Jakarta, CNBC Indonesia - Bulan April Indonesia untung banyak dari 'berdagang'. Selama empat bulan berturut-turut, ekspor naik melebihi impor walaupun pembelian barang dan jasa dari luar negeri juga melonjak tajam bulan lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat RI berhasil meraup cuan sebesar US$ 2,2 miliar atau setara dengan Rp 31,46 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.300/US$. Sejak Januari RI cuan terus dari pos perdagangan internasionalnya. Suatu kondisi yang sangat jarang dijumpai kecuali saat pandemi seperti sekarang ini.
Surplus paling besar terjadi di bulan April. Namun secara keseluruhan Indonesia berhasil membukukan surplus neraca dagang sebesar US$ 7,7 miliar atau setara dengan Rp 110,1 triliun.
Ekspor bulan April tercatat mencapai US$ 18,48 miliar atau naik hampir 52% (yoy) dibanding periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ekspor terjadi baik untuk komoditas barang migas maupun non-migas.
Ekspor migas naik hampir 70% (yoy) dan ekspor non-migas yang mendominasi naik 51% (yoy). Terjadi peningkatan ekspor pertanian sebesar 18,98% (yoy). Untuk produk industri pengolahan ekspornya naik 52,65% (yoy) dan komoditas tambang melesat 47% (yoy).
Peningkatan yang signifikan disumbang oleh komoditas tambang dan logam dasar seperti besi dan baja, logam mulia dan perhiasan, bijih, terak dan abu logam hingga timah dan produk turunannya.
Peningkatan harga berbagai komoditas unggulan ekspor RI dan mulai membaiknya permintaan global ditambah dengan meningkatnya tensi geopolitik Australia-China menjadi pembawa berkah untuk Indonesia.
Dari sisi impor, tercatat Indonesia membeli barang dan jasa dari luar negeri senilai US$ 16,29 miliar atau naik 29% (yoy) dibanding periode yang sama tahun lalu. Impor migas tercatat naik sangat signifikan hingga 136% (yoy) akibat membaiknya aktivitas ekonomi, kenaikan harga minyak dan fenomena low based effect.
Masyarakat yang mulai belanja hingga sektor usaha yang beroperasi kembali dan ada yang ekspansi turut meningkatkan impor. BPS mencatat impor non-migas naik 22% (yoy) di bulan April.
Impor barang konsumsi naik 34,11% (yoy), impor bahan baku dan penolong melesat 33,24% (yoy) dan impor barang modal naik 11,55% (yoy). Peningkatan impor tak jauh berbeda dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia.
Berdasarkan poling terhadap 10 ekonom di berbagai lembaga keuangan, impor diramal naik 30,7% (yoy). Artinya impor naik lebih rendah dari perkiraan. Namun ekspor justru melejit jauh lebih tinggi dari ramalan konsensus di median 43,9% (yoy).
Institusi | Pertumbuhan Ekspor (%yoy) | Pertumbuhan Impor (%yoy) | Neraca Perdagangan (US$ Juta) |
CIMB Niaga | 37.3 | 26 | 900 |
Bank Danamon | 40.7 | 35.7 | 103 |
ING | 38.2 | 19.8 | 303.4 |
Moody's Analytics | - | - | 1100 |
Bank Permata | 43.47 | 29.87 | 1170 |
BCA | 31.5 | 33.6 | 660 |
BNI Sekuritas | 48.97 | 31.11 | 1684.1 |
Bank Mandiri | 44.38 | 30.29 | 1228.87 |
Maybank Indonesia | 44.93 | 29.81 | 1355 |
Mirae Asset | 56.5 | 40 | 1490 |
Danareksa Research Institute | 51.42 | 37.3 | 1206 |
MEDIAN | 43.925 | 30.7 | 1170 |
Untuk ekspor ini menjadi kenaikan yang tertinggi selama Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat. Sementara untuk impor walaupun naik signifikan masih kalah dengan peningkatan impor di tahun 2017 silam tepatnya di bulan Juli.
Rasanya jika melihat kinerja ekspor yang ciamik wajar saja jika banyak pihak optimis bahwa perekonomian Indonesia akan segera keluar dari resesi di kuartal kedua tahun ini. Peningkatan harga komoditas membantu menjadi akselerator pemulihan ekonomi RI.
Tren harga komoditas yang terus melesat di sepanjang tahun membuat banyak pihak meyakini fenomena boom komoditas bakal terjadi lagi. Salah satu yang meyakini adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Pemulihan beberapa negara besar dalam perekonomian seperti RRT dan Amerika Serikat, serta Eropa akan membuat harga komoditas alami peningkatan sangat kuat. Ini mirip seperti tahun 2009 yang akan memunculkan boom komoditas yang mungkin harus diantisipasi, positif ataupun negatif," jelas Sri Mulyani dalam acara Musrenbangnas secara virtual, Selasa (4/5/2021).
Biasanya saat krisis terjadi demand terhadap komoditas turun. Walhasil harganya pun ikut melemah. Namun saat krisis pemerintah dan bank sentral biasanya mengeluarkan amunisi untuk membalikkan keadaan.
Pemerintah tebar stimulus fiskal sementara bank sentral longgarkan kebijakan moneter yang tak jarang juga makroprudensial. Permintaan pun merangkak naik. Namun biasanya butuh waktu untuk membuat produksi berbagai komoditas bisa memenuhi kenaikan permintaan karena biasanya saat harga turun produsen memangkas output.
Lagipula kebijakan fiskal biasanya diarahkan ke sektor yang memiliki multiplier effect yang besar seperti pembangunan infrastruktur yang selain menyerap banyak tenaga kerja tetapi juga meningkatkan kebutuhan akan suplai komoditas.
Inilah yang terjadi di tahun 2020 paruh kedua hingga saat ini. Berbagai harga komoditas mulai dari migas, tambang, hingga pertanian ikut terkerek naik. Sebagai salah satu negara eksportir komoditas terbesar di dunia kenaikan harga komoditas menjadi salah satu pendorong perekonomian dalam negeri.
Faktor cyclical komoditas juga turut menentukan kinerja perekonomian dalam negeri. Harga-harga komoditas unggulan ekspor dalam negeri yang beterbangan meningkatkan optimisme ekonomi akan semakin bergeliat.
Bagaimanapun juga peningkatan harga komoditas bakal menyebabkan kenaikan nilai ekspor yang pada akhirnya ikut mendongkrak output. Harga komoditas yang meningkat juga membuat pendapatan pajak naik.
Konsumsi dan investasi juga ikut terkena manfaatnya. Saat harga komoditas menguat, daya beli masyarakat setidaknya bisa terdongkrak dan mereka menjadi willing untuk berbelanja dan memutar roda perekonomian.
Namun ingat walaupun sekarang Indonesia menikmati keuntungan dari kenaikan harga komoditas tapi jangan sampai terlena untuk membelanjakannya pada hal-hal yang tidak produktif.
Jangan lupa juga untuk terus melakukan hilirisasi agar perekonomian semakin berkembang dengan adanya nilai tambah dan tak terlalu rentang dengan shock harga komoditas. Ini yang wajib untuk diprioritaskan. Reformasi struktural.
Untuk jangka pendek ekonomi RI bakal ngegas. Setidaknya pada kuartal kedua tahun ini PDB diramal tumbuh di zona positif. Bahkan bisa lebih dari 6% (yoy). Untuk kurun waktu satu tahun penuh 2021, Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi RI bisa tumbuh di kisaran 4,1% - 5,1%.
Untuk jangka panjang, Indonesia tetap membutuhkan hilirisasi agar lebih maju dan bisa meningkatkan taraf perekonomian Indonesia menjadi negara maju seperti yang digadang-gadang oleh laporan institusi riset dan think tank global.