Jakarta, CNBC Indonesia - Covid-19 membuat pusing tujuh keliling para pejabat dan pengambil kebijakan di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di alam semesta ini yang pernah menghadapi wabah tersebut.
Sampai pada akhirnya diskusi ekonomi dunia mengerucut pada sebuah pembahasan yang disebut dengan Modern Money Theory atau Teori Moneter Modern.
Teori ini muncul ketika para pemangku kebijakan berupaya memutar otak bagaimana menghadapi pandemi Covid-19 yang 'kondisinya' memang belum pernah dirasakan hampir semua negara di berbagai belahan dunia.
Professor of Economics di Bard College yang juga Senior Scholar di Levy Economics Institute, Randall Wray menuliskan sebuah artikel menarik. Menurutnya, banyak ekonom yang bicara jika The Fed atau Bank Sentral AS yang disebut telah memulai Modern Money Theory dengan Quantitative Easing (QE).
Quantitative Easing adalah pelonggaran likuiditas melalui kebijakan moneter yang tidak konvensional di mana bank sentral membeli surat berharga jangka panjang dari pasar terbuka untuk meningkatkan jumlah uang beredar dan mendorong pinjaman dan investasi.
Adapula banyak komentar yang menyebutkan Bank Sentral yang jadi acuan dunia tersebut, dianggap menyebar uang banyak untuk memompa perekonomian bak helikopter yang tengah terbang di udara dan menyebar uang ke daratan.
Kenapa helikopter? Biasanya, dalam situasi darurat, di mana para korban menunggu untuk dievakuasi atau mendapatkan bantuan, datanglah helikopter penyelamat, yang membawa pertolongan dan harapan. Inilah yang disebut ekonom-ekonom bentuk 'Helicopter Money'.
Istilah 'helikopter uang' diperkenalkan oleh ekonom Milton Friedman pada tahun 1969 untuk menyebut pelonggaran moneter yang tak biasa. Kebijakan ini diambil dalam situasi tak wajar, yakni ketika terjadi kekeringan likuiditas sementara perekonomian stagnan karena hal tak terduga.
Otoritas moneter bertindak seperti helikopter membawa dana segar untuk memborong surat berharga milik pemerintah maupun swasta. Tak hanya di pasar sekunder (lewat transaksi pasar), melainkan juga di pasar primer (membeli langsung dari pihak penerbit).
Randall tak setuju dengan semua konsep tersebut. Entah disebutnya Modern Money Theory maupun Quantitative Easing (QE), itu tidak ada. "Inti dari ini adalah bagaimana bank sentral bisa menggelontorkan uang, menghabiskan dan menjual obligasinya seperti hal biasa. Semua ini kebijakan biasa," tegasnya.
Apapun itu semua berhak dan berbicara apakah Helikopter Uang maupun Quantitative Easing setidaknya langkah konkret pemerintah dan bank sentral saat ini harus dilakukan untuk fokus pada pemulihan ekonomi.
Terkait hal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja para kepala daerah terutama dalam penggunaan anggaran untuk bantuan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
Halaman Selanjutnya, >>>>>> Helikopter Uang Jokowi Mandek di Kepala Daerah?
Menyikapi kondisi ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menambah kewenangan Bank Indonesia (BI), Peran bank sentral di sini, nantinya akan seperti helikopter yang menggelontorkan uang ke Kementerian Keuangan yang nantinya akan disalurkan kepada sektor ril.
BI telah mendapatkan izin dari Jokowi untuk melakukan hal itu, seiring dengan dilegalkannya kewenanan BI dalam membeli langsung Surat Berharga Negara (SBN) dari pemerintah.
Tak hanya itu, Jokowi juga mengaloasikan anggaran sekitar Rp 695,2 triliun anggaran untuk Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Anggaran tersebut terdiri dari anggaran kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, pembiayaan korporasi, hingga bantuan kepada UMKM serta pemerintah daerah.
PEN merupakan rangkaian kegiatan untuk mengurangi dampak Covid-19 terhadap perekonomian. Program ini bertujuan untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya selama pandemi Covid-19.
Apalagi, anggaran PEN hanpir seluruhnya berasal dari kas keuangan negara yang mayoritas pendapatannya berasal dari penerimaan pajak. Jika dalam kondisi sekarang pajak tak bisa diharapkan, pemerintah pun mau tak mau harus menerbitkan surat utang untuk membiayai perekonomian.
Lantas, apa jadinya jika ratusan triliunan dana yang sudah disiapkan ternyata tidak disalurkan untuk kembali menggairahkan aktivitas perekonomian?
Saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah se-Indonesia, Presiden Joko Widod (Jokowi) tak kuasa meluapkan kekecewannya terhadap sikap para kepala daerah dalam penggunaan anggaran di tengah pandemi Covid-19.
Kepala negara menyoroti realisasi belanja pemerintah daerah masih seret. Memang sudah ada kenaikan, namun berada di pos belanja pegawai yang sebenarnya tidak terlalu memberikan pengaruh signifikkan terhadap perekonomian.
"Kemaren angka yang saya lihat yang tinggi itu baru belanja pegawai. Tapi itu juga baru di angka 63%. Belanja modal akhir Maret kemarin baru 5,3%. Baru 5%. Padahal yang namanya perputaran uang di sebuah daerah itu sangat menentukan pertumbuhan ekonomi," kata Jokowi.
Data yang diperoleh Jokowi, pada akhir Maret terdapat dana pemerintah daerah yang masih mengendap di bank sebesar Rp 182 triliun. Artinya, ratusan triliun dana yang ditransfer pemerintah pusat tidak dibelanjakan untuk percepatan pemulihan ekonomi.
"Tidak semakin turun, semakin naik. Naik 11,2%. Artinya tidak segera dibelanjakan. Gimana pertumbuhan ekonomi daerah mau naik kalau uangnya disimpan di bank? Hati-hati," tegasnya.
Dana tersebut seharusnya bisa dipergunakan pemerintah daerah untuk menyalurkan berbagai bantuan sosial kepada masyarakat. Sehingga, dana tersebut bisa kembali berputar dan mengembalikan aktivitas ekonomi di daerah seperti sedia kala.
"Kalau ada belanja, artinya ada permintaan. Kalau ada permintaan, ada pertumbuhan ekonomi di daerah itu. Jadi segera cairkan," jelasnya.
Jokowi lantas mengajak seluruh pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota untuk segera membelanjakan anggarannya. Bukan semata-mata mengejar pemulihan ekonomi, namun untuk membantu masyarakat yang terdampak Covid-19
"Ini disegerakan sehingga terjadi peredaran uang di daerah. Hati-hati Rp 182 triliun. Ini uang yang sangat guede sekali. Ini kalau segera dibelanjakan, uang akan berputar di masyarakat akan pengaruhi pertumbuhan ekonomi yang tidak kecil," jelasnya.