3 Bulan Myanmar Mencekam, Ledakan Mulai Muncul di Unjuk Rasa

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi unjuk rasa di Myanmar semakin mencekam disertai dengan ledakan kecil pada Sabtu (1/5/2021). Hari ini tepat tiga bulan dilakukannya aksi protes terhadap kudeta pemerintah yang dilakukan oleh junta militer terhadap transisi demokrasi di negara tersebut.
Para pengunjuk rasa di jalanan ini terus meneriakkan tuntutannya untuk kembali diberlakukan demokrasi di negara tersebut.
"Tujuan kami, demokrasi, tujuan kami, serikat federal. Pemimpin yang ditangkap bebas," teriak massa di salah satu dari dua aksi unjuk rasa di kota utama Yangon, dikutip dari Reuters, Sabtu (1/5/2021).
Menurut laporan, unjuk rasa juga terjadi di kota Mandalay dan kota Dawei. Hingga saat ini tidak ada laporan kekerasan yang dilaporkan.
Sementara itu, beberapa media melaporkan telah terjadi ledakan kecil di tempat berbeda termasuk Yangon pada Jumat malam dan Sabtu malam. Meski hingga saat ini masih belum ada laporan langsung tentang korban dan tidak ada klaim siapa yang tanggung jawab atas ledakan tersebut.
Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan untuk meminta komentar. Militer menuduh aktivis pro-demokrasi menanam bom.
Utusan khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan kepada Dewan Keamanan pada hari Jumat (30/4/2021) bahwa dengan tidak adanya tanggapan kolektif internasional terhadap kudeta tersebut, kekerasan semakin memburuk dan jalannya negara berisiko terhenti.
Dia juga telah memberikan pengarahan kepada 15 anggota dewan dari Thailand. Dia berharap dapat melakukan perjalanan ke Myanmar tetapi militer belum menyetujui kunjungan tersebut.
"Administrasi umum negara dapat terhenti karena gerakan pro-demokrasi terus berlanjut meskipun penggunaan kekuatan mematikan, penangkapan sewenang-wenang, dan penyiksaan sebagai bagian dari represi militer," kata Schraner Burgener, menurut para diplomat.
Dia mengatakan kepada para diplomat bahwa laporan tentang tindakan keras yang berkelanjutan berisiko merusak momentum untuk mengakhiri krisis menyusul pertemuan 10 anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada 25 April dengan pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Schraner Burgener, mengungkapkan keprihatinan tentang meningkatnya kekerasan, mengutip laporan serangan bom dan warga sipil, kebanyakan siswa dari daerah perkotaan, mendapatkan pelatihan senjata dari pemberontak etnis minoritas.
Pelapor khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, mengatakan Min Aung Hlaing telah menggunakan KTT itu sebagai 'taktik propaganda'.
Memang, dia mencoba tampil menjadi apa yang bukan dirinya - seorang pemimpin yang sah," kata Andrews dalam sebuah posting di Twitter.
"Kabar baiknya: Mereka yang sah siap untuk terlibat: the National Unity Government."
Hingga saat ini sebanyak 759 pengunjuk rasa telah tewas, menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Sementara itu, Aung San Suu Kyi elah ditahan sejak kudeta bersama dengan banyak anggota partainya. AAPP mengatakan lebih dari 3.400 orang telah ditahan karena menentang militer.Dewan Keamanan PBB menegaskan kembali keprihatinan yang mendalam atas situasi tersebut dan dukungannya untuk transisi demokrasi Myanmar.
Dewan telah mengeluarkan beberapa pernyataan sejak kudeta tetapi para diplomat mengatakan Rusia dan China kemungkinan akan mencegah tindakan dewan yang lebih kuat terhadap Myanmar.
[Gambas:Video CNBC]
Warga Myanmar Balas Junta Militer dengan Senjata Rakitan
(hps/hps)