
Harga Minyak Terbang, Bagaimana Nasib Pertalite & Pertamax?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sejak awal tahun kian menunjukkan taringnya, dari sekitar US$ 50 per barel pada awal Januari 2021, kini sudah menembus di atas US$ 70 per barel.
Harga kontrak Brent pada pekan ini mencapai US$ 71,65 per barel, sementara kontrak West Texas Intermediate (WTI) atau minyak light sweet sebesar US$ 69,45 per barel.
Harga minyak mentah dunia ini bahkan telah melonjak lebih dari 220% sejak jatuh di bawah US$ 20 per barel pada April 2020 lalu.
Lonjakan harga minyak ini juga membuat sejumlah badan usaha pengecer bahan bakar minyak (BBM) seperti Shell Indonesia dan Vivo menaikkan harga BBM non subsidi untuk jenis bensin dengan nilai oktan (Research Octane Number/ RON) 90, 92, 95, hingga diesel non subsidi sejak April 2021.
Adapun kenaikan harga mencapai sekitar Rp 675 sampai lebih dari Rp 1.000 per liter, dibandingkan harga pada Maret 2021.
Lantas, bagaimana dengan harga bensin Pertalite dan Pertamax yang dijual PT Pertamina (Persero)? Sejak awal tahun hingga kini harga Pertalite dan Pertamax Pertamina masih belum berubah, yakni Rp 7.650 per liter untuk Pertalite dan Rp 9.000 per liter untuk Pertamax, khususnya di Jakarta dan Pulau Jawa.
Berdasarkan laporan riset Bahana Sekuritas, harga eceran untuk bensin RON 90 Pertalite seharusnya berada di kisaran Rp 7.783 (US$ 0,54) per liter dan bensin RON 92 Pertamax berada di kisaran Rp 9.156 (US$ 0,64) per liter. Dengan kata lain, sebagian besar sesuai dengan harga saat ini.
"Pada Juni tahun lalu, harga pasar Pertamax sempat meroket menjadi Rp 10.760, namun berangsur-angsur menurun seiring dengan penguatan rupiah," bunyi riset Bahana tersebut, dikutip Selasa (08/06/2021).
Selama pandemi, Indonesia maupun Pertamina tetap menjaga harga bahan bakar, baik non-subsidi seperti Pertamax dan Pertalite, maupun BBM bersubsidi dan penugasan seperti Solar dan Premium, meskipun adanya volatilitas dolar dan patokan harga minyak global.
"Kebijakan tersebut telah berhasil menahan inflasi domestik dari lonjakan harga minyak, sehingga berkontribusi pada stabilitas di pasar obligasi domestik, meskipun muncul pertanyaan tentang keberlanjutan keuangan perusahaan minyak milik negara PT Pertamina," ungkap laporan riset tersebut.
