PPN Naik, Korbannya Bakal Banyak Termasuk Daya Saing!

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
11 May 2021 17:45
50 negara dengan peringkat daya saing tertinggi 2018
Foto: Infografis/Daya Saing Tertinggi 2018/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana pemerintah dalam menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menuai kritik, selain memberatkan banyak lapisan  juga akan mengurangi daya saing Indonesia.

Direktur Eksekutif Indef Ahmad Tauhid memandang, wacana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2022 tidak tepat, karena diperkirakan kesejahteraan masyarakat masih stagnan.

Masyarakat justru akan semakin terbebani dengan adanya kenaikan tarif PPN, yang dipastikan membuat semua harga akan naik. Hal ini pada akhirnya akan membuat daya saing Indonesia akan semakin melemah.

Tauhid menjelaskan, dari data yang dihimpun dari Bank Dunia, dilihat dari perkembangan GDP perkapita di Indonesia sejak 2019 sudah stagnan. Bahkan stagnasi GDP per kapita itu kemungkinan akan berlanjut hingga 2022.

"Kita (GDP perkapita) masih berada di sekitar US$ 4.300 sampai US$ 4.400 sampai tahun 2022, tidak ada peningkatan signifikan dari kesejahteraan kita," jelas Tauhid dalam diskusi virtual, Selasa (11/5/2021).

"Buat apa dibebankan dari PPN ini, saya kira ini jadi catatan. Kalau dengan berbagai kondisi, 2022 sangat tidak mungkin dilakukan, karena kesejahteraan masih relatif turun," ujarnya lagi.

Sementara di masa pandemi saat ini, daya beli masyarakat juga belum pulih. Justru sebaliknya, pemerintah masih harus melindungi masyarakat untuk bisa meningkatkan daya beli.

Pun, jika tarif PPN yang saat ini sebesar 10% dinaikkan hingga 15% sesuai dengan UU Ketentuan PPN yang berlaku saat ini, Tauhid memastikan ini akan melemahkan daya saing Indonesia.

Pasalnya, tarif PPN yang berlaku di Indonesia saat ini, jika dibandingkan dengan negara ASEAN, tidak jauh berbeda. Jika dinaikkan ini malah akan membuat investor lari.

Seperti diketahui, tarif PPN Indonesia yang sebesar 10% sama dengan tarif PPN di Kamboja dan Laos. Sementara di Malaysia dan Singapura, tarif PPN-nya justru lebih rendah dari Indonesia yakni masing-masing sebesar 6% di Malaysia dan 7% di Singapura. Hanya Filipina, Myanmar, dan Vietnam yang memiliki tarif PPN mencapai 12%.

"Investor akan mikir ulang, memikirkan biaya produksi. Apakah jangka pendek, menengah, dan panjang investasi mereka bisa kembali dengan tarif yang mereka berlakukan. Ini kan jadi pertimbangan para investors," jelas Tauhid.

Pun jika dilihat menggunakan Teori Laffer Curve, kata Tauhid, kenaikan tarif PPN juga tidak akan memberikan penerimaan negara dengan optimal.

Ketika tarif ditingkatkan, maka biaya produksi meningkat, termasuk ekspor dan impor. Hal ini juga yang akan mempengaruhi kepada kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya dan pengaruhnya terhadap permintaan daya beli.

"Maka volume barang-barang konsumsi akan berkurang dan membuat penerimaan negara turun. Berdasarkan teori laffer curve jika tarif PPN dibebani hingga mencapai 15%, maka belum tentu penerimaan negara bertambah tinggi, malah berkurang," jelas Tauhid.

Laffer Curve atau kurva laffer adalah teori yang menyatakan bahwa menurunkan tarif pajak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Kurva Laffer ini juga merupakan representasi grafis hubungan antara tarif pajak dengan total pendapatan pajak pemerintah.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Belum Putus! Kenaikan Tarif PPN Masih Dibahas Pemerintah

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular