupsi, dalam hal ini skor Indonesia adalah 38 dan berada di peringkat 77 dunia. Lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 55) apalagi Singapura (3).

Halaman Selanjutnya --> Logistik Belum Berubah, Indonesia Susah Naik Kelas

Kemudian di Logistics Performance Index (LPI), Indonesia juga masih relatif tertinggal. Pada 2018, Indonesia berada di peringkat 46 dari 141 negara. Sementara Singapura ada di peringkat tujuh, Vietnam 39, dan Malaysia 41.

Salah satu kelemahan logistik Indonesia versi LPI adalah sub-poin kualitas logistik dan kompetensi, yang di dalamnya ada indikator biaya dan korupsi. Pada 2018, Indonesia berada di peringkat 44. Di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (3), Malaysia (36), dan Thailand (32).

Menurut dokumen Bank Dunia berjudul Improving Indonesia's Freight Logistics System: A Plan of Action, indikator untuk mengukur inefisiensi logistik adalah rasio biaya berbanding penjualan (logistics cost/sales). Dalam hal ini, Indonesia juga tidak lebih baik dibandingkan negara-negara tetangga.

"Berdasarkan survei terhadap 250 perusahaan di Jakarta, Bekasi, Semarang, Surabaya, dan Medan, ditemukan bahwa rasio biaya logistik berbanding penjualan ada di sekitar 20%. Lebih tinggi dibandingkan Thailand (15%) dan Malaysia (13%).

logistikSumber: Bank Dunia

Masalah logistik dan transportasi Indonesia, baik itu infrastruktur maupun pungli, adalah penyakit menahun yang belum terselesaikan. Inefisiensi logistik dan transportasi ini membuat biaya membengkak, dan pada akhirnya menjadi beban konsumen. Akibatnya terjadi inflasi yang sebenarnya tidak perlu.

Sepanjang inefisiensi dan korupsi masih marak, maka ekonomi sulit bergerak sesuai kapasitasnya. Indonesia bakal sulit naik kelas, tidak bisa keluar dari jebakan negara kelas menengah.

"Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi sekitar 8% per tahun untuk menghindari jebakan kelas menengah (middle income trap) dan meningkatkat kuaitas hidup 40% masyarakat yang berada di posisi terbawah. Tanpa meningkatkan kualitas logistik, negara ini akan melewatkan kesempatan untuk mengintegrasikan ekonomi dan butuh waktu lebih lama untuk mencapai tujuan pembangunan," papar laporan Bank Dunia itu.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular