Sri Mulyani Mau Kencangkan Ikat Pinggang, Bisakah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 April 2021 14:29
mata Rupiah
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun depan, pemerintah memberi sinyal mulai mengetatkan kebijakan fiskal. Ini terlihat dari proyeksi defisit anggaran yang lebih rendah.

Pada 2022, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan berada di kisaran 4,51-4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih rendah ketimbang rencana tahun ini yaitu 5,7% PDB.

Dalam Undang-undang No 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease-2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undan-Undang, ditetapkan bahwa defisit anggaran diperkenankan melampaui 3% PDB sampai 2022. Pada Tahun Anggaran 2023, batasan defisit akan kembali ke pengaturan sesuai UU Keuangan Negara yaitu maksimal 3% PDB.

Oleh karena itu, pemerintah tidak punya banyak waktu. Konsolidasi fiskal harus segera dilakukan jika tidak ingin menabrak UU.

Untuk itu, pemerintah akan melakukan efisiensi belanja. Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, menyebut belanja yang bukan prioritas akan menjadi target efisiensi.

"Efisiensi belanja kita lakukan bersama untuk belanja yang non-prioritas baik di pusat dan daerah dengan penajaman untuk belanja barang, modal. Untuk transformasi ekonomi, bukan untuk pembangunan gedung-gedung dan kendaraan dinas tetapi lebih untuk infrastruktur dan penajaman belanja yang diarahkan untuk membantu masyarakat," tegas Sri Mulyani.

Halaman Selanjutnya --> Setoran Pajak Kudu Digenjot

Namun, konsolidasi fiskal sepertinya tidak cukup hanya di sisi belanja. Pemerintah perlu juga menggenjot penerimaan agar bisa mengurangi defisit dengan lebih signifikan.

Penerimaan negara didominasi oleh pajak. Jadi kalau mau mengurangi defisit, maka setoran pajak harus digenjot.

Hingga saat ini, penerimaan pajak masih belum pulih betul dari dampak pandemi. Pada Januari-Maret 2021, penerimaan pajak (bukan perpajakan) tercatat Rp 228,13 triliun, turun 5,58% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Pos penyumbang terbesar di penerimaan pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Ketika pos ini berhasil memberi kontribusi tinggi, maka penerimaan pajak secara keseluruhan bakal terdongkrak.

Realisasi penerimaan PPN Dalam Negeri per Maret 2021 adalah Rp 53,75 triliun. Naik 4,11% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

PPN dibayarkan untuk setiap transaksi. Jadi kalau setoran PPN naik, artinya ada sinyal daya beli masyarakat mulai membaik sehingga bisa menambah konsumsi barang dan jasa.

Perbaikan penerimaan PPN dikonfirmasi oleh data penjualan ritel yang dirilis Bank Indonesia (BI). Pada Februari 2021, penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) berada di 177,1. Masih turun 2,7% dibandingkan bulan sebelumnya, tetapi membaik ketimbang Januari 2021 yang -4,3%.

Namun pada Maret 2021, BI memperkirakan IPR membaik menjadi 182,3. Naik 2,9% dibandingkan Februari 2021.

"Prakiraan peningkatan penjualan eceran diprakirakan sejalan dengan meningkatnya permintaan masyarakat di tengah cuaca yang mendukung. Hal ini didukung informasi BMKG bahwa rata-rata curah hujan dalam kisaran menengah (50-150 mm) dan telah melewati puncak musim hujan. Hampir seluruh kelompok diprakirakan mengalami pertumbuhan positif terutama pada kelompok Barang Lainnya, termasuk sub kelompok Sandang, serta Kelompok Barang Budaya dan Rekreasi," sebut laporan BI.

So, PPN punya masa depan yang cerah. Seiring vaksinasi anti-virus corona yang semakin masif, kian banyak masyarakat yang lebih berani beraktivitas di luar rumah. Konsumsi akan meningkat dan setoran PPN bisa tumbuh lebih tinggi.

Halaman Selanjutnya --> Semua Tergantung Pandemi

Namun yang jadi masalah adalah PPh Badan. Hingga Maret 2021, setoran PPh Badan adalah Rp 20,57 triliun, turun 40,48% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumya.

"Banyak korporasi di Indonesia belum sepenuhnya sehat, sehingga pembayaran pajak menurun. Kontraksi dalam di atas 40%. Korporasi belum sepenuhnya sehat," kata Sri Mulyani dalam jumpa pers APBN Kita edisi April 2021, Kamis (22/4/2021).

Meski begitu, bukan berarti PPh Badan madesu (masa depan suram). Ada harapan perusahaan nasional akan bangkit seiring pemulihan ekonomi Tanah Air.

Ini terlihat dari data aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) yang pada Maret 2021 tercatat 53,2. Naik cukup tajam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,9 sekaligus menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah pencatatan PMI oleh IHS Markit yaitu sejak April 2011.

"Perbaikan yang menembus rekor ini didorong oleh pertumbuhan pesanan baru (new orders) dan produksi (output), keduanya mencapai angka tertinggi sejak survei dilakukan Produksi meningkat lima bulan beruntun karena dorongan permintaan baru," sebut keterangan tertulis IHS Markit.

Dengan tingginya permintaan dan produksi, perusahaan meningkatkan pemesanan bahan baku. Para responden optimistis bahwa peningkatan produksi akan bertahan lama (sustainable) setidaknya sampai tahun depan.

Ada kabar baik lagi. Peningkatan produksi membuat kapasitas mulai kembali normal sehingga dunia usaha menghentikan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau merumahkan karyawan. Ini menjadi yang pertama dalam 12 bulan terakhir. Ketika lapangan kerja semakin banyak, setoran PPh Pasal 21 pun bakal terangkat.

"Sektor manufaktur Indonesia mengakhiri kuartal I-2021 dengan rekor tertinggi, di mana perusahaan menggenjot produksi sebagai respons atas peningkatan permintaan. Hasil positif ini memberi harapan bahwa sektor manufaktur akan menjalani tren kenaikan. Dengan kapasitas produksi yang terus bertambah, pasar tenaga kerja mulai stabil dan jika beban kerja terus bertambah maka kita akan melihat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja," papar Andrew Harker, Economics Director di IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Melihat perkembangan itu, maka pemerintah punya ruang untuk menggenjot penerimaan pajak untuk menekan defisit anggaran. Ditambah dengan efsiensi belanja, maka konsolidasi fiskal menjadi optimal.

Namun, ini semua masih serba tidak pasti. Semua akan tergantung dari perkembangan pandemi virus corona.

Apabila pandemi terus terkendali seperti sekarang (bahkan kalau bisa lebih baik lagi), maka ruang untuk konsolidasi fiskal lebih terbuka. Sebab pemerintah tidak perlu menggelontorkan dana besar-besaran untuk penanganan pandemi, baik di bidang kesehatan maupun sosial-ekonomi.

Akan tetapi, kalau virus corona kembali 'menggila' apalagi sampai seperti di India (amit-amit), maka konsolidasi fiskal menjadi sulit dilakukan. Pemerintah masih harus jor-joran keluar duit untuk penanggulangan pandemi dan stimulus fiskal untuk menopang perekonomian.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Sri Mulyani Mau Kurangi Utang Tahun Depan, Ini Jurusnya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular