IHSG-Rupiah-Obligasi Melemah, Memang Indonesia Salah Apa?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 March 2021 16:01
[THUMBNAIL] 14.800
CNBC Indonesia/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor asing seperti berlomba-lomba keluar dari pasar keuangan Indonesia. Ada apa sebenarnya? Apa yang salah dengan Indonesia?

"Berdasarkan data transaksi 8-10 Maret 2021, non-residen (asing) di pasar keuangan domestik jual neto Rp 7,83 triliun, dengan jual neto di pasar SBN (Surat Berharga Negara) sebesar Rp 6,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 0,96 triliun.Selama 2021, non-residen di pasar keuangan domestik jual neto sebesar Rp 5,89 triliun," sebut laporan Bank Indonesia (BI) akhir pekan lalu.

Seretnya arus modal asing ini membuat rupiah bergerak melemah. Sejak akhir 2020 hingga kemarin, rupiah telah melemah 2,53% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah jadi salah satu mata uang terlemah di Asia.

Untuk perdagangan hari ini, rupiah kembali melemah 0,03% ke posisi Rp 14.400/US$. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga terkoreksi 0,23% sementara harga obligasi pemerintah turun, yang dicerminkan oleh kenaikan imbal hasil (yield) sebesar 4 basis poin (bps) untuk yang tenor 10 tahun. 

Sentimen di pasar keuangan memang sedang tidak berpihak kepada negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyebabnya adalah pandangan investor yang sedang fokus ke obligasi pemerintah AS.

Pada pukul 14:21 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 1,6074%. Sejak akhir 2020, yield instrumen ini melonjak 69,54 bps.

Obligasi adalah aset aman. Tidak seperti saham yang uangnya bisa 'hangus' tak berbekas, obligasi memberi imbalan tetap (fixed income) plus pengembalian dana ketika jatuh tempo. Jaminan uang kembali dan masih dapat cuan.

Plus, kita sedang bicara obligasi pemerintah AS. Risiko gagal bayar (default) sangat minim kalau tidak mau dibilang mustahil. Obligasi ini mungkin baru gagal bayar kalau AS bubar seperti Uni Soviet.

Sudah aman, sekarang instrumen ini menawarkan imbalan yang semakin meningkat. Aman, cuan pula. Siapa yang tidak tertarik?

Oleh karena itu, investor terus bersiap untuk memborong obligasi pemerintah AS. Akibatnya, aset-aset lain, apalagi di negara berkembang, hanya kebagian remah rengginang.

Halaman Selanjutnya --> Fundamental Ekonomi Kuat

Padahal secara fundamental, ekonomi Indonesia tidak jelek-jelek amat. Pada dua kuartal terakhir 2020, transaksi berjalan (current account) berhasil membukukan surplus, sesuatu yang tidak pernah terjadi sejak 2011.

Artinya, pasokan devisa di perekonomian nasional sudah memadai karena neraca perdagangan barang dan jasa tidak minus lagi. Rupiah tidak terlampau tergantung oleh pasokan valas dari investasi portofolio di sektor keuangan (hot money).

Pada kuartal I-2021, bukan tidak mungkin transaksi berjalan kembali surplus. Soalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan barang mencatat surplus dalam dua bulan pertama 2021. Ini membuat peluang surplus transaksi berjalan tidak bisa dikesampingkan.

Kekuatan fundamental ekonomi Tanah Air bahkan sudah diakui oleh DBS. Bank beraset terbesar di Asia Tenggara itu menilai investor agak menyepelekan kekuatan Indonesia.

"Investor global khawatir melihat pasar negara berkembang karena kenaikan yield obligasi AS. Hal serupa terjadi saat taper tantrum 2013. Namun, kami berpandangan investor kurang mengapresiasi bahwa fundamental ekonomi Indonesia saat ini lebih kuat," tulis riset DBS berjudul IndoGB: Underappreciated yang dirilis 10 Maret 2021.

Ada lima hal yang membuat DBS menilai fundamental ekonomi Indonesia lebih kuat. Pertama adalah kepemilikan asing di SBN semakin berkurang. Ini membuat risiko guncangan di pasar SBN mengecil.

"Porsi kepemilikan asing turun ke kisaran 24%, dibandingkan dengan 39% pada awal 2020. Pada 2012, sebelum taper tantrum, kepemilikan asing di SBN adalah 33%," lanjut riset DBS.

Kedua, tren kenaikan harga komoditas telah mendongrak kinerja ekspor Indonesia. Seperti disinggung sebelumnya, neraca perdagangan berhasil membukukan surplus yang lumayan tinggi pada Januari dan Februari.

Ketiga, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kini lebih terkendali. Belum lama ini, Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengungkapkan penerbitan SBN bisa dikurangi karena pemerintah masih memiliki Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) yang jumlahnya bisa mencapai Rp 100 triliun.

"Untuk mengurangi tekanan, dan memang karena kita punya kondisi kas yang cukup besar, kita akan gunakan sebagian dari Silpa saat ini range-nya antara Rp 80-100 triliun untuk mengurangi pembiayaan utang kita di 2021, mengurangi target penerbitan SBN," jelas Luky.

Keempat, DBS menilai valuasi SBN kelewat murah (undervalued). Begitu urusan investor dengan US Treasury Bonds kelar, maka arus modal akan kembali masuk ke pasar SBN. "Kami memperkirakan investor akan mengalokasikan lebih banyak dana ke negara berkembang dalam beberapa bulan ke depan," sebut riset DBS.

Terakhir, bagaimanapun pasar keuangan Indonesia masih memberikan cuan gede. Saat ini selisih (spread) antara SBN dan US Treasury Bonds tenor 10 tahun ada di 503,58 bps. Bahkan kalau yield obligasi pemerintahan Joseph 'Joe' Biden naik, SBN tetap akan menarik.

"Kami memperkirakan yield obligasi pemerintah AS bisa naik 10-15 bps menuju 1,75%. Dengan yield SBN yang kurang lebih 7%, tentu masih sangat atraktif," sebut riset DBS.

Halaman Selanjutnya --> Indonesia Perlu Mempercantik Diri

Kalau investor sedang menjadikan obligasi pemerintah AS sebagai primadona, so be it. Biar saja, memang kondisinya begitu apa mau dikata. Hal yang bisa dilakukan Indonesia adalah mempercantik diri agar pada saatnya nanti pelaku pasar lebih kesengsem, lengket bak kena pelet.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama adalah Indonesia wajib, kudu, harus mempercepat vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Mengutip catatan Our World in Data, jumlah vaksin yang sudah disuntikkan ke lengan rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia per 14 Maret 2021 adalah 5,48 juta dosis. Rata-rata tujuh harian vaksinasi adalah 208.257 dosis per hari.

Meski laju vaksinasi di Indonesia semakin cepat, tetapi masih kalah dibandingkan negara-negara berkembang lain. Di India, misalnya, vaksin yang disuntikkan sudah mencapai 29,91 juta dosis dengan rata-rata tujuh harian di 1,27 juta dosis.

Vaksin, jika efektif, akan membentuk kekebalan tubuh untuk melawan virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. Jika sebagian besar penduduk Indonesia sudah divaksin dan memiliki ketahanan, maka akan terbentuk kekebalan kolektif (herd immunity). Ketika ini terjadi, rantai penularan bisa diputus dan kita bisa mengucapkan selamat tinggal kepada pandemi virus corona.

Saat herd immunity tercapai, maka aktivitas dan mobilitas masyarakat bisa kembali seperti dulu lagi. Ibarat mobil, ekonomi sudah bisa dipacu sekencang-kencangnya, tidak seperti sekarang yang maksimal hanya boleh 50 km/jam.

Kedua adalah meningkatkan disiplin fiskal. Meski sudah mendapat pujian dari DBS, tetapi pengelolaan APBN masih bisa lebih prudent lagi.

Misalnya, anggaran belanja modal bisa dirampingkan. Saat kondisi pandemi seperti sekarang, pembangunan infrastruktur bisa dikesampingkan karena yang penting adalah pendanaan di bidang kesehatan dan perlindungan sosial.

Sebab dengan penerimaan negara yang masih sulit diandalkan akibat kelesuan ekonomi, defisit APBN bakal semakin membengkak. Ini tentu akan meningkatkan risiko fiskal, yang bakal menjadi perhatian investor.

"Menurut skenario kami, defisit anggaran dan beban fiskal Indonesia akan naik tetapi masih dalam kisaran median negara-negara berperingkat Baa. Namun jika pemulihan ekonomi berjalan lambat, yang kemudian mempengaruhi penerimaan negara, maka akan kemampuan Indonesia dalam mengakses pembiayaan. Ini bisa berdampak ke peringkat utang," tegas Anushka Shah, Vice President and Senior Analyst di lembaga pemeringkat (rating agency) Moody's, sepert dikutip dari keterangan tertulis tertanggal 9 September 2020.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/dru) Next Article Sudah Jeblok 2%, Rupiah Akhirnya Menguat Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular