
Harga Minyak Dunia To The Moon, Ini Imbasnya ke RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia sedang mengalami tren kenaikan. Bahkan, kini harga minyak mentah dunia menembus rekor tertinggi sepanjang 2021.
Harga kontrak minyak mentah Brent dan West Texas Intermediate (WTI) masing-masing naik 0,7% pada waktu perdagangan Asia hari ini, Kamis (3/6/2021). Harga kontrak Brent dipatok di US$ 71,86 per barel dan WTI di US$ 69,32 per barel.
Harga minyak kali ini jauh lebih tinggi dibandingkan awal tahun di mana masih berada di posisi sekitar US$ 50 per barel, tepatnya US$ 53,54 per barel untuk Brent dan US$ 50,01 per barel untuk West Texas Intermediate (WTI) pada 5 Januari 2021 lalu.
Lalu, apa dampaknya kenaikan harga minyak dunia pada Indonesia? Apakah ini kabar gembira atau membuat Indonesia harus waspada?
Pengamat migas dan juga mantan Gubernur Indonesia untuk OPEC Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan, untuk melihat dampak dari kenaikan harga minyak ke Indonesia ini harus menggunakan kacamata bahwa Indonesia merupakan negara pengimpor minyak.
Sebagai negara pengimpor minyak, jika harga minyak terlalu tinggi, ini bakal menjadi beban bagi Indonesia, khususnya untuk produk yang masih disubsidi.
"Perlu dilihat Indonesia sebagai net oil importer. Artinya, kalau harga terlalu tinggi, akan menjadi beban, terutama untuk harga yang masih disubsidi, untuk BBM dan LPG," paparnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (03/06/2021).
Sementara itu, imbuhnya, jika harga terlalu rendah juga akan berpengaruh pada produksi minyak dan gas bumi (migas), khususnya dari sisi keekonomian pengembangan proyek-proyek migas.
"Sementara kalau harga terlalu rendah, produksi migas jadi terpengaruh juga, khususnya dari sisi keekonomian pengembangan proyek-proyek migas," lanjutnya.
Di tengah kenaikan harga minyak, OPEC+ pun memutuskan untuk menaikkan pasokan ke pasar secara bertahap. Dalam pertemuan terakhirnya, mereka setuju untuk menambah produksi 350 ribu barel per hari (bph) pada Juni dan 450 ribu bph pada Juli.
Arab Saudi yang sebelumnya juga memangkas produksi minyaknya secara sukarela kini juga mulai meningkatkan kembali produksinya. Sementara itu produksi minyak di AS turun menjadi 11 juta bph dari sebelum pandemi 13 juta bph.
Di jangka pendeknya, menurutnya OPEC+ berhasil menyeimbangkan supply dan demand. Bahkan, akhir-akhir ini inventory juga semakin menipis, sehingga harga menguat.
Lebih lanjut dia mengatakan faktor permintaan juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi. Meskipun beberapa negara mengalami peningkatan kasus Covid-19 seperti India, namun tidak sampai melakukan lockdown.
Menurutnya, jika pertambahan suplai tidak melebihi permintaan, maka harga akan terjaga stabil. Iran menjadi salah satu kunci gejolak harga, beberapa isu di antaranya adalah produksi Iran dibatasi karena masih adanya sanksi, khususnya dengan Amerika.
Kalau sanksi lebih ringan atau bahkan hilang, maka pasokan dari Iran akan bertambah cukup signifikan dan hal ini akan membuat harga menjadi lemah kembali. Pun demikian dengan kondisi sebaliknya.
"Jadi, kuncinya tetap ada di supply dan demand. Untuk demand, akan terkait dengan pemulihan ekonomi sejalan dengan keberhasilan penanganan Covid-19," ungkapnya.
Sementara itu, dari sisi supply, komitmen atau disiplin dari OPEC+, dengan faktor Iran menjadi salah satu yang bisa mempengaruhi. Artinya, harga masih akan berfluktuasi.
Dampak kenaikan harga minyak ini juga sudah terlihat dari sektor hilir di Tanah Air. Sejumlah badan usaha pemegang izin usaha niaga BBM retail seperti Shell dan Vivo sudah menaikkan harga BBM non subsidi, mulai dari jenis bensin dengan nilai oktan (Research Octane Number/ RON) 90, 92, 95, hingga diesel non subsidi sejak April 2021 lalu.
Bahkan, tak tanggung-tanggung, kenaikan harga mencapai sekitar Rp 675 sampai lebih dari Rp 1.000 per liter, dibandingkan harga pada Maret 2021.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) dipatok sebesar US$ 45 per barel, namun rata-rata sampai Mei 2021 telah mencapai US$ 60,95 per barel.
Volume BBM bersubsidi tahun ini ditargetkan sebesar 16,30 juta kilo liter (kl), terdiri dari minyak tanah 0,50 juta kl dan minyak solar 15,80 juta kl. Sampai Mei 2020, realiasi penyerapan BBM bersubsidi telah mencapai 5,61 juta kl, terdiri dari minyak tanah 0,19 juta kl dan minyak solar 5,42 juta kl.
Sementara volume LPG 3 kg ditargetkan 7,50 juta metrik ton (MT). Adapun realisasi sampai Mei 2020 telah mencapai 2,96 juta MT.
Adapun subsidi solar dipatok tetap Rp 500 per liter.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak to the Moon Tembus US$90/Barel, ESDM Ketar-Ketir
