Data Amburadul, Subsidi Energi Bocor dan Bengkak!

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
13 April 2021 12:08
gas LPG
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan bahwa kelemahan pemerintah dalam penyaluran subsidi energi saat ini adalah masalah data. Padahal, data menjadi kunci dari ketepatan penyaluran subsidi. 

Oleh karena itu, menurutnya perlu ada validasi data disesuaikan dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

"Kelemahan pemerintah adalah data, maka validasi data adalah kata kunci, semua mengacu pada DTKS," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia kemarin, Senin (12/04/2021).

Dia pun sempat menuturkan belum sinkronnya data juga berdampak pada membengkaknya anggaran negara. Dia mencontohkan, adanya klausul "kompensasi" kepada PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) untuk komoditas yang tidak masuk ke dalam anggaran subsidi ini berdampak pada beban anggaran negara. Di sisi lain, banyak masyarakat golongan menengah ke atas menikmatinya.

Untuk itu, pihaknya juga meminta agar "kompensasi" ini juga dihilangkan.

"Kompensasi terjadi karena selisih harga patokan pemerintah terhadap PLN Rp 1.352 per kilo Watt hour (kWh). Padahal, Biaya Pokok Penyediaan (BPP) PLN Rp 1.530 atau harga BPP ini adalah harga keekonomian PLN," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (09/04/2021).

Selisih inilah, kata Said, menjadi kompensasi yang tahun ini menghabiskan anggaran Rp 27 triliun. Menurutnya, anggaran nyatanya juga banyak dinikmati oleh pelanggan 1.300 kWh sampai 300.000 kWh, serta industri, terutama terkait tarif penyesuaian (tariff adjustment) bagi golongan pelanggan non subsidi yang seharusnya berfluktuasi.

Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) mengamini yang disampaikan oleh Said. Bicara subsidi tepat sasaran, menurutnya kekuatannya memang ada pada data.

"Jangan sampai sudah targeted, salah lagi berikan subsidi kepada orang yang nggak berhak, maka dulu ada Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di bawah Wakil Presiden," paparnya.

Untuk saat ini, melalui kerja sama dengan berbagai pihak, maka diharapkan akan mendapatkan data yang akurat. Jika sudah ada data tunggal, maka diharapkan tidak akan terjadi lagi konflik sosial.

"Sekarang diharapkan nanti gabungan, biasanya BPS juga berperan dalam hal ini untuk dapatkan data yang akurat dan Kemensos juga terlibat," ujarnya.

Belajar dari pengalaman sebelum dalam penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) terjadi sebuah hambatan, di mana seorang Kepala Desa melihat ada pemberian BLT kepada masyarakat yang tidak tepat sasaran.

Akhirnya, anggaran yang diterima malah dibagi rata. Dampaknya, yang mestinya tidak berhak menerima pun turut menerima BLT tersebut.

"Misalnya, jatah Rp 100.000 per keluarga jadi Rp 30.000. Ini tentu perlu jadi perhatian, dan nanti DEN akan kerja sama dengan beberapa kementerian untuk sinkronisasi," tegasnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengungkapkan subsidi energi masih belum tepat sasaran. Buktinya, untuk subsidi LPG tabung 3 kg misalnya, 36% dari total subsidi dinikmati masyarakat termiskin. Sementara 40% masyarakat terkaya malah menikmati subsidi lebih besar yakni 39,5%.

"Itu nggak adil," ujarnya.

Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan mulai tahun depan skema pemberian subsidi energi diubah menjadi subsidi berbasis orang, memberikan perlindungan sosial langsung kepada orang yang berhak menerima, bukan lagi ke komoditas.

"Secara garis besar, adalah transformasi subsidi berbasis orang. LPG misalnya, diarahkan ke perlindungan sosial. Harapannya, ini bisa kita lakukan 2022," ujar Febrio dalam rapat bersama Banggar DPR-RI, Rabu (7/4/2021).

Selain itu, berdasarkan hasil dari evaluasi pemerintah, terjadi gap atau selisih harga dari yang ditetapkan Pertamina dengan harga jual di pasaran. Selisih harganya bahkan mencapai hingga Rp 7 ribu untuk LPG 3 kg.

"Selisih harga jual eceran dan patokan itu, di 2020, selisihnya sekitar Rp 5.000an lebih. Di 2021, itu dengan data terbaru sekitar Rp 6.000-Rp 7.000 perbedaannya," ujarnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Biar Nggak Bocor, Banggar DPR Dorong Subsidi Energi Diubah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular