
Sri Mulyani, Inflasi, dan Kerumunan Tanah Abang

Di tengah pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang belum juga usai, upaya mendorong konsumsi rumah tangga menemui tantangan yang tidak gampang. Contoh paling gampang adalah kerumuman yang terjadi di Pasar Tanah Abang akhir pekan lalu.
Ramainya pasar tekstil dan garmen terbesar di Asia Tenggara itu adalah cerminan dari masyarakat yang punya daya beli. Meski katanya sedang masa prihatin, tetapi ternyata warga +62 masih punya uang untuk dibelanjakan. Apalagi yang dibeli bukan barang konsumsi yang habis sekali pakai seperti sembako, melainkan barang setengah tahan lama yaitu sandang.
Namun kerumunan tersebut menimbulkan kontroversi. Peningkatan kontak dan interaksi antar-manusia, apalagi di tempat tertutup, adalah 'mangsa empuk' buat virus corona.
Indonesia memang masih perlu waspada terhadap virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu. Kementerian Kesehatan melaporkan, jumlah pasien positif corona di Indonesia per 2 Mei 2021 adalah 1.667.274 orang. Bertambah 4.394 orang dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (19 April-2 Mei 2021), rata-rata tambahan pasien baru adalah 5.209 orang per hari. Naik dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 5.007 orang setiap harinya.
Perkembangan ini membuat pemerintah kembali memperpanjang kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro hingga 17 Mei. Malah kebijakan ini diperluas dengan menambah enam provinsi lagi yaitu Kepulauan Riau, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.
Dengan PPKM, aktivitas dan mobilitas masih dibatasi. Misalnya, pertokoan wajib tutup pukul 21:00. Pengunjung restoran dan pusat perbelanjaan juga dibatasi maksimal 50%.
Atas nama PPKM, pelanggaran bisa berhadapan dengan konsekuensi hukum yang diatur dalam UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 9 UU tersebut menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang wajib memenuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
(2) Setiap orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Bagi pelanggar pasal 9, ancaman hukumannya lumayan berat yang tercantum dalam pasal 93 yang berbunyi sebagai berikut:
"Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)."
Kalau hukum ditegakkan secara murni dan konsekuen, maka bukan tidak mungkin pihak-pihak yang menyebabkan kerumunan Tanah Abang bisa dikenai sanki pidana. Padahal keramaian itu adalah bukti bersemainya ekonomi, sesuatu yang sangat dinanti selama lebih dari setahun terakhir.
"Buat pedagang, keadaan seperti ini yang ditunggu-tunggu selama setahun lebih kita kena pandemi. Bahkan tahun lalu kita sempat ditutup tiga bulan," aku Yasril Umar, Ketua Koperasi Pedagang Pasar Tanah Abang.
Riset dari Mandiri Institute menunjukkan, di April tingkat belanja masyarakat alami peningkatan, baik di supermarket, restoran maupun fesyen. Kalangan atas juga memberi peran besar, karena nominal belanjanya relatif sudah seperti sebelum pandemi. Kenaikan belanja terjadi di hampir semua kota di Indonesia.
Namun masalahnya adalah setiap ada peningkatan ekonomi, maka penyebaran kasus juga ikut melonjak. Pemerintah boleh melarang mudik, namun tidak mampu mengantisipasi masyarakat yang datang ke Pasar Tanah Abang dan pusat perbelanjaan lainnya.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan buka suara kerumunan besar pengunjung di Pusat Grosir Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat Sabtu (1/5). Ia mengakui tak menduga bisa terjadi lonjakan pengunjung yang tak biasa dibanding hari-hari sebelumnya.
"Pak Dirut Pasar Jaya melaporkan kemarin bahwa terjadi lonjakan yang luar biasa hari Sabtu kemarin. Hari Jumat dan hari-hari biasa itu paling sekitar 35 ribu, kemarin itu 87 ribu orang yang datang. Jadi memang hari kemarin terjadi lonjakan yang tidak terduga," kata Anies Baswedan
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Dr. Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan kerumunan seperti itu dapat memicu kasus besar seperti yang terjadi di India saat ini.
"Indonesia punya potensi (sama seperti India). Kalau Pemerintah Indonesia, baik pusat dan daerah, begini terus, tidak meningkatkan tes, kontak tracing, dan tidak memberlakukan vaksinasi kepada seluruh masyarakat, ya ini tinggal masalah waktu. Suatu saat 'bom'-nya bakal meledak. Tapi ya saya tidak berharap tidak separah India, tapi Indonesia punya potensi yang sama," katanya.
Dalam situasi saat ini memang serba salah. Kalau kerumunan dibiarkan, ekonomi memang bergeliat tetapi sangat berisiko kasus corona bakal meledak. Namun kalau dibatasi, kasus corona akan lebih terkendali meski ekonomi 'mati suri'.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)