
Ini 5 Jurus Agung RI Tak Lagi Impor LPG di 2030, Realistis?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebutuhan LPG di dalam negeri terus meningkat. Dalam sepuluh tahun terakhir saja, sejak 2009-2019, konsumsi LPG nasional tumbuh rata-rata 10,5% per tahun dari 2,86 juta ton pada 2009 menjadi 7,76 juta ton pada 2019.
Seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi, maka kebutuhan LPG pun ke depannya diperkirakan akan semakin melonjak. Dengan kondisi pasokan LPG di dalam negeri diperkirakan akan stagnan dan bahkan malah menurun pada tahun-tahun mendatang, maka mau tak mau kebutuhan impor akan semakin membengkak bila tak ada sumber alternatif pengganti lainnya.
Berdasarkan data Dewan Energi Nasional, kebutuhan LPG Indonesia pada 2030 akan melonjak menjadi sekitar 9,7 juta ton, naik dari 2020 sekitar 8 juta ton dan 2025 sekitar 8,8 juta ton.
Sementara di sisi lain, pemerintah pun menargetkan tidak lagi impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) pada 2030 mendatang.
Lalu, bagaimana caranya agar RI bisa terbebas dari ketergantungan impor LPG? Mau tidak mau, suka tidak suka, harus dicari sumber energi alternatif lainnya yang bisa menggantikan LPG.
Berdasarkan Grand Strategi Energi yang dirancang Dewan Energi Nasional, dari impor LPG sekitar 6,1 juta ton pada 2020 akan ditekan menjadi 1 juta ton saja pada 2025 dan akhirnya tidak ada lagi impor pada 2030 mendatang.
Dalam Grand Strategi Energi ini, setidaknya ada lima upaya yang harus dilakukan untuk menghentikan impor LPG pada 2030, antara lain:
1. Menambah jaringan gas kota (jargas) sebanyak 10 juta sambungan rumah tangga
Pada 2030 ditargetkan 10 juta sambungan rumah tangga sudah tersambung jaringan pipa gas atau dikenal jargas. Pada 2030 ini konsumsi jargas diperkirakan mencapai setara 1,1 juta ton setara LPG. Jumlah ini meningkat dibandingkan konsumsi pada 2020 yang hanya sekitar 0,1 juta ton setara LPG dan pada 2025 diperkirakan naik menjadi 0,5 juta ton setara LPG.
Adapun pasokan LPG dari kilang yang ada di dalam negeri saat ini diperkirakan malah akan semakin menurun. Dari sekitar 1,8 juta ton pada 2020, diperkirakan pasokan LPG dari kilang dalam negeri akan menurun menjadi 1,4 juta ton pada 2025 dan 1,2 juta ton pada 2030.
Adanya jargas ini bisa menambal penurunan pasokan LPG dalam negeri dan berkontribusi pada pengurangan impor LPG ke depannya.
2. Mendorong pemanfaatan kompor listrik
Kompor listrik didorong untuk pelanggan rumah tangga. Penggunaan kompor listrik juga dijadikan alternatif pengganti LPG, sehingga bisa menekan impor LPG ke depannya.
Penggunaan kompor listrik pada 2030 mendatang ditargetkan menembus 2,1 juta ton setara LPG, naik dari 2025 sekitar 1 juta ton setara LPG.
Pemanfaatan kompor listrik ini disebutkan merupakan sumber energi yang kompetitif dan adanya keberlanjutan suplai listrik. Apalagi, sumber listrik juga berasal dari energi di dalam negeri.
3. Memproduksi rich gas sebesar 500 ribu ton per tahun mulai 2022.
Pada 2025 dan 2030, konsumsi rich gas juga diperkirakan masih sekitar 500 ribu ton setara LPG per tahun.
4. Meningkatkan produksi LPG dari pengembangan kilang minyak
Karena pasokan LPG dari kilang yang ada di dalam negeri saat ini diperkirakan akan terus menurun ke depannya, maka adanya pembangunan kilang bahan bakar minyak (BBM) baru, setidaknya satu kilang baru dan empat kilang pengembangan, maka ini juga akan menambah pasokan LPG di dalam negeri ke depannya.
Bila proyek kilang BBM baru tuntas, maka pada 2025 ada tambahan pasokan LPG sebesar 800 ribu ton dan pada 2030 diperkirakan akan naik lagi menjadi 1,8 juta ton. Dengan demikian, ini bisa mengantisipasi penurunan produksi LPG dari kilang yang ada saat ini, sehingga juga bisa berkontribusi pada penurunan impor.
5. Mengembangkan Dimethyl Ether (DME) dan metanol
Pengembangan DME dan metanol ini dilakukan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) BUMN maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) perpanjangan.
DME dan metanol merupakan proyek hilirisasi batu bara, tepatnya gasifikasi batu bara di mana batu bara kadar rendah diolah menjadi produk tersebut. Produk DME dan metanol bisa menjadi alternatif energi pengganti LPG.
Dalam Grand Strategi Energi ini, DME dan metanol ditargetkan bisa berkontribusi sebesar 3 juta ton setara LPG pada 2030, turun dari target 2025 yang sebesar 3,5 juta ton setara LPG.
PKP2B dan BUMN yang berencana mengembangkan DME dan metanol antara lain PT Bukit Asam Tbk, PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, di mana masing-masing perusahaan akan memproduksi DME 1,4 juta ton per tahun, 1,2 juta ton, dan 2 juta ton.
PTBA diperkirakan mulai memproduksi DME pada 2024, sementara KPC dan Arutmin pada 2025.
Dengan demikian, DME dan metanol yang diproduksi bisa mencapai sekitar 4,6 juta ton setara LPG.
Melalui beberapa upaya ini, maka diperkirakan akan terjadi penghematan devisa selama 2021-2040 sebesar US$ 4 miliar per tahun atau sekitar Rp 56 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$) per tahun.
Berdasarkan data PT Pertamina (Persero), impor LPG pada 2020 mencapai 6,2 juta metrik ton (MT). Pada 2021 ini impor LPG bahkan diperkirakan semakin meningkat menjadi 7,2 juta MT.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif optimis impor LPG bisa ditiadakan pada 2030 mendatang. Arifin menyampaikan hal tersebut usai mengikuti sidang kabinet paripurna bersama DEN di Istana Negara, Selasa (20/04/2021).
"Dalam strategi energi nasional ini, kita rencanakan 2030 itu kita tidak lagi impor BBM dan diupayakan juga tidak impor LPG," kata Arifin, Selasa (20/4/2021).
Arifin mengakui bahwa dalam sidang paripurna, DEN telah menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait proyeksi peningkatan permintaan energi untuk jangka panjang. Sementara itu, sumber daya di dalam negeri pun tak mencukupi.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Targetkan 2030 Bebas Impor LPG, Begini Caranya
