
PPN Naik Jadi Masalah Serius, Bakal Banyak yang Kena Efeknya

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menuai kritik, bukan hanya dari pengusaha, tapi juga kalangan ekonom.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menilai rencana kenaikan tarif PPN oleh pemerintah tanpa konsultasi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan sesuatu hal krusial dan akan ada konsekuensi yang harus ditanggung masyarakat nantinya.
"Barang yang kena pajak PPN cukup luas, kalau ini dinaikkan ini cukup serius," jelas Tauhid dalam diskusi virtual, Selasa (11/5/2021).
Tauhid memandang, adanya beban defisit anggaran yang cukup besar, sementara penerimaan negara masih 'seret', maka pemerintah tidak punya ide lain selain menaikkan tarif PPN ini.
Reformasi fiskal keuangan pada 2022, menurut Tauhid sudah satu jalan, namun pemerintah menyerah dengan penerimaan negara.
Seperti diketahui pada 2022, penerimaan pajak diperkirakan paling tinggi sebesar Rp 1.335,3 triliun, atau naik dari baseline realisasi pada APBN 2021 yang sebesar Rp 1.229,58 triliun.
"Masih ada gap dari target pajak yang tahun 2022 diperkirakan paling tinggi sebesar Rp 1.450 triliun atau gap kurang lebih Rp 114 triliun. Sumbernya dari mana, kalau mengandalkan e-commerce dan cukai plastik kecil. Oleh karenanya mencoba menaikkan tarif PPN," jelas Tauhid.
"Skenario tahun 2022, defisit anggaran tidak bisa diturunkan, dan tidak punya pilihan penerimaan negara harus ditingkatkan," ujarnya lagi.
Menurut Tauhid, setidaknya tahun 2022 masih dibutuhkan pembiayaan anggaran sebesar Rp 914,6 triliun untuk mengejar beragam target-target pembangunan.
Di sisi lain, menurut Tauhid, pemerintah belum bisa menyeimbangkan antara target penerimaan dengan realisasi, baik itu dari PPN dan PPnBM. Di mana PPN dan PPnBM pada 2022-2024 ditargetkan bisa tumbuh masing-masing 9,2% dan 12,1%.
Sementara dalam kondisi normal, pertumbuhan penerimaan pajak PPN dan PPnBM hanya bisa tumbuh rata-rata 6,9%.
"Perlu dipikirkan masalahnya di situ atau masalah lain, target terlalu tinggi dan realisasi yang terlalu jauh. Kenapa kemudian PPN yang dibebankan naik? Ini jadi pertanyaan yang menarik, apakah ini soal tarif atau soal hal lain," jelas Tauhid.
Pada akhirnya kenaikan tarif PPN pada 2022, menurut Tauhid menjadi tidak relevan. Karena sampai hari ini tidak ada pihak yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 selesai, apakah 2021 atau 2022.
"Sebagai teknokrat perlu dipikirkan. Dengan logaritma, tidak ada tanda-tanda kurva mengalami penurunan, dan ini jadi perhatian. beban ke ekonomi besar, dibebani dengan kenaikan PPN akan jadi persoalan serius."
Awal soal rencana kenaikan PPN ini saat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya di acara Musrenbangnas 2021 secara virtual pada Selasa (4/5/2021). Dalam paparannya itu, tertulis bahwa pihaknya berencana untuk menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
"Dari sisi perpajakan atau pendapatan negara yaitu bagaimana menggali potensi dan peningkatan tax rasio perluasan basis pajak terutama dengan adanya era digital ekonomi dan e-commerce. Kita juga akan melaksanakan cukai plastik dan tarif PPN yang akan dibahas di dalam undang-undang ke depan," jelas Sri Mulyani dikutip Rabu (5/5/2021).
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Belum Putus! Kenaikan Tarif PPN Masih Dibahas Pemerintah