
Suhu Ekonomi Mulai Hangat, Suku Bunga Perlu Naik?

Namun stimulus fiskal dan moneter kali ini dari segi ukuran sangatlah besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak pelaku ekonomi yang memperkirakan inflasi bakal naik tinggi. Apalagi jika roda ekonomi sudah berputar mulai normal kembali.
Pelaku pasar yang mengantisipasi kenaikan inflasi meresponsnya dengan meminta yield (imbal hasil) yang tinggi untuk memberikan kompensasi atas devaluasi dolar yang mereka pegang. Alhasil yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun yang menjadi acuan naik dari sebelumnya <1% di akhir tahun kini mencapai 1,6%.
Menteri Keuangan AS yang juga mantan bos The Fed yakni Jenet Yellen juga menyinggung soal inflasi. Menurutnya suku bunga harus naik agar perekonomian tidak mengalami overheating.
"Mungkin suku bunga harus naik untuk memastikan bahwa ekonomi kita tidak overheating," kata Yellen dalam percakapan yang direkam sebelumnya dengan The Atlantic, dikutip CNBC Internasional.
Namun jika melihat laporan kebijakan moneter The Fed yang terbaru, para komite pengambil kebijakan yang tergabung dalam FOMC cenderung tak berniat untuk menaikkan suku bunga acuan setidaknya sampai dua tahun ke depan.
![]() |
Lagipula jalur pengetatan moneternya juga bisa lewat dua cara tergantung mana yang mau ditempuh lebih dulu. Bisa lewat tapering di mana The Fed akan secara perlahan mereduksi ukuran neraca (balance sheet) bisa juga menaikkan suku bunga acuan. Atau malah dua hal tersebut dilakukan secara simultan.
Namun dalam berbagai kesempatan sang bos The Fed Jerome Powell senantiasa menegaskan bahwa tapering adalah kebijakan yang prematur saat ini. The Fed mengakui inflasi akan naik dan dibiarkan tinggi dalam waktu temporer untuk mengkompensasi penurunan inflasi yang terjadi selama pandemi.
The Fed akan terus memberikan guidance dan mengkomunikasikannya secara jelas ke para pelaku ekonomi setiap kebijakannya. Untuk saat ini The Fed fokus pada dual mandate-nya yaitu price stability dan maximum employment.
Dari sisi harga, inflasi sudah mulai tampak. Namun sepertinya The Fed tak terlalu khawatir karena framework kebijakan moneter yang dipakai sekarang sedikit di adjust, yang tadinya inflation targeting di angka 2%, kini berubah jadi inflation averaging. Asalkan rata-ratanya masih 2% tidak apa-apa. Kurang lebih begitu yang dimaksud The Fed.
Bank sentral adidaya tersebut kini terlihat sangat concern dengan kondisi tenaga kerja di AS. Kalau dilihat angka pengangguran dan klaim tunjangan pengangguran sudah turun. Namun belum pulih ke level pra pandemi. Ini yang agaknya susah membuat The Fed langsung pasang mode hawkish begitu saja.
Bagaimanapun juga The Fed adalah kiblat kebijakan moneter global. Apa yang dilakukan The Fed juga akan direspons oleh bank sentral lain. Apabila inflasi naik tinggi sementara angka pengangguran masih tinggi dan pertumbuhan ekonomi tetap rendah atau yang dikenal dengan stagflation, inilah yang berbahaya dan membuat pusing para pengambil kebijakan.
Untuk saat ini The Fed belum mensinyalkan adanya perubahan arah kebijakannya. Sehingga masih ada peluang dolar mengalami devaluasi dan mata uang negara berkembang masih bisa tertopang sehingga fenomena imported inflation walau ada risikonya masih terbilang tidak terlalu besar dan sangat tergantung sektoral serta struktur perekonomian suatu negara itu sendiri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]